ProduserOdy Mulya Hidayat
SutradaraGuntur Soeharjanto
PenulisAlim Sudio,Asma Nadia
PemeranRevalina S Temat,Morgan Oey,Ibnu Jamil,Laudya Cynthia Bella,Deddy Mahendra Desta
Produksi: Maxima Pictures
Penghujung tahun matahari kali ini ditutup dengan hujan yang turun sejak pagi di kotaku, membuat udara seharian terasa sejuk dan nyaman. Namun di sisi lain cuaca seperti ini sungguh menyebabkan momen inersia meningkat sehingga bergerak keluar pintu rumah saja terasa begitu berat. Baiklah, mari hari ini libur sejenak untuk belanja sayur ke warung, libur pergi ke kantor, libur bersih-bersih rumah, dan libur mandi #eh... Teruntuk yang masih ujian di kampus atau yang kantornya belum libur tetap bersemangat, ya! Itu sebagai bukti pula bahwa kalian adalah para pejuang sejati karena tetap belajar dan bekerja sampai titik darah penghabisan di ujung waktu :). Oke, ini agak berlebihan...
Berbicara tentang penghujung waktu, ada hadiah manis bagi para cinematizen untuk tidak melewatkan akhir Desember sampai Januari nanti duduk manis di teater favoritnya masing-masing. Menonton Assalamualaikum Beijing (AB). AB sudah rilis serentak 30 Desember kemarin di bioskop-bioskop tanah air. Film besutan Guntur Soeharjanto bersama Maxima Pictures yang mengangkat novel populer Asma Nadia ini bercerita tentang seorang jurnalis muda yang menjadi reporter sekaligus penulis kolom untuk meliput kehidupan Islam di Tiongkok.
Cerita diawali dengan adegan saat tokoh utama, Asmara (diperankan oleh Revalina S. Temat), harus menerima kabar pengkhianatan kekasihnya sehari sebelum hari pernikahan mereka. Panggilan kerja ke Beijing untuk meliput lanskap kota, arsitektur, dan kehidupan muslim disana menjadi titik tolak utama dalam cerita. Asma berangkat ke Beijing dan tinggal bersama sahabatnya yang sudah berkeluarga, Sekar (diperankan oleh Laudya Cynthia Bella) dan Ridwan -suami Sekar- (diperankan oleh Desta). Dalam salah satu perjalanan di bis, Asma berkenalan dengan seorang pemuda Tiongkok bernama Zheng Wen (baca: Chungwen; diperankan oleh Morgan Oey) yang membantunya memberikan informasi tentang halte tujuannya. Zheng Wen mengajak Asma berjabat tangan untuk berkenalan, namun Asma menangkupkan kedua tangannya ke dada sambil membalas menyebutkan nama, “Asma.”
Dari sinilah ketertarikan antara keduanya bermula. Zheng Wen yang tampan dan simpatik. Asma yang cantik dan teguh prinsip. Layaknya Ashima, tokoh wanita dalam cerita rakyat Tiongkok yang digambarkan oleh Zheng Wen sebagai gadis yang tidak hanya cantik rupanya, tetapi juga mulia hatinya. Zheng Wen memanggil Asma dengan sebutan Ashima. Mereka berpisah setelah Zheng Wen memberikan buku yang bercerita tentang legenda Ashima kepada Asma, sementara Asma hanya sempat mengabadikan pertemuan pertama mereka dengan memotret punggung Zheng Wen saat ia beranjak turun terlebih dahulu dari bis.
Asma dan Zheng Wen bertemu kembali saat Zheng Wen menjadi pemandu tur bagi Asma, menunjukkan dan menceritakan berbagai bangunan bersejarah di Beijing. Konflik mulai naik saat Dewa (diperankan oleh Ibnu Jamil), mantan kekasih Asma muncul dan mengejar cinta Asma kembali. Asma yang bersikukuh tidak akan menerima Dewa kembali, meminta Dewa untuk berhenti dan pulang mengurus istri dan anaknya saja. Cerita mereka sudah berakhir dan menjadi masa lalu bagi Asma.
