Mohon tunggu...
Nurul Muslimin
Nurul Muslimin Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Orang Biasa yang setia pada proses.

Lahir di Grobogan, 13 Mei 1973

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Ketika Kapitalisme (Tak Mampu Lagi) Berjingkrang!

4 Maret 2015   06:36 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:12 92
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ini hanya review tentang tulisan saya tujuh tahun yang lalu. Saat krisis ekonomi Amerika. Banyak hal yang bisa kita diskusikan. Semoga bermanfaat.

Ketika Kapitalisme (TAK MAMPU LAGI) Berjingkrang!

Senin, 20 Oktober 2008

Menarik, apa yang dikatakan Prof. Joko Susanto dalam diskusi malam itu tanggal 20 Oktober 2008 di Yogyakarta. Di depan para birokrat dan masyarakat pengusaha Jogja, dia katakan: “Banyak orang mengatakan, negara ini menganut paham kapitalisme, negara itu sosialis, negara ini begini, negara itu begitu, dan lain sebagainya. Terus terang saya tidak penganut paham ini atau paham itu, tapi yang perlu diketahui bagi kita adalah bahwa sistem ekonomi di negara manapun tidak ada yang menganut paham kapitalisme pure seperti dalam text book yang ada”, katanya.

Menurut Pak Profesor, di negara-negara itu menganut paham kapitalisme yang kadarnya sedikit. Artinya tidak murni, karena telah ada campur tangan pemerintah dalam mekanisme pasar, meskipun kadarnya berlainan.

Mungkin ada benarnya apa yang dikatakan Pak Profesor itu. Namun sebuah kapitalisme adalah tetap kapitalisme yang tidak hanya ada di depan kita, namun ada di kanan, kiri, dan belakang kita, bahkan masuk dan mengalir bersama aliran darah kita. Dan itu sudah menjadi ruh, darah dan daging di antara kita. Bisa saya katakan pula bahwa kapitalisme sudah menjadi “virus” yang menjangkiti “brainware” setiap orang.

Mainstream paradigma sistem ekonomi di dunia seperti roda yang berputar. Kadang di bawah, kadang di atas, dan selalu mengelinding melintasi waktu. Ketika kapitalisme di atas, otomatis sosialisme di bawah, begitu seterusnya. Ketika ada pola pikir thesis, kemudian muncullah antithesis. Nah, sekarang apa yang sedang muncul? Yang muncul adalah blur semua. Semua menjadi semu. Karena tidak ada yang menerapkan sistem yang secara ekstrim sebagai penganut ini atau itu.

Maka bisa dianalogikan sebagai roda yang telah mengalami tabrakan dahsyat, sehingga telah melebur, tidak hanya menjadi angka 8 (delapan), tapi telah “rusak.” Karena semua sisi roda menjadi lebur. Maka dalam konteks ini, kapitalisme dan sosialisme telah melangsungkan “perkawinan”yang melahirkan keterpurukan. Sebagai penghulunya adalah para penguasa dan pengusaha rakus. Inilah yang menyebabkan otak kita sangat sulit menentukan label, mana yang “baik” dan mana yang “buruk”.

Amerika Serikat sendiri sebagai negara kapitalis papan atas digambarkan secara dramatik oleh Majalah The Economist, kata Gunawan Muhamad (GM) menyitir majalah itu. The Economist mengatakan ”Pada 13 Juli, Hank Paulson, Menteri Keuangan Amerika, berdiri di tangga departemennya seakan-akan ia menteri sebuah negara dengan ekonomi pasar yang baru timbul….”

Saya teringat pula ilustrasi yang ada dalam presentasi Profesor Joko Susanto malam itu. Pada halaman ke-3, jika tidak salah, bergambar cover beberapa majalah ekonomi yang saya pikir sangat “menohok.” Di sana digambarkan Bush yang sedang mengerutkan dahi dan menggelembungkan pipinya –yang sudah berkerut—itu. Tampak sebagai seorang penguasa dengan tekanan batin yang maha dahsyat. Entah berfikir tentang nasib rakyatnya, atau berfikir tentang karirnya, tidak ada yang tahu.

