[caption id="attachment_138509" align="alignnone" width="150" caption="Di halaman depan Gedung Sate"][/caption] [caption id="attachment_138510" align="alignnone" width="150" caption="Di ruangan ini ada 1 set gamelan dan banyak bendera kabupaten Ja-bar"][/caption] [caption id="attachment_138511" align="alignnone" width="150" caption="Di dekat ballroom dan ruang gamelan"][/caption] [caption id="attachment_138515" align="alignnone" width="150" caption="Di ballroom Gedung Sate"][/caption]
Di tulisan perdana pada kompasiana pagi ini, saya ingin bercerita tentang acara jalan-jalan saya bersama keluarga tercinta. Episode kali ini adalah berkunjung ke Gedung Sate atau bisa juga disebut “Gedung Putih”nya kota Bandung.
Pada saat liburan lebaran bulan September lalu, saya, suami dan anak-anak pergi ke Bandung. Niat bersilaturahmi dengan banyak saudara, mamang, bibi, sepupu, dan keponakan. Kebetulan orangtua saya asli Bandung dan sudah lama sekali menetap di Jakarta. Saya juga orang Bandung. Lahir di Bandung namun besar di Jakarta.
Hari kedua lebaran kami berangkat pagi-pagi. Dengan menggunakan starlet tahun 90, akhirnya kami sampai juga disana. Perjalanan via tol Cipularang hanya memakan waktu sekitar dua jam. Kami sengaja memilih menginap di sebuah hotel melati. Tidak enak kalau di rumah saudara. Takut merepotkan dan kurang privasi. Cuma tiga hari dua malam kok, Jumat sampai Minggu.
Baru kali ini saya merasa “terpisah” dari orangtua. Baru kali ini saya ke Bandung berempat, bersama keluarga mini saya. Tahun-tahun sebelumnya, setiap berkunjung ke rumah siapa pun di Bandung, kami biasanya semobil dengan orangtua. Tapi kali ini lain. Ibu dan bapak juga ke Bandung namun adik saya dan suaminya lah yang menemani.
Hari pertama, sesuai skedul, khusus hari itu kami beramah-tamah berkunjung ke rumah banyak saudara, semenjak tiba di kota Bandung sampai malam hari. Sekalian wisata kuliner tentunya. Paling enak menikmati makan siang di rumah makan Ampera atau Laksana. Hampir semua orang pernah makan disana. Selain makanannya yang lezat khas Sunda, harganya juga pas di kantong.
Nah, ini yang dinanti-nanti. Di hari kedua ini, Sabtu, kami jalan-jalan ke tempat wisata dan factory outlet, sampai malam juga. Tadinya cuma ingin ke Gasibu, tapi tiba-tiba sejauh mata memandang, saya lihat betapa serunya kalau kami masuk ke Gedung Sate. Well, seumur hidup cuma sering lewat di depan jalan rayanya saja.
Yah, paling nggak bisa foto-foto di halaman depannya, lumayan, pikir saya.
Banyak orang berolahraga, berlari-lari kecil mengitari lapangan Gasibu. Ada pula yang sekedar menikmati jajanan kaki lima di sekitarnya. Ada penjual siomay hokki, baso tahu, kupat tahu, mie ayam, nasi goreng, sate ayam, sate kambing dan masih banyak lagi. Setahu saya, khusus di hari Minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, sekedar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan.
Gedung Sate terlihat indah, dilengkapi dengan taman disekelilingnya yang terpelihara dengan baik. Taman ini diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Sering dijadikan lokasi kegiatan yang bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan pengantin.Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan obyek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun histori pada gedung ini.
Pintu pagarnya terbuka, ditunggui seorang satpam. Kami berempat masuk. Tidak begitu ramai di halaman depan Gedung Sate pada waktu itu. Sekedar bergaya ala emak narsis, anak-anak juga ikut-ikutan ngaak mau kalah sama mamanya. Tidak lupa juga berpose sebentar di depan Kantor Gubernur Jawa Barat itu. Setelah merasa cukup puas jeprat sana jepret sini, kami bersiap keluar dari halaman itu.
Tapi, hei! Sepasang suami isteri (mungkin) lanjut usia yang sepertinya berkebangsaan Jepang-Cina berjalan tergopoh-gopoh mengikuti seorang satpam di depan mereka. Pak satpam itu juga berjalan cepat sekali.
Ngapain tuh mereka? Pikir saya. Oh wow, mereka langsung masuk ke dalam Gedung Sate! Hah!!!Mau juga dong!
Lantas saya tarik lengan suami saya sambil berkata,”Aku juga mau masuk ke dalam. Pokoknya kita harus bisa!”
Suami saya berujar, “Tar dulu, nggak sembarang orang bisa masuk situ, tau.”
Kami berjalan mengikuti ketiga orang itu di belakangnya. Dan….huhuy! Horeeeee akhirnya kami ada di dalam Gedung Sate, teman! Mimpi apa semalam? Bapak saya yang kuliah di ITB saja belum pernah menginjakkan kakinya kesini.
