Film sebagai media transformasi pengetahuan adalah kemasan yang melahirkan estetika sekaligus etika. Tanpa ada unsur keduanya, film akan stagnan di wilayah simbol yang tak bermakna. Bahkan mungkin hanya sampah visual.Â
Di sinilah yang saya katakan asyik di dalam ruang belajar film di Kafein. Konten yang variatif dan dinamis, bisa saling berbagi referensi, (seharusnya) tidak ada 'kecaman', dan bisa saling memahami dalam sebuah semangat belajar.
 Meski telah terpetakan antara Kririkus dan Pengkaji, tidak kemudian menyeret istilah 'kritikus' pada hal yang dikategorikan 'haram' tetapi hanya proses dan paradigmanya yang sedikit berbeda. Kalau saya lebih suka pada kata 'Pengkaji' dan 'kajian'. Karena dengan kata itu, ruang proses (yang bertanggung jawab) terbuka lebar, mempunyai kemasan etika berpendapat, tak terjangkiti penyakit "claim of truth", (berusaha untuk) kaya referensi, dan tentu menginspirasi.Â
Satu hal lagi sebagai catatan, baik pengkaji maupun kritikus akan lebih komprehensif kajiannya jika --sekali-sekali-- terjun dan terlibat langsung dalam produksi film. Biar merasakan 'suasana' proses pembuatan film yang penuh dengan 'warna'. Karena sebuah kajian sangat rentan mleset jika berjarak dengan obyek kajiannya.
Di dalam kopdar (kopi darat) para pengkaji (film) pasti lebih mengasyikkan. Semua mencairkan suasana, saling memberi masukan, sekaligus saling mengingatkan, apalagi sambil ngopi bareng. Asyik, kan?Â
*** Wallahu a'lamÂ
Semoga bermanfaat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H