Pendidikan Anti Kekerasan
Aksi kekerasan yang dilakukan manusia hampir di semua dunia sangat jelas dilihat. Hal ini diyakini sebagai dampak dari perkembangan arus globalisasi dan modernisasi. Secara jelas dinyatakan oleh John Rawls, bahwa kondisi demikian dipengaruhi oleh fase-fase perkembangan masyarakat, yakni dari masyarakat petani ke masyarakat industri dan dari masyarakat industri ke masyarakat informasi seperti keadaan sekarang ini. Dalam masyarakat informasi , teknologi informasi ( TI ) telah menjadi sumber inspirasi baru dalam pengembangan masyarakat.
A. PENGERTIAN PENDIDIKAN
Menurut referensi pendidikan adalah aktivitas interaksi antara pendidik dan subyek didik untuk mencapai tujuan baik dengan cara baik dalam konteks positif. Sedangkan pengertian pendidikan itu sendiri menurut saya adalah proses memperoleh ilmu sebagai bekal dalam kehidupan nyata atau memanusiakan manusia.
B. PENGERTIAN KEKERASAN
Dalam Kamus Besar Inonesia, Kekerasan diterjemahkan tindakan seseorang atau kelompok yang menyebabkan cidera atau matinya seseorang, atau kekerasan fisik. Kekerasan anak adalah kekerasan yang dilakukan orang dewasa terhadap anak yang lebih muda, dengan memanfaatkan kekuasaanya atau otoritasnya. Biasanya anak ada dibawah kekuasaanya dan kekerasan ini dapat menyebabkan penderitaan fisik, kesengsaraan, cacat seumur hidup, penganiayaan seksual, maupun penganiayaan emosional. Pelanggaran Hak anak dalam bentuk kekerasan di Indonesia juga angkanya cukup tinggi, catatan Komnas Perlindungan Anak ( Komnas PA ) dari tahun 2007 sampai dengan tahun 2008, kualitasnya mengalami peningkatan. Sepanjang tahun 2008 pelanggaran hak anak berjumlah 26.901.627 kasus, terdiri dari kekerasan fisik, psikis, sexual dan mempekerjakan anak dibawah umur. Tahun 2008 kulitas pelanggaran hak anak terpantau semakin mengkhawatirkan. Dalam kekerasan terhadap anak pelakunya sangat beragam, bahkan mengakibatkan kematian seperti aborsi,menenggelamkan kedalam sungai dengan pemberat batu. Kekerasan terhaap anaak dengan meracuni dilakukan dengan alasan karena himpitan ekoomi.
C. PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN
Dalam sebuah kutipan yang menarik ari UNESCO disebutkan bahwa “Disputes maybe inevitable, but violence is not. To prevent continued cycle of conflict, education must seek to promote peace and tolerance, not fuel hatred and suspicion” [ perselisihan mungkin tidak dapat dihindari, tetapi kekerasan bisa. Dengan pendidikan diharapkan kan tertanam nilai-nilai perdamaian atau anti-kekerasan didalam diri para peserta didik dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi, sehingga pada gilirannya mereka dapat mengedapankan nilai-nilai ini dalam berbagai aspek kehidupan didalam masyarakat tanpa melihat hambatan-hambatan kultural, agama, ras, kelompok, atau lain-lain.]
Dari berbagai kasus kekerasan dan konflik yang mewarnai perjalanan bangsa Indonesia terutama pada akhir tahun 1990-an, dari konflik berdarah di Sambas dan Sampit, Ketapang, Ambon, Poso hingga berbagai wilayah lain di Indonesia, Begitu pula dengan radikalisme agama yang seringkali menggunakan kekerasan sebagai alat untuk mencapai tujuannya, seperti teror bom, pembakaran, dan sebagainya , tentunya memerlukan penanganan yang tepat. Dalam kenyataanya, telah banyak upaya dilakukan untuk mencegah terjadinya konflik-konflik ini, dari seminar-seminar tentang pencarian solusi konflik hingga dialog-dialog antara pemuka agama yang berbeda yang sampai saat ini kekerasan berbasis konflik tetap masih terjadi.
D. PARADIGMA PENDIDIKAN ANTI KEKERASAN
Pendidikan anti kekerasan ( non-violence ) mengindikasikan sebuah proses pembelajaran dan penanaman sikap-sikap mental yang menedepankan nilai-nilai positif nir-kekerasan dalam menghadapi setiap permasalahan sosial-keagamaan dalam masyarakat. Pendidikan ini tentunya mengubur dalam-dalam sikap egoistik (ananiya), tetapi sebaliknya mengedepankan kepentingan seluruh masyarakat daripada kepentingan individual atau kelompok untuk mencapai suatu kondisi harmonis di kalangan anggota masyarakat.
Pendidikan antikekerasan perlu dibangun dari nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat. Diantara nilai-nilai yang mungkin bisa dijadikan sebagai bahan dasar adalah nilai-nilai yang iambil dari agama, budaya, dan juga hak-hak asasi manusia yang universal. Berkenaan dengan yang pertama, hampir dalam semua agama di dunia mengajarkan prinsip-prinsip anti-kekerasan. Bahan dasar kedua adalah nilai-nilai budaya ( cultural values ). Istilah “budaya”, dalam konteks ini merujuk kepada satu praktik dan kebiasaan masyarakat yang baik, yang telah diterima oleh masyarakat secara konsensus dan bersifat universal, tidak hanya menguntungkan satu pihak atau kelompok tertentu. Indonesia, dengan beragam kelompok etnik dan budaya ini, adalah sangat kaya dengan nilai-nilai budaya yang khas. Hampir semua kelompok etnik yang ada memiliki budaya tersendiri, yang masing-masing dari mereka mungkin memiliki kesamaan atau perbedaan budaya satu sama lainnya.
Bahan dasar yang terakhir adalah hak asasi manusia, dan hak-hak ini merupakan esensi dari manusia itu sendiri, sebagaimana ditegskan oleh Jose Dioko,[ Hak-hak asasi manusia lebih dari sekedar konsep-konsep hukum, ia adalah esensi manusia. Hak-hak inilah yang membuat seorang menjadi manusia. Itulah mengapa mereka disebut hak asasi manusia, menolaknya berarti menolak kemanusiaan manusia.]
Hak-hak asasi manusia ini mencakup hak untuk hidup, kehormatan, dan mengembangkan diri sndiri. Atau lebih luas lagi ia mencakup apa yang disebut dengan al-khulliyyat al-khamsah (pemeliharaan atas agama, jiwa,akal keturunan dan kehormatan). Terkait dengan hak asasi manusia ini adalah hak budaya, ia juga merupakan bagian dari hak manusia. Hak untuk hidup bukanlah hidup seperti yang diinginkannya atau semaunya, tetapi hak untuk hidup sebagai seseorang yang berada dalam kultur komunitas tertentu, dalam satu cara hidup yang dianggap baik dan diterima oleh kultur itu. Dengan demikian, sikap empati terhadap kultur komunitas lain menjadi tumbuh, sehingga ketegangan dan konflik sosial berbasis perbedaan kultur bisa di cegah.
Kesemua niai tersebut perlu di sosialisasikan dalam bentuk pembelajaran di institusi-institusi pendidikan, dari tingkat dasar hingga tingkat perguuruan tinggi, atau bahkan pada institusi-institusi pendidikan non-formal di masyarakat seperti pengajian, halaqah dan majlis taklim. Ini tidaklah berarti bahwa harus dimasukkan satu mata pelajaran atau mata kuliah tentang “pendidikan anti-kekerasan” secara khusus, tetapi bagaimana nilai-nilai atau perdamaian, yang terambil dari ajaran agama, budaya, dan hak asasi manusia, bisa masuk keseluruh mata pelajaran yang ada.
Disamping itu, perlu juga dirancang metode pembelajaran yang transformatif, yang lebih mengedepankan pencarian titik persaman atau titik temu pada masing-masing agama. Dalam konsepsi pendidikan anti-kekerasan , fokus pendidikan tidak lagi diarahkan semata-mata kepada kelompok etnik, agama dan kultural domain atau mainstream. Pendidikan anti kekerasan sebenarnya merupakan sikap “peduli” dan mau mengerti atau politik pengakuan terhadap orang-orang dari klompok yang ada dilingkungan mereka. Dalam konteks ini, organizer dapat melihat peserta didik secara lebih luas. Karena itu, maka seharusnya kurikulum pendidikan anti-kekerasan dapat mencakup subjek-subjek seperti: toleransi; tema-tema tentang perbedaan ethno-kultural dan agama:bahaya diskriminasi:penyelesaian konflik dan mediasi : HAM; demokratis dan pluralitas; kemanusiaan universal dan subjek-subjek lain yang relevan.
Berdasarkan isi yang di peroleh maka kekersan terjadi disebabkan karena lingkungan yang tidak kondusif, sehingga menimbulkan depresi , stress yang berat sehingga ada kecenderungan melakukan tindakan tidak terkontrol dan dapat melakukan kekerasan terhadap orang lain maupun diri sendiri. Sosialisasi nilai-nilai anti kekerasan diberikan pada anak SD, karena anak SD sebagai generasi penerus yang kelak akan menjadi pmimpin bangsa. Pendidikan anti kekerasan bisa disosialisasikan melalui lingkungan keluarga, lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat, dan akan lebih efektif lagi jika melalui peraturan formal, an para guru wajib mengintegrasikan dalam mata pelajaran sekaligus memberi keteladanan anti kekerasan. Pemerintah sebagai lembaga formal juga waajib menyensor tayangan-tayangan TV yang menampilkan gambar-gambar atau cerita yang mengakomodasikan kekerasan.
Diberikannya pendidikan anti kekerasan sejak dini merupakan salah satu alternatif solusi penyelesaian untuk mengantisipasi terjadinya kekerasan masyarakat Indonesia. Dengan tersosialisasikam pendidikan anti kekerasan diharapkan generasi penerus dapat memahami, menganalisis, menjawb, masalah-masalah yang dihadapi masyarakat yang berhubungan engan kekerasan dan dapat membangun kehidupan anti kekerasan secara berkesinambungan, konsisten yang bersumber pada nilai-nilai moral Pancasila sehingga cita-cita bangsa dapat terwujud perdamaian abadi anti kekerasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H