Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Dosen - Orang Biasa yang setia pada proses.

The all about creative industries world. Producer - Writer - Lecturer - Art worker - Film Maker ***

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

UNDAGI 2025; Kriya sebagai Artifact, Mentifact dan Sosiofact Seni Rupa Indonesia

17 Januari 2025   22:27 Diperbarui: 17 Januari 2025   22:28 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pameran Besar Seni Kriya UNDAGI 2025. (Sumber foto: Dokumentasi Askrina)

Pameran Undagi 2025 merepresentasikan eksistensi dan esensi karya-karya kriya dalam ruang dan waktu yang berbeda dengan visualisasi estetika sesuai lini masa zamannya. Dapat dipahami bahwa pameran ini akan lebih memberikan inspirasi bagi pertumbuhan dan perkembangan kriya dari masa lalu, masa kini, tidak menutup kemungkinan masa mendatang. Kriyawan didukung oleh kekayaan sumber daya alam Indonesia mampu mempersembahkan kreasi artistik menghadirkan kecakapan karya seni kriya yang terus bertumbuh.


Penyelenggaraan pameran besar kriya nasional Undagi 2025 juga dilatari oleh kesadaran bersama atas pentingnya menghargai ruang dan waktu untuk terus melahirkan karya-karya Kriya sebagai penanda kemajuan peradaban budaya Indonesia. Sinergi dan kolaborasi yang terintegrasi saling menguntungkan dalam kreatifitas penciptaan, apresiasi, dan edukasi akan mampu mewarnai kemajuan ilmu seni rupa di Indonesia.

Dengan menggunakan ruang publik seperti Galeri RJ Katamsi ISI Yogykarta yang berada pada jantung pendidikan seni, maka akan terjadi link and match  peningkatan wacana  seni rupa yang berdampak pada pemajuan Kriya Indonesia.

Karya Kriya memiliki kekuatan budaya seni rupa yang berbeda dengan karya seni rupa lainnya. Kriya yang akrab dengan pemajuan budaya Indonesia merepresentasikan kekuatan sebagai karya seni yang mengedepankan artifact, mentifact, dan sosiofact menggambarkan tiga aspek berbeda dari kebudayaan atau karya seni yang mencerminkan hubungan antara manusia, budaya, masyarakat dan dengan keberadan akan Tuhan-nya. Ketiga istilah ini berasal dari konsep yang lebih luas dalam antropologi budaya, dan dapat digunakan untuk memahami berbagai elemen dalam karya seni rupa Indonesia.

Artifact merujuk pada benda atau objek fisik yang dibuat oleh manusia, yang sering kali mengandung nilai budaya dan sejarah. Diciptakan karya seni yang berbentuk patung, ukiran, tekstil, keramik, anyaman, ornament, atau karya seni lainnya yang secara fisik dihasilkan oleh manusia dan memiliki makna budaya.

Mentifact merujuk pada aspek kebudayaan yang tidak tampak secara fisik, namun terinternalisasi dalam pikiran dan nilai-nilai masyarakat. Ini mencakup sistem kepercayaan, ideologi, agama, serta nilai-nilai estetika atau filosofi yang tercermin dalam karya seni. Mentifact dalam seni rupa Indonesia dapat mencakup simbolisme, cerita-cerita mitologis, dan filosofi budaya yang tercermin dalam cara-cara penggambaran alam, manusia, atau keberadaan akan Tuhan dalam karya seni.

Sedangkan Sosiofact mengacu pada struktur sosial dan organisasi masyarakat yang memengaruhi produksi dan konsumsi karya seni. Dalam konteks seni rupa Indonesia, sociofact dapat mengacu pada peran masyarakat dalam menentukan bentuk, tema, dan cara karya seni diciptakan, diterima, dan dihargai. Ini bisa mencakup peran patron seni, tradisi keluarga atau komunitas seni, serta norma sosial dan budaya yang memengaruhi bagaimana karya kriya diciptakan.

Pameran Undagi 2025 menghadirkan karya-karya yang dikreasikan oleh kriyawan dari berbagai kota seperti: Medan, Jambi, Pekalongan, Jepara, , Surakarta, Yogyakarta, Madiun,  Surabaya, Malang, Kediri, Bali, bahkan ada yang berasal dari Kalimantan. Karya yang diciptakan meliputi karya batik, makrame, tekstil, kayu, logam, keramik, kulit, dengan konseptual penciptaan berlatar belakang tradisional, modern, kontemporer atau karya-karya alternatif memperkaya praksis penciptaan karya Kriya Indonesia.

Karya-karya dari sekian banyak kriyawan dari berbagai kota di Indonesia tersebut tentu membawa latar belakang kehidupan kriyawan, proses penciptaan, serta pesan (message) yang berbeda. Maka pola kuratorial untuk lebih mendekatkan pada pemahaman yang komprehensif tentang karya-karya tersebut, proses kurasi dilakukan tidak hanya dengan pengamatan secara kasat mata terhadap sebuah karya, tetapi juga melalui dialog, (bahkan mendatangi langsung) dengan beberapa kriyawan, berdiskusi, dan men-synchronize dengan mainstream yang dibangun dalam perhelatan pameran, sehingga tercipta sebuah harmoni.

Lalu "Cakra Manggilingan" sebagai tema yang diusung dalam perhelatan ini bukan hanya menciptakan media pengingat pesan-pesan moral leluhur, tapi juga dielaborasi dengan makna yang lebih luas, yakni memberikan spirit pada kriyawan untuk berkarya secara sustainable, mengajak kriyawan menciptakan breaktrough (terobosan) baru dalam proses kreatif dan dalam menyematkan pesan moral maupun kritik sosial dalam karya. Dengan demikian karya akan menjadi artifact yang artistik, memuat kedalaman makna secara mentifact, dan melahirkan public respect yang bernilai sociofact. ***

Kolaborasi Penulis:
Agus Sriyono (kurator), Arif Suharson (kurator), Nurul Muslimin (Humas UNDAGI 2025)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun