Saat itu saya cukup tersentak, pada tanggal 26 Mei 2013 Kompas.com melansir berita "Konser Kacau Penyebab Promotor Musik Bunuh Diri?" Di hari berikutnya JPNN.com juga memberitakan; "Konser Musik Kacau, Promotor Bunuh Diri". Tragis dan menyedihkan!
Ini baru contoh yang paling tragis. Dan sebetulnya banyak sekali contoh lain, misalnya; panitia menghilang setelah tak mampu membayar artis, equipment dan lain-lain. Konser musik bubar gegara terjadi tawuran dan lain sebagainya. Dan banyak lagi contoh-contoh kegagalan sebuah event.
Berita dan peristiwa seperti itu cukup memberi pelajaran untuk kita semua, bahwa pengelolaan sebuah event butuh strategi yang cantik, planning yang baik, eksekusi yang tepat, dan controlling yang akurat. Itu semua membutuhkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang cerdas.Â
Karena event organizing adalah kerja kolektif untuk menghasilkan karya kolektif juga, yang notabene mempunyai tantangan yang sangat kompleks. Maka sebuah event tak hanya membutuhkan kemampuan skill seorang organizer dalam menerapkan teori manajemen, tapi juga keahlian seorang leader dalam mengelola semua pikiran orang yang masuk dalam tim organizer, maupun kelihaian leader dalam menghadapi pola fikir dan sikap dari orang-orang eksternal dari organizer.
34 tahun saya menjalani berbagai tantangan dalam event organizer telah memberikan banyak pelajaran. Mungkin orang Jawa bilang sudah "tumek" atau kenyang dan sudah pada titik jenuh. Tapi justru itu, kejenuhan itu malah menjadikan saya bersemangat untuk menulis apa yang dapat kita ambil sebagai sebuah pelajaran dari pengalaman-pengalaman itu.
Mungkin orang awam memandang bahwa mengelola sebuah event ya seperti membuat acara 17-an di kampung. Tapi pada dasarnya sebuah event yang ideal jauh lebih kompleks dari itu. Karena untuk menguji sebuah event itu ideal atau tidak harus dapat menjawab beberapa pertanyaan; Apa tujuan event itu? Apa yang menjadi targetnya? Sejauh mana target itu tercapai? Seberapa kuat tim Event Organizernya dalam problem solving pada masalah-masalah yang ada? Â Dan lain sebagainya.
Saya masih ingat, pada sebuah diskusi di antara teman-teman organizer. Apapun masalah yang membuat sebuah event itu gagal, sumbernya adalah miss manajemen, kecuali terjadi force major. Karena bencana alam berada di luar kemampuan manusia.
Setiap kali evaluasi dari sebuah penyelenggaraan event, dan ditemukan sebuah kesalahan, ujung-ujungnya adalah kesalahan  manajemen. Karena sebuah manajemen event dalam dataran aplikatif, membutuhkan banyak ilmu; ada psikologi, matematika, ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial. Seperti sebuah film yang dapat menampung segala jenis seni, sebuah event pun dapat menampung segala ilmu dan seni yang kita butuhkan. Sehingga penanganannya pun sangat kompleks.
Karena kekompleks-an penyelenggaraan event inilah letak pentingnya ilmu manajemen event. Agar event dapat dikelola secara baik, lancar dan sukses. Dan agar tak terjadi lagi panitia melarikan diri, serta biar tak terjadi lagi tragedi bunuh diri seperti cerita di atas. Â
Itulah mengapa ilmu manajemen event menjadi krusial untuk kita pelajari, karena semua orang pasti akan terlibat dalam sebuah perhelatan event, entah event 17-an, event ulang tahun, event lomba di sekolah/kampus, event keluarga, event organisasi dan lain sebagainya. Dan tanpa ilmu manajement, event akan rapuh tak punya arah yang jelas, kacau dan gagal! Maka mempelajari manajemen event, --meminjam istilah dalam bahasa agama--, jika tak sampai 'wajib', paling tidak 'sunnah muaqad'. ***