Sementara kisah romantis antara Asma dan Zheng Wen sebagai jurnalis dan pemandu tur baru saja dimulai, Asma harus pulang ke Indonesia karena ia divonis mengidap penyakit kelainan jantung dimana darah bisa mengental secara mendadak di organ tubuh mana saja. Zheng Wen yang tadinya begitu bersemangat hendak mengajak Asma mengunjungi kampung halamannya di Yunan dan menunjukkan batu Ashima yang menjadi legenda tersebut, tampak sedih saat mendapati surat Asma yang pamit dengan mengatakan harus pulang untuk urusan keluarga. Lalu bagaimana kelanjutan kisah antara Asma dan Zheng Wen? Akankah mereka bertemu kembali? Bagaimana dengan perbedaan keyakinan diantara mereka? Apakah Asma mampu menemukan cinta sejatinya setelah ia pernah merasakan luka sebelumnya, bahkan kini fisiknya pun menjadi tidak sempurna karena penyakitnya?
AB yang dikategorikan masuk ke dalam genre drama ini sukses mengajak para penontonnya larut dalam setiap babak cerita. Alur maju yang dihadirkan menjadikan film ini ringan dan mudah diikuti. Dialog-dialognya sederhana, tidak rumit, tidak juga berlebihan, meskipun suasana melankolis cukup kental terasa. Bagi yang senang dengan kata-kata ‘manis’, film ini cukup memanjakan para penontonnya dengan beberapa dialog yang bisa membuat ‘meleleh’. Namun, untukku yang secara subjektif sedang tidak bersahabat dengan kalimat-kalimat melankolis, film ini sukses membuatku berisik hampir sepanjang film diputar. Sebelum tokoh dalam cerita merespon adegan lawan mainnya, saya sudah menebak dialog-dialognya terlebih dahulu dan disampaikan secara verbal. Jika tebakanku benar, saya akan menepuk-nepuk lengan teman di sebelah saya karena gembira, padahal teman saya itu tengah berkaca-kaca matanya karena haru. Ia sibuk mengelap matanya yang basah, sementara saya justru menggoyang-goyang tangannya yang harus ia gunakan untuk menyeka sudut mata dan pipinya. Please, kelakuan burukku ini jangan ditiru. Bukan hanya akan merusak emosi teman menonton kita, tetapi juga jelas mengganggu kekhidmatan penonton yang lain di dalam bioskop.
Karakter para tokohnya terbilang kuat. Akting Revalina sebagai Asma patut diacungi jempol. Ia memainkan karakter Asma dengan begitu piawai. Morgan yang oleh Sekar –sahabat Asma- dipanggil Chung Chung, juga memainkan karakter Zheng Wen dengan sangat cukup.... cukup membuat hati saya meleleh (-,- oke skip). Aktingnya sangat baik. Sedikit kekurangannya adalah logat Tiongkok-nya yang hilang sama sekali di babak-babak akhir cerita, padahal ia belum lama berada di Indonesia. Meskipun kemampuannya berbahasa Indonesia sangat lancar sebagai pemandu tur, menurutku itu adalah black hole yang tidak logis. Laudya dan Desta yang memerankan karakter Sekar dan Ridwan menguatkan cerita sehingga AB menjadi film yang jauh dari membosankan. Keberadaan mereka memberi nilai tambah alur cerita sehingga AB menjadi lebih segar dan menghibur. Ibnu Budiman juga memerankan Dewa dengan sangat baik. Karakter ambisiusnya begitu terasa sehingga peran antagonis yang diimainkannya tersampaikan dengan baik pula.
Terkait setting lokasi, ini yang menurutku paling menarik hati. Berterima kasih sekali kepada Aditya Gumay yang sudah mencarikan latar tempat-tempat yang begitu menawan. Pengambilan gambar dan framing di beberapa adegan dibuat dengan sangat apik. Nilai lebih dari film ini adalah bukan hanya latar cerita indah yang dihadirkan, tetapi juga informasi yang disampaikan tentang lokasi tersebut sehingga memberi wawasan baru pula pada penonton. Hal ini menjadi wajar karena film bercerita tentang pemandu tur dan jurnalis yang memang harus berkeliling mencari bahan untuk kolomnya. Lagu latar dan suara latar yang mengiringi sepanjang cerita juga diolah dengan cukup baik, menguatkan suasana dan atmosfer adegan di tiap babaknya. Salah satu adegan yang menggunakan latar lagu oriental Tiongkok sangat berhasil membuat saya seketika bernostalgia dan merindukan drama-drama Asia era awal tahun 2000-an, seperti Kabut Cinta dan Putri Huan Zhu. Lalu lagi-lagi saya berisik mengganggu teman menonton saya yang sedang khusyuk menyimak dialog para tokoh AB. Sekali lagi, kalakuan saya ini sebaiknya jangan ditiru. Overall, hampir semua setting lokasi baik outdoor maupun indoor ditata dengan sangat baik oleh tim AB. Congratz!