Ada lagi gambar seseorang yang masuk dalam lubang, dan hanya kelihatan kakinya. Uh, Kasihan betul. Maka ada benarnya, apa yang dikatakan salah satu peserta diskusi malam itu, bahwa di sanalah “episentrum” krisis finansial global itu.

Dalam ekonomi kapitalis, “pasar” dianggap mempunyai daya memecahkan persoalannya sendiri, (GM, 22 September 2008). Sehingga “campur tangan” pemerintah menjadi “tabu.” Ini mungkin yang bisa kita katakan sebagai ke”sombong”an sebuah sistem. Maka ketika kapitalisme merebak dan menampakkan visualisasi yang “megah”, layak untuk kita katakan “berjingkrang.” Tentu dengan sifat-sifat angkuh yang selalu dibawa.

Namun sekarang yang terjadi apa? Posisi roda “kapitalisme” sedang di bawah? Atau sebagai rangkaian roda, sedang mengalami terseok-seok? Atau bagaimana? Ini yang perlu dicermati. Tidak hanya dari sisi rasional, tapi juga –ada baiknya—untuk melibatkan “rasa.” Ternyata kesombongan sistem bisa mengalami “kejenuhan”, dan “mentok.” Ada “sesuatu” yang tidak bisa ditembus dengan sistem itu. Sehingga seorang profesor pun tetap mengalami kebingungan. Sebenarnya ada apa dibalik itu semua?

Penyelamatan Fannie Mae dan Freddie Mac oleh Pemerintah Amerika menjadikan kapitalisme seakan mengatakan “good bye” pada prinsipnya sendiri. Atau tercerabut dari akarnya.Pada hal ini terjadi di era yang masih meneruskan fatwa Milton Friedman bahwa ”penyelesaian oleh Pemerintah terhadap satu soal biasanya sama buruk dengan soal itu sendiri,” Kata Gunawan Muhammad .

Ini terjadi di sebuah perekonomian—disebut ”kapitalisme”—yang prinsipnya adalah siapa yang mau ambil untung harus berani menerima kemungkinan jatuh. Jika para direksi dan pemegang saham siap menyepak ke sana-kemari meraih laba di pasar, kenapa kini mereka harus dilindungi ketika tangan itu patah?

Apa yang terjadi dengan “kapitalisme” sebagai “anak mas” Amerika itu?“Anak mas” itu ternyata tidak menampakkan tabiat “baik” bagi kesejahteraan rakyat. Bahkan telah menggerogoti harta rakyat. Sebab peran pemerintah Bush yang begitu besar pada penyelamatan perusahaan raksasa itu lebih mencerminkan sebagai “pemerataan” kerugian dibanding “pemerataan” hak.

Salah satu borok yang muncul lagi adalah, bahwa hubungan simbiosis antara kedua perusahaan itu dan ”Negara” juga bisa dilihat dari segi lain: menurut laporan CNN, selama 10 tahun, Fannie dan Freddie mengeluarkan US$ 174 juta untuk melobi para politikus, untuk membangun ”iklim politik” yang “ramah” kepada mereka—termasuk ketika tanda-tanda keambrukan sudah terasa. Inilah yang menyebabkan kita dengan enteng mengatakan bahwa kapitalisme dibangun di atas fondasi kongkalikong. Penuh intrik dan egois.

Terus yang menjadi pertanyaan kita adalah: harus pakai model apakah ekonomi kita?

Ini pertanyaan yang tidak sederhana. Tapi bisa saja kita sederhanakan. Bahwa pola ekonomi yang mensejahterakan masyarakat, yang tidak angkuh, beretika, ada unsur berbagi kebahagiaan, dan melestarikan alam semesta, menjadi penting untuk kita rumuskan. Terus apa namanya? Ya terserah, mau dinamakan apa.

Tapi dalam kondisi apa pun,roda itu tetap berputar, ada kalanya di atas dan ada kalanya di bawah. Walaupun terseok-seok. Perang tesis pun tidak akan pernah berhenti, selama masih ada alam semesta. Terus bagaimana, ya pilihlah yang terbaik untuk Anda. Itu saja saya kira.

Semoga bermanfaat.

Nurul Muslimin / Orang biasa saja.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun