Siang itu Kang Ngatman berboncengan dengan Yu Surip istrinya, pulang habis menjajakan ciloknya dari kampung ke kampung. Mereka sangat menikmati naik sepeda ontel tua itu. Karena sepeda itulah satu-satunya kendaraan yang ia punya. Kang Ngatman tak peduli berpapasan dengan sepeda orang-orang kaya yang --katanya---sampai puluhan, bahkan ratusan juta itu.
Mereka kelihatan lega bisa menjual habis dagangannya. Mungkin itu satu-satunya kebahagiaan yang tiap hari ditunggunya.
Biasanya mereka menjual cilok di sekolah-sekolah. Beberapa bulan ini dia menjualnya dari kampung ke kampung. Maklum, di masa pandemi seperti sekarang ini sekolah tutup karena anak-anak sekolah online dari rumah.
"Alhamdulillah ya Bune, dagangan kita hari ini laris," kata Kang Ngatman membuka pembicaraan saat naik sepeda.
"Iya Pake, Alhamdulillah. Besok apa kita tambah Pake? Biar untungnya tambah banyak. Tanya Yu Surip sambil mengencangkan pegangan di pinggang suaminya.
"Iya boleh, tapi nggak usah banyak-banyak. Nanti malah sisa dan bisa rugi kita, karena enggak kemakan." Jawab Kang Ngatman sambil mengayuh berat sepeda ontelnya.
Tiba di perempatan pasar desa, Kang Ngatman membelokkan sepedanya ke arah desa sebelah.
"Lho, kok belok Pake? Kita mau ke mana? Kita kan mau pulang?" tanya Yu Surip heran.
"Kita belok sebentar ya Bune, tadi aku lihat Lek Yanto mau lewat."
"Emang kenapa kalo papasan sama Lek Yanto?"