Saatnya membahas pesan dan nilai. Duh, saya justru bingung sekarang harus menyampaikan darimana. Sebaiknya ditonton saja filmnya segera. Nikmati bersama teman-teman sekolah ataupun keluarga. Tak perlu berekspektasi lebih dahulu tentang film AB yang akan terasa kental akan suasana religi ataupun dialog-dialog yang terkesan menggurui. Itu tidak akan terjadi. AB sama seperti film bergenre drama lainnya yang romantis, membuat haru, dan sesekali menggelitik hati dan memancing senyum. Perbedaannya adalah AB merupakan film yang sangat layak untuk menanamkan pada anak dan remaja kita tentang makna cinta yang sebenarnya. Bahwa cinta adalah menjaga. Bahwa cinta tak perlu tergesa-gesa. Bahwa tetap bergerak ke arah yang baik tanpa berlarut-larut dalam sedih dan luka harus menjadi asa dalam setiap jiwa. Bahwa bersentuhan dengan lawan jenis yang kita suka hanya dapat dilakukan dengan cara yang baik melalui proses juang yang baik pula. Bahwa agama hadir di dunia adalah untuk menata alam dan manusianya menjadi baik dan bersahaja.
AB ingin menyampaikan bahwa segala tentang Islam adalah keindahan. Islam, yang risalahnya turun melalui manusia terbaik yang pernah ada –Rasulullah Saw- adalah rahmat bagi seluruh alam dan bukan hanya untuk sebagian manusia saja. AB akan mengajak kita berpikiran lebih terbuka dan tidak mengkotak-kotakkan manusia hanya karena latar belakang dan perbedaan yang ada. Ini tersampaikan dengan cukup baik melalui konflik beberapa karakter tokohnya. Mengenalkan Islam dengan cara yang luwes, bukan berarti harus meninggalkan prinsip-prinsip yang telah digariskan-Nya. Bukankah Rasul juga tidak pernah memaksa setiap orang untuk mengikutinya? Ia hanya memberi kabar bahwa cara yang ia ajarkan adalah satu-satunya jalan keselamatan dan pilihan ada di setiap diri-diri kita. Bukankah kelebihan manusia dari makhluk lainnya adalah keberadaan akal untuk berpikir dan memilih yang baik dari yang buruk?
Seperti Zheng Wen. Ia tertarik, lalu berpikir. Ia percaya Tuhan meskipun tidak mempercayai agama, namun hatinya tidaklah mati. Bukankah cahaya akan selalu masuk pada setiap hati yang terbuka? Begitu pula cinta sejati menemukan jalannya. Pada akhirnya tidaklah dibutuhkan fisik yang sempurna untuk meraih cinta yang sempurna. Tak perlu khawatir pada setiap takdir yang jelas sudah dijanjikan-Nya. Hidup, mati, jodoh, dan rezeki. Yang sehat tak berarti hidup lebih lama dari yang sakit. Yang pernah merasakan patah hati, tak berarti ia tak akan bertemu dengan cintanya yang hakiki. Seperti yang dituturkan Asma Nadia dalam ceritanya, jika tak kau temukan cinta, biarlah cinta yang menemukanmu. Tak perlu khawatir. Tetaplah bergerak dan berharap dengan setiap cara terbaik. Dan biarkan cinta menjadi energi yang tak akan pernah habis.
Saya tidak bisa membandingkan film AB dengan novelnya, dan memang saya tidak ingin. Selalu ada pendekatan yang berbeda antara alur tulisan dengan alur visual. Jika tulisan adalah kata bertutur yang mencipta berbagai imaji visual dalam benak setiap pembacanya, maka film seharusnya menjadi gambar bertutur yang mampu mencipta berjuta makna pada setiap penikmatnya. Saya tidak bisa mengatakan AB berhasil sebagai film yang menyampaikan selaksa makna melalui gambar bertutur. AB mengantarkan setiap pesannya secara langsung melalui dialog tokoh-tokohnya dengan sederhana sehingga mudah dicerna. Sebagai tontonan edukasi, film ini sangat patut untuk direkomendasikan. Sebagai hiburan ringan yang sarat akan nilai, film inipun sangat cocok menjadi pelepas penat dan kejenuhan. Mari berhibur dengan tontonan yang sehat dan bermanfaat! :)
Kota Hujan, 31 Desember 2014
Nurul Najmi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H