Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

The all about creative industries world. Producer - Writer - Lecturer - Art worker - Film Maker ***

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Tata Ruang dan Budaya Jogja

8 Agustus 2016   15:04 Diperbarui: 8 Agustus 2016   15:06 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perkembangan jaman yang berdimensi waktu akan membawa konsekuensi logis akan adanya sebuah perubahan, baik secara material, visual maupun immaterial, atau dengan istilah lain, perubahan secara kuantitatif maupun kualitatif. Perubahan tersebut bergantung kepada faktor internal maupun eksternal.

Perubahan itu sendiri dapat dinilai sebagai perubahan positif, dapat juga dinilai sebagai perubahan ke arah negatif, sesuai dari arah mana perspektif kita memandang. Demikian juga Kota Yogyakarta.

Yogyakarta yang telah akrab disebut dengan Kota Pendidikan, Kota Budaya, Kota Wisata dan beberapa sebutan lain pun mengalami hal yang sama, berubah sesuai dengan mainstream jaman. Tentu hal ini tidak terlepas dari faktor internal dan faktor eksternal yang mempengaruhinya.

Faktor internal dalam konteks ini menurut hemat saya adalah sistem pengelolaan beserta sang pengelolanya (government) dan budaya lokal yang ada. Sedangkan faktor eksternal berupa ragam budaya yang datang dari luar, termasuk budaya asing. Di samping itu juga sistem pemerintahan pusat berserta sang pengelola sistem tersebut menjadi faktor eksternal yang mempengaruhi ke arah mana perubahan Kota Yogyakarta.

Secara kuantitatif, Yogyakarta telah mengalami demikian pesat perubahan visual dengan maraknya pembangunan fisik beserta tata ruang yang ada, baik infrastruktur publik maupun private yang menjadi tuntutan jaman seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk setiap tahun.

Tumbuhnya bangunan mall dan hotel-hotel merupakan respons positif terhadap meningkatnya wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Memang ini menjadi indikator meningkatnya sebuah pembangunan daerah, namun untuk mencapai pembangunan Yogyakarta Istimewa secara utuh, masih meninggalkan catatan beberapa pertanyaan; Apakah maraknya pembangunan tata ruang infrastruktur itu sesuai dengan kebutuhan Yogyakarya sebagai Kota Budaya, Kota Wisata atau Kota Pendidikan? Apakah pembangunan itu akan melahirkan kenyamanan bagi penduduk atau pengunjungnya? Apakah tetap mempertahankan simbol-simbol budaya heritage yang ada? Atau justru malah menimbulkan efek berkurangnya kualitas lingkungan? Ini yang harus kita fahami dan kita kaji secara mendalam jika kita menginginkan pembangunan Kota Yogyakarta secara utuh.

Bagaimanapun Yogyakarta dengan predikat Istimewa mengandung makna yang menyeluruh. Tidak hanya Istimewa secara lahiriyah, namun juga aspek batiniyah harus terakomodasi secara baik. Maka menurut hemat saya, apapun bentuk pembangunan tata ruang yang ada sekarang ini perlu dikaji lebih dalam lagi terkait dengan pertanyaan-pertanyaan di atas.

Munculnya gerakan masyarakat beberapa waktu yang lalu yang dipicu oleh para seniman dengan slogan "Jogja Ora Didol" adalah bentuk social control yang patut diperhatikan oleh pemegang kebijakan. Ini sekaligus sebagai "warning" bahwa menentukan kebijakan pembangunan tata ruang di Yogyakarta tidak hanya mempertimbangkan hal-hal yang terkait dengan keuntungan materialistik an-sich. Tetapi juga mempertimbangkan faktor budaya, kenyamanan masyarakat dan juga kesehatan lingkungan yang ada.

Dengan predikat Kota Budaya, sudah selayaknya Yogyakarta tetap mempertahankan unsur nilai-nilai budaya dalam mengatur tata ruangnya. Seperti kita ketahui, bahwa budaya Jawa penuh dengan simbol-simbol nilai filosofi yang sangat kental. Bentuk-bentuk bangunanpun secara visual mempunyai ciri khas tertentu. Oleh karena itu, Yogyakarta harus mampu menampakkan ciri khas tersebut sebagai simbol budaya Jawa yang dipegang erat.

Bolehlah kita menengok visualisasi Bali sebagai daerah wisata yang telah mendunia. Bagaimanapun setiap pengunjung Bali akan menangkap sebuah perbedaan yang khas ketika memasuki Pulau Dewata itu dengan munculnya gapura-gapura khas Bali atau patung-patung dengan kain Poleng (kotak-kotak hitam putih) yang tersebar tidak hanya di ruang-ruang publik, namun di tempat-tempat private pun ada. Inilah ciri khas yang dimunculkan di Bali dengan membawa nilai-nilai filosofi budaya yang dipegang erat. Praktis secara visual telah tertanam dalam benak siapapun yang datang ke Pulau Dewata itu.

Coba kita bandingkan dengan Kota Yogyakarta. Simbol apa yang membedakan dengan kota lain ketika memasuki kota kita tercinta ini? Filosofi apa yang akan kita tanamkan dalam benak pengunjung Kota Yogyakarta ketika masuk kota ini? Sudah adakah? Secara visual tidak berbeda dengan kota lain. Bahkan bangunan-bangunan heritage pun banyak yang telah tertutup oleh bangunan mall dan hotel-hotel dengan bentuk baru yang tidak membawa ciri khas kota Yogyakarta. Seandainya adapun tidak seberapa banyak. Bahkan kemegahan Benteng Keraton pun tertutupi bangunan toko-toko moderen. Lalu bagaimana Yogyakarta mau "unjuk gigi" menampilkan ciri khas kota budaya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun