Kekuasaan memiliki daya tarik yang sangat tinggi, sehingaa menjadi pusat perhatian bagi para politisi di negeri ini. Untuk mendapatkan kekuasaan para politisi rela mengorbankan harta benda yang dimilikinya. Masa reformasi adalah masa kebangkitan desentralisasi, dimana kekuasaan telah bergeser ke daerah dimana daerah memiliki kesempatan untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Hal ini berimbas juga pada sistem pemilihan kepala daerah yang sebelumnya dipilih oleh DPRD tetapi sekarang dipilih langsung oleh rakyat.Dengan dikeluarkannya UU No 22 Tahun 1999 maka terciptalah penyelenggaraan pemerintahan demokrasi, terutama bagi daerah.
Pilkada atau Pemilihan Kepala Daerah merupakan salahsatu ajang demokrasi yang di miliki oleh daerah-daerah yang ada di Indonesia. Hampir sepanjang tahun Pilkada terselenggara di berbagai kabupaten/kota/provinsi di negeri kita yang luas ini. Adanya pilkada di pandang sebagai salahsatu sarana bagi rakyat untuk meyalurkan aspirasi dan menggunakan haknya untuk memilih secara langsung para pemimpinnya yang berkedudukan di daerah. Carut marutnya kondisi pilkada mengakibatkan munculnya berbagai sorotan dari berbagai pihak yang kemudian ada wacana untuk menghapus Pilkada dan kembali menggunakan sistem lama dalam memilih kepala daerah.
Berbagai kasus yang muncul pasca adanya Pilkada di daerah ini menimbulkan kekhawatiran sejumlah pihak karena kasus ini akan memunculkan berbagai konflik baru yang tak kunjung bisa diselesaikan. Dalam realitasnya pilkada tak memberikan jaminan bagi masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya sesuai dengan hati nurani, bahkan elite lokal pun tidak memberikan kesempatan bagi masyarakat untuk ikut memperbaiki pemerintah daerah mulai dari pemilihan pemimpinnya. Kekuasaan yang menjadi perebutan elite lokal ini membuat masyarakat tidak lagi antusias terhadap adanya pilkada, baik di tingkat kabupaten/kota atau provinsi sekalipun. Para elite hanya mengejar kekuasaan, sumber-sumber ekonomi dan kesempatan yang lebih luas untuk menggunakan kekuasaannya serta memperjuangkan kesenangan pribadi.
Kembali pada berbagai kasus, carut-marutnya pilkada dan berbagai konflik yang muncul di daerah maka wacana untuk kembali pada sistem lama masih saja terdengar. Berbagai kekecewaan masyarakat yang timbul akibat ulah elite lokal semakin memperburuk citra daerah tersebut di mata pemerintah pusat. Sampai saat ini, pilkada langsung masih terus terselenggara dan menghabiskan dana yang tak kecil jumlahnya. Ada sebersit pemikiran bahwa pilkada hanya menghabiskan banyak uang dan menambah konflik serta kasus yang timbul di daerah. Akankan Pilkada secara langsung ini akan bertahan? Kita lihat saja nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H