[caption id="attachment_257846" align="aligncenter" width="597" caption="Dermaga pulau Sebesi - Komplek Krakatau, 02-12-2012 (Doc. pribadi)"][/caption]
Jalan-jalan, Ya Allah ini yang disebut surga dunia mungkin ya? Sejak akhir tahun 2012 saya mulai suka kegiatan traveling ala backpacker. Tanya kenapa? Setiap orang pasti punya alasan sendiri kenapa melakukan kegiatan traveling, dan pasti relative pada setiap orang. Meski sebenarnya beda-beda tipis juga sih alasannya. Misal, yang paling umum adalah fungsi refreshing dan rekreasi. Tapi kalo tanya ke para backpacker jawabannya lebih dari sekedar refreshing pastinya. Apalagi prinsip dasar backpacker adalah; “ransel di punggung berjalan sejauh mungkin, dengan budget seminim mungkin.” So, selanjutnya di tulisan ini saya ganti kata ‘traveling’ dengan ‘backpacking’. Meski artinya sama-sama jalan-jalan, tapi buat saya dua kata itu tetap berbeda makna. Traveling adalah kata yang umum dengan cakupan luas, termasuk didalamnya adalah jalan-jalan yang mengarah gaya hidup hedon (maaf kalo saya salah soal pilihan kata hedon), dan juga backpacking yang merupakan bagian dari traveling itu sendiri. Backpacking adalah kata yang lebih khusus dan mendeskripsikan bagaimana seseorang melakukan traveling, dengan cara apa, dan memiliki ciri khas tersendiri yang berbeda dari pelaku traveling lainnya. Menjawab pertanyaan judul tulisan saya ini, haruskah jalan-jalan? Backpacking buat saya memiliki arti lebih dari sekedar perjalanan. Backpacking adalah petualangan dimana saya bisa belajar banyak hal. Oke, kalimat saya sebelum ini masih sangat abstrak, yuk kita coba mengurai dengan kalimat-kalimat yang lebih realistis. Embracing my self Terlalu banyak kenangan pahit dalam hidup saya, meski saya tidak pernah memungkiri betapa banyak anugerah dan keindahan hidup yang udah saya dapat. Tapi, sangat manusiawi menurut saya, bahwa saya memiliki rasa sakit hati, dendam, sulit memaafkan, sedih dan benci. Bukan kepada orang lain, tapi kepada diri sendiri. Ya, semua rasa negatif yang tadi saya sebut itu tertuju kepada diri sendiri, mungkin bisa diringkas dengan satu kata sederhana, ‘sesal’. Awalnya mungkin saya memilih backpacking sebagai pelarian (ascape), menghilang dari keseharian yang membuat saya semakin terikat dan terjebak pada masalalu, pada situasi yang membuat saya semakin sakit. Dan tanpa saya sangka, di tengah perjalanan saya melihat banyak, banyak sekali hal baru. Yang bisa jadi hal tersebut adalah sebuah bagian dari drama kehidupan yang sudah diskenariokan. Sesuatu yang mungkin lebih tragis dari apa yang saya alami. Dan itu tidak hanyta membuat saya bersyukur bahwa saya ternyata lebih beruntung, bahwa ada yang lebih menderita dibanding saya. Tapi ternyata dari apa yang saya lihat itu juga membangkitkan rasa simpati dan empati dalam diri. Memahami kehidupan, memahami diri sendiri, memaafkan orang lain yang mungkin pernah menyakiti, juga memngingatkan bahwa mungkin saya juga pernah menyakiti hati orang lain. Menjalani hidup lebih iklas, dan mencoba mengumpulkan kembali semangat-semangat baru. Banyak hal positif yang bisa kita rengkuh, dengan backpacking saya bisa lebih bersahabat dengan diri sendiri dan orang lain I will Survive Dubutuhkan keberanian untuk melakukan sebuah petualangan. Mendeklarasikan diri sebagai seorang avonturir (adventurer), berarti sudah siap dengan segala resikonya. Resiko yang dimaksud disini bukan resiko untuk konsisten dan terus menjelajah, karena seorang avonturir melakukan perjalanan tanpa paksaan, melainkan panggilan jiwa atas kerinduan untuk bertualang yang tumbuh terus menerus dalam hati. Resiko yang sebenarnya adalah meninggalkan zona nyaman. Dan bahwa setiap resiko itu selalu berbanding lurus dengan keuntungan yang diperoleh. (itu yang saya pelajari dari ilmu bisnis :p hehe). Meninggalkan zona nyaman dan hidup di tempat baru yang berbeda adat, budaya, bahasa, juga makanan dan zona waktu. Bisa mengatasi semua kesulitan itu adalah sebuah prestasi, kepuasan batin tersendiri yang bisa saya rasakan. Itulah yang kemudian saya sebut keuntungan di balik resiko. Backpacking akan mengasah kemampuan pemecahan masalah (problem solving), dan semua pengalaman tersebut adalah semacam tempaan buat saya untuk bisa bertahan hidup dalam berbagai kesulitan yang mungkin menghampiri. Yes, I will survive! Network of Excellence itu kalo disingkat jadi NOE. Oya, perkenalkan itu nama pena saya. (haha gayanya udah macem penulis terkenal pake nama pena)
Reblog dari blog pribadi saya di http://noestyle.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H