Halo! Hari ini saya bakal membahas tentang, Bagaimana kontribusi saya untuk mengisi celah keilmuan yang belum banyak diangkat dan cenderung terabaikan. Haha. Sesuatu banget kan?
Keilmuan nih definisinya luas banget. Bukan hanya soal ilmu eksakta, atau ilmu-ilmu perkontenan (dan percuanan online) yang membanjiri jagat digital. Kali ini, aku mau cerita dikit aja, soal parenting with teenagers. Yap, anakku Sidqi sudah 18 tahun. Remaja (atau dewasa awal?) yang tentu saja kerap berdebat dan silang pendapat dengan ortunya. Terlebih dengan emak kandungnya
Karena peranku sebagai ibu kandung, udah pasti, ilmu yang ingin aku sampaikan adalah: Bagaimana cara Ibu menahan lidah, supaya tidak melontarkan kalimat yang nantinya akan disesali sepersekian detik kemudian Waduh, Panjang banget yak. Intinya begitu lah, nangkep kaann... karena perempuan konon dibekali talenta kudu mengeluarkan 20 ribu kata sehari (bisa dalam bentuk lisan, ataupun tulisan). Maka dari itu, konflik yang kerap tersulut, biasanya antara anak remaja dan ibu.
Berdasarkan pengalaman membersamai Sidqi selama 18 tahun, aku coba mengingat-ingat dan menjabarkan apa saja yang sudah aku lakoni. Here we go!
Sesuai judul postingan ini, Lidah Tak Bertulang Pangkal Konflik Berulang; Begitulah.... ada hari-hari yang kualami berubah jadi suram, lantaran ego dan amarah yang berkecamuk dan menemukan muaranya dalam bentuk kata-kata.
Saya mengalami kesulitan cukup hebat, untuk mengendalikan ego. Apalagi, masa remajaku yang (boleh dibilang) gemilang, membuat rasa jumawa tak kunjung sirna. Dan pada gilirannya, saya kerap membanding-bandingkan anakku dengan masa mudaku dulu.
"Jaman ibuk SMA dulu.... " selalu diawali dengan kalimat songong begini.... "Ibu tuh udah bisa cari duit sendiri! Ke redaksi Surabaya Post, ibu naik angkot! Kadang nebeng teman. Lalu ibu setor tulisan, bisa berita, atau cerpen. Kalau dimuat, ibu dapat fee cukup banyak, bisa 75 ribu, itu tahun 1997 loh. Bayangkan, ibu bisa nraktir BengBeng untuk teman sekelas, ada 48 orang."
"Jaman ibuk SMA dulu... setiap Upacara hari Senin, ibu pasti dipanggil maju ke depan untuk serah terima piala. Ibu langganan juara banyak lomba.... Ibu bikin bangga nama SMA 16 Surabaya. Lahh, kamu? Apa prestasimu sampai segede ini?"
Errr....Post Power Syndrome? Yaahh, barangkali itu yang saya rasakan. Si paling juara lomba jaman SMA, eh... ternyata di masa (jelang) lansia, malah beraktivitas mostly di rumah aja. Rasa kalut dan setengah putus asa itu, kemudian saya lampiaskan ke anak. Padahal, mana ada manusia di muka bumi ini yang suka dibanding-bandingkan?
Belum lagi, kalau Sidqi tengah ngobrol dan ujug-ujug (entah gimana awal mulanya) kami terlibat debat yang cukup alot. Alih-alih menyimak opini Sidqi, saya langsung nyolot, "Kamu tahu apa? Ibuk hidup jauh lebih lama ketimbang kamu! Ibuk ini udah pergi ke banyak tempat, udah beberapa kali ke luar negeri, jangan sotoy deh jadi anak!"