Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

👉The all about creative industries world 👈 Producer - Writer - Lecturer - Art worker

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Ada Ruang Kompromi di Antara Tim Artistik & Tim Produksi

24 Desember 2015   21:53 Diperbarui: 24 Desember 2015   22:03 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hiburan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Seni untuk kepuasan individu tak bisa ditembus oleh siapapun kecuali seniman itu sendiri dan Tuhan. Dia (seniman) mempunyai ’ruang gelap’ yang menjadi tempat ’persembunyian’ dalam menikmati karyanya sendiri. Dia tak mengharapkan ’kehadiran’ publik untuk ikut serta dalam menikmati karyanya. Apapun penilaian publik menjadi ’nihil’ di hadapan seniman yang mempunyai karya fungsi individu. Simbol-simbol yang muncul pun dari ide-ide seniman itu sendiri, hasil olah fikir dan imajinasi sendiri, meski mungkin tidak semakna dengan pemahaman publik atas simbol-simbol itu.

Bagi orang lain (publik), karya seni fungsi individu hanyalah absurditas dan tak jelas mau berbicara apa dan mau ke mana seniman itu. Karena yang muncul adalah abstrak. Seorang pelukis abstrak selalu ’menyimpan’ pesan-pesan atau muatan makna yang ada dalam karyanya, tanpa membaginya dalam simbol-simbol yang jelas. Itu semua dalam wilayah karya individu, dan tanpa keikutsertaan orang lain dalam mewujudkan karyanya.

Sedangkan karya seni dengan fungsi publik, mempunyai keniscayaan dan ’keharusan’ untuk bisa dimaknai oleh publik. Sehingga simbol-simbol yang muncul dalam karya itu adalah ’milik’ publik. Publik pun mempunyai ruang dalam menterjemahkan karya itu sesuai dengan kemampuannya, meski pemaknaan itu bisa beragam.

Sebuah konser musik, pertunjukan wayang, teater, sendra tari, dan film, mucul sebagai sebuah karya kolektif. Wujudnya bergantung pada kekompakan dan harmoni di antara bagian yang menjadi komponen sebuah karya seni kolektif. Sutradara, art director, music director, sound designer, talent, adalah contoh bidang yang bekerja dan berkarya dalam ruang artistik dalam sebuah produksi. Sedangkan Produser, Pimpinan Produksi, sekretaris, bendahara, stage manajer, pelaksana umum, perlengkapan, adalah beberapa contoh bidang yang bekerja di dalam ruang tim produksi. Semua itu tak lepas dari unsur manajemen.

Secara umum, manajemen adalah seni mengelola. Dia adalah sistem pengendali segala aktifitas lembaga, perusahaan, event atau segala sesuatu yang terkait sebuah sistem pengelolaan. Maka dapat dikatakan, baik-buruknya pengelolaan bergantung pada manajemen. Baik-buruknya produksi karya seni kolektif, meski mempunyai atmosfer ’kebebasan’ berkreasi, tak luput dari pola manajemen yang diterapkan.

Dalam wilayah produksi seni, secara khusus dalam ruang seni kolektif, ada dua wilayah yang ’bekerja’ dalam ruangnya masing-masing. Bidang Artistik bereksplorasi dan bekreasi dalam ruang ide atau gagasan, sedangkan Bidang Manajemen Produksi bekerja di wilayah aplikasi teknis pengejawantahan gagasan/ide kreatif, di samping itu juga menjadi media yang menghubungkan ide kreatif dengan publik penikmat seni. Di sinilah semestinya terjadi kompromi mutualistik, saling memberikan manfaat, tidak saling tindas, atau men-subordinasi-kan satu dengan yang lain. Karena setiap wilayah adalah bagian penting yang tidak dapat dipisahkan. Jika salah satu merasa paling penting, apalagi disertai dengan pola arogansi dan hegemoni gagasan, maka di dalam ruang seni kolektif itu telah terjadi ’penjajahan’ otoritas yang akan melahirkan ketimpangan, dan berujung pada ’keburukan’ karya seni.

Di samping itu, di dalam sistem manajemen manapun tidak memperkenankan sebuah pola kerja yang overlap, tumpang-tindih tidak karuan, atau intervensi wilayah satu dengan lainnya. Secara ideal dan normatif, antar bagian dalam pola manejemen seni mempunyai ruang spesifik yang diatur dalam sebuah sistem yang telah disepakati bersama. Seorang Divisi Humas tidak dibolehkan mengurus transportasi, seorang art director dilarang ikut mengurus lokasi, atau seorang Sutradara ikut sibuk ngurus konsumsi! Maka, jika itu terjadi dalam sebuah sistem manajemen seni, dampaknya akan muncul di dalam performance karya, memalukan!

Di sinilah peran seorang leader dalam manajemen seni menjadi krusial. Bisa menciptakan rule of the game yang baik, sekaligus menciptakan suasana kerja yang profesional, sistematik, terukur dan kondusif. Dibutuhkan ’kedewasaan’ bertindak dan obyektif dalam menilai, serta saling memberikan ruang untuk partisipasi ide dari bidang lain. Jika ini terjadi, maka --seperti dalam dunia musik-- harmoni akan tercapai. Jika harmoni ini tercapai, sebuah karya akan muncul dengan performance yang maksimal. Happy Ending!

Seorang manajer atau pimpinan produksi dalam event pertunjukan akan lebih berperan secara maksimal, jika mempunyai wawasan tentang content seni yang akan ditampilkan. Sebaliknya seorang sutradara atau art director akan lebih mempunyai karya yang maksimal jika memahami tipe publik/audiens yang akan menonton pertunjukan tersebut, juga mengerti tentang sistem manajemen yang baik. Dan yang lebih penting adalah pola pemberian ruang kompromi baik di wilayah manajemen secara umum ataupun wilayah artistik. Ini akan membangun sebuah karya yang tidak hanya berkualitas, tapi dapat diterima publik secara pas.

Pola kolaborasi mutualistik ini yang akan melahirkan kesadaran bersenyawa antara dua bidang yang sangat rentan untuk berseberangan. Ruang itu yang jarang saya temui di pola-pola produksi seni.

Kebanyakan pola yang terjadi adalah, tim produksi diciptakan menjadi ’pelayan’ dari tim artistik/seniman. Seolah-olah tim produksi adalah pembantu yang harus siap melayani ’tuan’-nya apapun kemauannya, tanpa sebuah ruang kompromi yang asyik, mutualistik, dan saling men-support. Ini akan menghasilkan karya yang timpang, dan melahirkan kesombongan-kesombongan bagi seniman. Seolah-olah semua yang muncul adalah karya dia (seniman). Padahal, ini adalah karya kolektif yang tidak mungkin dikerjakan oleh seorang seniman sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun