Di sebuah desa kecil bernama Guyub Rukun, masyarakatnya dikenal religius dan rajin menghadiri pengajian. Suatu hari, Ustadz Abdullah, seorang pendakwah yang baru tiba di desa itu, mengadakan kajian tentang pola hidup Islami. Topiknya menarik perhatian banyak orang, termasuk Fatimah, seorang ibu rumah tangga, dan Hamid, seorang pedagang makanan.
Pengajian itu dimulai dengan suasana penuh antusiasme. Ustaz Abdullah membuka ceramah dengan sebuah kutipan:
"Makan secukupnya itu setengah dari ibadah."
"Saudara-saudara, siapa yang pernah mendengar kalimat ini?" Ucap Ustadz Abdullah ketika memulai pengajian.
Fatimah, yang duduk di barisan depan, langsung mengangkat tangan. "Saya sering dengar, Ustadz. Bahkan saya sering mengingatkan anak-anak saya untuk tidak makan berlebihan dengan hadits ini."
Hamid pun menyahut dari belakang. "Saya juga, Ustadz. Kalimat ini sering saya gunakan untuk menasihati pelanggan agar tidak membuang-buang makanan."
Ustadz Abdullah tersenyum mendengar tanggapan itu. "Ternyata banyak yang mengenal kalimat ini. Tapi tahukah kalian bahwa sebenarnya ini bukanlah hadits yang berasal dari Nabi Muhammad SAW?"
Ruangan mendadak hening. Fatimah tampak terkejut, sementara Hamid mengernyitkan dahi.
"Maksud Ustadz, itu bukan hadits? Tapi bukankah kalimat itu bagus dan sesuai dengan ajaran Islam?" Tanya Fatimah dengan terheran-heran.
"Betul, Fatimah. Kalimatnya memang baik dan sesuai dengan prinsip Islam tentang hidup sederhana. Namun, kebaikan kalimat itu tidak otomatis menjadikannya sabda Rasulullah SAW. Para ulama hadits telah menyatakan bahwa kutipan ini adalah maudhu' atau hadits palsu. Tidak ada sanad atau sumber yang shahih yang mengaitkannya dengan Nabi." Jelas Ustadz Abdullah.
"Tapi, Ustadz, kalau hadits itu palsu, apakah kita tidak boleh menyebutkannya sama sekali? Bukankah tujuannya untuk mengingatkan orang agar hidup sehat dan hemat?" Tanya Hamid.