Program "Makan Bergizi Gratis" (MBG) yang dicanangkan oleh pasangan Prabowo-Gibran menjadi sorotan publik, terutama dalam konteks apakah program ini akan benar-benar mampu mengatasi masalah stunting dan perbaikan gizi atau hanya sebatas janji politik. Kita akan membahas mengenai tujuan, anggaran, dan tata kelola program ini, serta menelaah apakah program MBG dapat menjadi solusi nyata atau sekadar strategi politik semata.
Potensi Solusi atas Stunting dan Perbaikan Gizi
      Stunting merupakan masalah serius di Indonesia, terutama di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T). Pemerintah mengklaim bahwa MBG dapat menjadi bagian dari solusi untuk mengentaskan stunting, khususnya bagi anak-anak di sekolah dasar hingga menengah. Program ini ditargetkan untuk membantu memperbaiki kecukupan gizi anak-anak melalui pemberian makanan bergizi secara gratis, yang tentunya bertujuan untuk meningkatkan kesehatan dan pertumbuhan mereka.
      Namun, efektivitas MBG untuk pengentasan stunting masih menjadi pertanyaan besar. Berdasarkan kajian dari Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), program ini belum sepenuhnya selaras dengan kebutuhan nyata dalam mengatasi stunting. Misalnya, stunting terjadi pada masa 1000 hari pertama kehidupan anak, di mana intervensi gizi seharusnya diberikan kepada ibu hamil, bayi, dan balita. MBG, yang difokuskan pada anak usia sekolah, tidak secara langsung menyasar kelompok usia ini, sehingga dampaknya terhadap stunting mungkin tidak akan terlihat dalam jangka pendek.
Isu Fiskal dan Tata Kelola
      Salah satu isu utama yang muncul dari program ini adalah besarnya anggaran yang diusulkan. Dengan anggaran sebesar Rp 71 triliun pada tahap pertama, banyak pihak mempertanyakan apakah dana tersebut dikelola dengan baik dan tepat sasaran. Besarnya anggaran ini juga memicu kekhawatiran terkait keterbatasan ruang fiskal negara. Bahkan, rencana pemangkasan biaya satuan program dari Rp 15.000 menjadi Rp 7.500 per penyajian, yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi kualitas makanan yang disajikan.
      Selain itu, program MBG juga menghadapi tantangan tata kelola. Hingga saat ini, belum ada kejelasan tentang siapa yang akan menjadi lembaga utama pengelola dan pelaksana program ini. Ada wacana mengenai pembentukan badan/lembaga baru, yang berpotensi memakan waktu dan dapat menunda implementasi. Tanpa koordinasi yang jelas antar kementerian dan lembaga terkait, implementasi MBG berisiko tidak berjalan optimal.
Apakah MBG Sekadar Janji Politik?
      Tidak dapat dipungkiri bahwa program semacam MBG menarik perhatian publik, terutama dalam konteks kampanye politik. Namun, berbagai pihak menyoroti bahwa program ini mungkin lebih bersifat simbolis daripada substantif. Ada kekhawatiran bahwa MBG hanya akan menjadi alat politik yang digunakan untuk meraih simpati publik, tanpa memberikan solusi jangka panjang untuk masalah stunting dan gizi buruk.
      Meskipun demikian, ada harapan bahwa dengan perencanaan yang matang dan implementasi yang transparan, MBG dapat menjadi bagian dari solusi untuk perbaikan gizi di Indonesia, terutama jika diintegrasikan dengan program-program yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) dan Percepatan Penurunan Stunting (PPS).
      Pada akhirnya, keberhasilan Program Makan Bergizi Gratis akan sangat bergantung pada bagaimana program ini dirancang, diimplementasikan, dan diawasi. Tanpa strategi yang jelas, MBG berisiko menjadi sekadar janji politik tanpa dampak nyata. Namun, jika dikelola dengan baik dan didukung oleh mekanisme pengawasan yang transparan, program ini memiliki potensi untuk berkontribusi pada perbaikan gizi dan pengentasan stunting di Indonesia.