Sore itu, usai berjualan cilok, Kang Ngatman menyandarkan sepeda bututnya di dinding gedhek rumahnya. Setelah melepas topinya yang sudah kusam itu, Kang Ngaman duduk di lincak bambu depan rumah menemani istrinya.Â
"Kang, sebentar lagi kita akan puasa ya?, terus jualan kita gimana, Kang?, tanya istrinya gusar.
"Maksudmu, Bune?"
"Ya, kalau puasa kita kan gak bisa jualan di siang hari?. Siapa yang mau beli? Nanti Pak Bahrun marah lagi kalau kita jualan, dianggap tidak menghormati orang berpuasa?Â
"Ya kan ada juga yang sedang gak puasa dan bisa beli, Bune." Orang musafir misalnya, terus orang wanita yang sedang berhalangan atau haid, Ibu-ibu yang sedang menyusui anaknya juga boleh tidak berpuasa, anak-anak yang belum dewasa dan belum wajib puasa, misalnya. Mereka itu kan bisa membeli dagangan kita semua, Bune?"
"Tapi berapa orang pakne? Kan gak banyak."
"Jangan khawatir, Bune. Rejeki itu sudah diatur sama Gusti Allah. Dan Gusti Allah akan memberi rejeki dari arah yang tidak kita duga sebelumnya. Orang punya Gusti Allah kok khawatir gak dapat rejeki..."Â
"Bukan begitu, Pakne. Kita jualan kan mesti lihat siapa saja yang akan membelinya, gitu. Kalau memang sedikit yang mau beli, ngapain kita jualan?"Â
 "Tidak ada larangan orang berjualan di Bulan Puasa, Bune. Kalo yang sedang berpuasa, ya tidak usah beli. Sederhana, kan? Terus kalau kita gak boleh jualan, kita makan dari mana? Semua itu harus ikhtiyar, berusaha, masalah hasilnya kita serahkan saja sama Gusti Allah...Kan sudah aku bilang tadi, rejeki itu semua yang ngatur Gusti Allah," kata Kang Ngatman menasehati istrinya.
Tak berapa lama, tiba-tiba ada seorang pemuda berbaju compang-camping, memakai topi lusuh dan bermasker yang menghampiri Kang Ngatman dan istrinya.Â
"Maaf Pak, Bu, bisa minta tolong minta makan barang sepiring? Maaf, saya lapar dan haus. Tadi kehabisan uang di perjalanan," pinta pemuda itu.Â