Mohon tunggu...
Nurul Rahmawati
Nurul Rahmawati Mohon Tunggu... Blogger bukanbocahbiasa.com | IG @bundasidqi | Twitter @nurulrahma

Halo! Saya Ibu dengan anak remaja, sering menulis tentang parenting for teens. Selain itu, sebagai Google Local Guides, saya juga kerap mengulas aneka destinasi dan kuliner maknyus! Utamanya di Surabaya, Jawa Timur. Yuk, main ke blog pribadi saya di www.bukanbocahbiasa.com

Selanjutnya

Tutup

Tradisi Pilihan

Memori yang Dirindukan saat Mudik ke Pacitan

25 April 2023   16:17 Diperbarui: 25 April 2023   16:19 881
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik Kumpul Keluarga Besar (dok.Bukanbocahbiasa.com)

55, saya tuh sebenernya sebeeell banget kalo kudu mudik ke Pacitan. Maklum, keluarga kami masuk kategori kelas menengah ngehe, ibu saya guru, bapak saya PNS sederhana, dan kami waktu itu ngga punya mobil. So, itu artinya kalo ke Pacitan, kami kudu naik transportasi umum. Kalau lihat di Google map, jarak Surabaya -- Pacitan adalah 272,3 km. Sejak kecil, kami mudik naik bus umum, dengan rute bus Surabaya -- Ponorogo (naik bus besar) disambung Ponorogo -- Pacitan (naik bus kecil, yang bunyinya mleyot mleyot seolah hidup segan, mati pun enggan)

Armada bus ini jumlahnya amat terbatas. Kami harus lari-lari mengejar bus Ponorogo -- Pacitan, jumlah pemudik juga banyaaakk banget! Lari-lari dengan sekuat tenaga, tentu sambil membawa tas, kardus berisi oleh-oleh untuk saudara di desa. Nafas tersengal-sengal, namun Ibu tetap bersikukuh, "Ayo yang kuat larinya! Biar nanti dapat kursi yang enak di bus! Nggak mau berdiri selama perjalanan Ponorogo -- Pacitan kan?"

 Saya --si bocah berusia 7 tahun itu-- mati-matian berupaya mengejar peluang untuk mendapatkan 'secuil surga' berupa kursi dalam bus. Masuklah daku ke bus reyot binti mleyot. FULL HOUSE. Bau apek, asem, prengus menguar ke seluruh penjuru. Belum musim pakai masker, jadi indra penciumanku bisa dengan leluasa mengendus anek aroma yang tak pernah diminta. Kadang, terpaksa nafas pakai mulut! Biar hidung nggak terlampau tersiksa. Okehhhh duduk berdempetan, juga bersinggungan dengan aneka tas milik penumpang, kardus segambreng, dan..... ayam jago yang dipangku orang! Hadeuhhhh.

Tahun 1980/1990-an jalur Ponorogo -- Pacitan ini termasuk jalur tengkorak. Jalanan sempit, curam, berbatasan langsung dengan tebing dan jurang! Tidak sedikit kabar yang menyebutkan bahwa beberapa sopir hilang kendali, sehingga terperosok ke dalam jurang. Kalau berpapasan dengan kendaraan dari arah berbeda, maka salah satu harus mengalah. Antre dulu, boskuuu. Baru ntar dapat giliran buat jalan lagi.

Bener-bener pengalaman mudik yang super mengesankan. Bau apek menguar, kondisi semrawut, muka-muka Lelah seperti baru pulang dari medan perang!

Tatkala menginjakkan kaki di rumah Yangti (eyang putri), plasshhhh.... Rasa Lelah kami auto sirna. Berganti dengan syukur tanpa umpama. Yangti dan beberapa tetangga menyambut kami dengan seulas senyum sumringah yang sangat organik! Senyum yang sangat tulus dan genuine, sama sekali bukan senyum artifisal ala-ala hasil produk pelatihan motivator di hotel-hotel mewah. Inilah senyum yang saya rindukan, senyum yang menerbitkan rasa tenang dalam jiwa.

"Piye perjalannya, Nduk? Jam piro soko Suroboyo?" (gimana perjalanannya, Nak? Jam berapa berangkat dari Surabaya) Eyang selalu menyambut dengan pertanyaan itu.

"Rameee, tapi Alhamdulillah, lancaarr...." Dan selalu begitu template jawaban ala ibuku. Belakangan aku baru tahu, kalau Ibu pasti ogah cerita soal detail ke-amburadul-an trip yang kami alami saban menuju Pacitan di kala mudik. Pastinya Ibu nggak mau Yangti jadi overthinking, kan?

Alhamdulillah Bulek (adik kandung Ibuku) mempersiapkan segala sesuatunya dengan paripurna. Teh seduh hangat (yang entah kenapa, rasanya segerrr banget!), plus aneka kudapan dan menu khas Pacitan yang menggugah selera. Rengginang (kami sebutnya 'krecek'), alen-alen (kami menyebut 'kolong'), kembang goyang, madu mongso, tape ketan, you name it! Jajanan tradisional yang agak sulit ditemui di kota besar.

Keramahan warga Desa Bangunsari Pacitan bikin aku merasa hidup ternyata baik-baik saja. Sejak kecil, aku selalu ditraktir minum kelapa muda, fresh ngambil langsung dari pohon kelapa yang berdiri gagah di depan rumah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Tradisi Selengkapnya
Lihat Tradisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun