Pada pertengahan 2007, setelah gempa Jogja, saya mendapat order kerajinan satu container 20 feet dari Uruguway, Amerika Selatan. Tanpa pernah bertemu dengan buyer, dan hanya komunikasi melalui internet (e-mail), meski dengan negosiasi selama hampir 6 bulan, karena banyak hal yang harus didiskusikan dengan buyer. Warna produk, ukuran, space container, quantity dan tentu, tawar-menawar harga.
Saya pun hanya bermodalkan foto produk, tanpa punya kantor perusahaan, tanpa workshop, apalagi karyawan!. Saya hanya bermodalkan keyakinan untuk meyakinkan buyer saya, bahwa saya bisa dipercaya, serta bermodalkan relasi-relasi bisnis. Uang saya saat itu sekitar Rp. 300.000,- Praktis tak bermodalkan uang. Tapi transaksi itu bisa terjadi dan Alhamulillah lancar. Meskipun buyer sempat tanya ke sana-ke mari mencari tahu siapa saya. Kebetulan yang ditanya adalah teman-teman saya. Tanpa kongkalikong, teman-teman mereferensikan buyer saya untuk tetap melangsungkan transaksi dengan saya. Semua itu kuncinya satu kata βtrustβ! Tanpa kepercayaan, semua itu mustahil terjadi.
Lagi tentang βkepercayaan.β Pada sebuah pengajian di kampung, seorang kyai pernah bertanya kepada audiens; βMengapa penumpang bus itu bisa tidurβ? Saat itu semua jawaban audiens salah. Sang kyai menjawab : βKarena para penumpang itu percaya kepada sopir. Bahwa sopir akan mengemudikan dengan baik dan selamat. Maka para penumpang bisa tidur. Coba tanpa kepercayaan kepada sopir, penumpang akan resah, bahkan takut, serta tak dapat tidur. Kuncinya hanya satu kata βtrustβ!
Tentang βkepercayaanβ dalam bisnis, saya pernah mendapatkan wejangan dari guru saya Prof. Dr. Musa Asyβarie (mantan Rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta), bahwa dalam bisnis, βuang bukanlah segala-galanya, meski itu penting. Yang utama adalah βkepercayaanβ. Unsur βkepercayaanβ inilah yang menjadi fondasi sebuah bisnis, bahkan segala aktifitas pola relasi kita dengan klien, rekan kerja, relasi bisnis atau siapa pun pasti melibatkan unsur kepercayaan. Tanpa kepercayaan, bisnis tidak akan terjadi.
Sekali lagi kisah tentang βkepercayaanβ, dalam sebuah pengajian sekitar tahun 1987, di Masjid tertua di Kudus Jawa Tengah, KH. Thuraihan Al-Bajuri mengatakan bahwa seorang pe-rawi Hadits harus dapat dipercaya. Maka, jika dia mengundang seekor ayam untuk diberi makan dengan menurunkan/melambai-lambaikan tangannya βseakan-akan menggenggam makanan ayam--, tapi ternyata dia tidak memegang jagung/beras/makanan ayam yang lain, maka dia tidak layak untuk menjadi perawi Hadits. Untuk ajaran suci, kasus seperti itu βmeski sepertinya sepeleβbisa menjadi hal yang sangat menentukan bisa-tidaknya perawi Hadits untuk dipercaya.
Begitu pentingnya unsur βkepercayaanβ, hingga banyak orang yang menempatkan unsur ini menjadi unsur yang sangat krusial. Unsur ini yang menjadi fundamental dari segala urusan. Dalam konteks agama Islam, orang akan masuk agama Islam harus mengucapkan dua kalimat syahadat yang substansinya adalah kepercayaan/iman kepada Tuhan dan Rosulnya.
Berbicara tentang βkepercayaanβ memang mudah. Tapi merealisasikannya adalah sangat berat. Seperti halnya ketika saya merealisasikan komitmen bisnis, dengan situasi dan kondisi yang berat. Karena faktor bahan baku, pengiriman, regulasi dan lain sebagainya. Itu sungguh menguras enerji. Hanya untuk sebuah βkepercayaanβ dalam relasi bisnis. Karena jika ini telah terkikis, bahkan hilang, maka resiko yang kita hadapi adalah kita diblack-list, dan klien tak mau lagi berhubungan bisnis dengan kita.
Orang yang mengutamakan βkepercayaanβ, adalah orang yang mempunyai visi bisnis jauh ke depan, berjangka panjang dan berfikiran luas. Sebaliknya orang yang sembarangan mengumbar janji tanpa memberikan komitmen konkrit, adalah sejenis orang yang berfikiran pendek, dangkal dan suka bunuh diri!
Unsur ini (kepercayaan) adalah fondasi segala macam permasalahan hidup. Tidak hanya bisnis di wilayah ekonomi, tetapi relasi sosial juga membutuhkan unsur kepercayaan.
Seniman dengan area βkebebasanβ fikir yang kadang terkesan seenaknya sendiri, mestinya bisa memilah dan membedakan dalam pola relasi dengan pihak-pihak lain, apalagi di wilayah bisnis. Seniman profesional seharusnya bisa mengikuti ritme dan aturan main yang ada di dunia bisnis maupun sosial. Sehingga menempatkan unsur βkepercayaanβ juga di atas, bukan diletakkan di sembarang tempat yang mudah raib.
Menurut saya, pola yang ideal dalam hal pola bisnis adalah profesional dan fairness. Dalam hal dagang, saya sepakat dengan pola Muhammad (Rosulullah SAW), yang mana menerapkan pola fairness. Menjual barang tidak harus menipu dan mengarang cerita! Dengan pola fairness, pelaku bisnis bisa dengan lugas menerapkan dan menginformasikan harga, dan βjika dibutuhkan-- sekaligus HPP (Harga Pokok Produksi/Perolehan) yang ada. Tanpa harus mengarang-ngarang cerita, bahwa barang ini sudah ditawar oleh si Anu sekian! Ini menambah beban hidup dalam skala jangka panjang.