Sungguh, ruarrrrr biasa! Melangkahkan kaki ke dalam ruangan itu, serasa berada di sebuah istana indah nan megah. Oh ya, ada dua keluarga lain yang bisa ikutan masuk juga loh. “Ini berempat aja, ya? Cuma………*sensor*. Sumpah, murah banget! “Silahkan naik ke lantai dua, pakai lift itu ya, Bu,” kata Pak satpam itu ramah, tangan kanannya menunjuk ke arah yang dimaksud.
Keluar dari pintu lift di lantai dua. Bismillaah. Dengan wajah melongok ke kanan dan ke kiri, tibalah kami ke dalam suatu ruangan diorama. Sedikit spooky. Kami menapaki beberapa anak tangga. Agak gelap. Ruangan itu di-design serba kayu. Di setiap dinding terpajang figura-figura dan tentang sejarah pembangunan Gedung Sate tempo dulu hingga sekarang. Banyak foto-foto sarat makna, disertai artikel-artikel lengkap mengenai gedung tersebut. Ada patung pasangan muda-mudi mengenakan pakaian adat Sunda, foto-foto gubernur, wakil gubernur dan para pejabat anggota DPRD Jawa Barat. Sempat pula saya berpose di samping foto Wakil Gubernur Jawa Barat yaitu Bapak Dede Yusuf. Ada alat-alat tradisional seperti gendang- mungkin kendang namanya-, ada si Cepot, dan masih banyak lagi tapi saya kurang paham namanya.
Setelah foto-foto di ruangan tersebut, kami naik tangga lagi. Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate.Lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu.
“Bisa lewat sini, Pak, Bu. Hati-hati,”satpam tua itu memberikan instruksi.
Wow! Serasa berada di puncak Monas Jakarta deh. Hanya saja ini tidak tinggi sekali. Berhilir angin sepoi-sepoi, tidak terlalu kencang. Di Menara Gedung Sate itu ada sebuah ruangan cukup luas di tengahnya. Kalau mau masuk, buka pintu dahulu. Serba kaca, kursi-kursi kayu berjejeran di setiap pinggir ruangan itu. Kaca itu begitu bersih, sampai tergeletak seekor burung mati –seperti telah menabrak kaca- di pot tanaman hias lain. Berlantaikan marmer, ada lemari kayu jati. Rapi, pot tanaman palem juga membuat asri disini. Terutama di sudut luar lantai paling atas. Ada pula kursi-kursi tinggi seperti kursi bar berjejer rapi.
“Sok, sing puas nya, poto-potona, Neng,” ujar satpam itu lagi.
Setelah selesai, kami menuju lobby, melalui lift tadi. “Eh, bagus nih fotoan disini!”kataku girang. Ruang pertemuan itu luassss sekali. Tirai berwarna hijau itu menambah suanana klasik. Memang tidak terlihat satu kursi pun. Mungkin bila ada acara formal kenegaraan, baru kursi-kusri tersebut disediakan. Di sebelah kanannya, ada dua deretan bendera-bendera berbagai kabupaten. Ada juga satu set gamelan cukup komplit.
Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan mengingatkan kita pada ruang dansa (ballroom) yang sering terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Menurut penjaga gedung, ruangan tersebut sering digunakan kegiatan resmi, dan sering disebut dengan aula barat dan aula timur. Di sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang ditempati beberapa Biro dengan Stafnya.
“Udah yuk, Ma, kita pulang. Capek nih Rafa.” “Iya, Fakhri juga. Gendong, Pa,” rajuk anak-anakku.
Sebelum keluar dari Gedung Sate, kami berpose di anak tangga yang lebar,melingkar menuju ruang tertentu. Di dinding samping tangga tersebut, terpampang sebuah frame besar, gambar kuda besar sedang dinaiki seorang lelaki gagah berani. Terlihat samar-samar. Mungkin itu adalah seorang pahlawan kita. Akhirnya kami keluar dari Gedung Sate, lalu makan siomay hokki di depan pintu gerbang gedung. Ternyata, kesampaian juga. Alhamdulillah ya, sesuatu banget. Uppss!
Berikut adalah hasil rangkuman mengenai Gedung Sate. Sumber diperoleh dari hasil pengalaman pribadi / kunjungan saya ke tempat tersebut ditambah dari Wikipedia Bahasa Indonesia.
Gedung Sate, dengan ciri khasnya berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, telah lama menjadi penanda atau markah tanahKota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, namun juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Mulai dibangun tahun 1920, gedung berwarna putih ini masih berdiri kokoh namun anggun dan kini berfungsi sebagai gedung pusat pemerintahan Jawa Barat.
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda itu disebut Gouvernements Bedrijven (GB), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung WalikotaBandung, B. Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik DelftNederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang diantaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan Cina yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf dan Perpustakaan.
Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate diantaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa".D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia".
Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia di masa renaiscance terutama pada bangunan sayap barat. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.
Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik.
Gedung Sate berdiri diatas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m².
Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema MoorSpanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap puraBali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate.
Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi pusat pemerintahan Hindia Belanda setelah Batavia dianggap sudah tidak memenuhi syarat sebagai pusat pemerintahan karena perkembangannya, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Propinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Propinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung.
Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi.Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung Baru.
Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ProvinsiJawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H