Simulakra Tiktok di Era Revolusi Industri 4.0
Di tengah derasnya arus globalisasi yang sangat masif, ia memasuki seluruh sendi kehidupan manusia dan memberikan dampak positif-negatif terhadap perubahan tatanan sosial. Mulai dari ekonomi, sosial, politik, budaya serta bagaimana gaya hidup. Salah satu hal positif yang bisa kita lihat bersama ialah perkembangan ilmu pengetahuan dan tehnologi, kemudahan penyebaran informasi, perdagangan internasional yang semakin luas serta ruang sosial semakin terbuka.
Tanpa kita sadari, ada juga hal negatif salah satunya ialah pola hidup konsumtif, sikap Individualistik, kesenjangan sosial, pertentangan nilai, ketertimpangan budaya dan erosi budaya lokal. Ketergantungan terhadap tehnologi itulah, sebut saja TikTok misalnya yang menjadi salah satu konsumsi dari sekian media yang trend saat ini berdampak terhadap hilangnya keotentikan sebagian manusia (Manusia otentik).
Berdasarkan hasil data statistik pada tahun 2024, Indonesia sendiri menduduki peringkat pertama di dunia sebagai pengguna TikTok berhasil mengalahkan Amerika dan rusia, dengan usia rata 18-24 (36,2 %), 25-35 (33,9 %), 35-44 (15,18%), 45-54 (7,9 %), dan 55 keatas (6,2%). Pengguna yang sangat besar ini dapat mengancam terhadap sebagian otentisitas manusia yang di tandai dengan hilangnya rasa malu, aib diumbar, aurat diobral ,usia lanjut joget-joget, laki-laki menjadi perempuan sebaliknya perempuan menjadi laki-laki.
Pengguna perlu bijak dalam menggunakan media sosial. Karena memiliki peran penting dalam berbagai segmen kehidupan manusia, yang dapat dengan mudah diakses oleh setiap pengguna nya, media sosial juga bisa menjadi tempat edukasi bagi generasi bangsa agar tidak terjadi perilaku-perilaku yang tidak sejalan dengan norma dan budaya yang ada. Namun, yang perlu digaris bawahi bahwa pengaruh negatif media TikTok tak dapat menjadi tolak ukur dalam mengkritisi aplikasi ini.
Yang perlu ditekankan saat ini adalah bagaimana kita sebagai pengguna nya, dapat membuka mata, melihat dari berbagai sudut pandang dan kaca mata, dan tentu harus pandai memilah milih mana konten atau membuat konten yang sekira nya bermanfaat dan merugikan diri sendiri juga orang lain.Â
Dalam filsafat Prancis. Henri Bergson misalnya, yang lahir pada tahun (1859--1941) merupakan tokoh aliran Intuisionime, secara tidak langsung juga membahas tehnologi yang menawarkan pandangan hidup dapat mengintegrasikan kepada sains, ekonomi, politik, tehnologi dan spiritual. Ia mengatakan bahwah tehnologi itu di buat oleh manusia untuk menguasai dunia, tetapi tehnologi yang di buat manusia justru menguasai manusia itu sendiri, artinya bukan TikTok nya yang buruk tapi penggunanya yang tidak mampu mengcalter terhadap tiktok itu sendiri.
Ketidak mampuan itulah, acap kali menimbulkan problem yang sangat kompleks, sangat tepat kalimat "aku berTikTok maka aku ada" sebagai ungkapan yang menggambarkan bagaimana penguna TikTok dapat membuat seseorang menjadi adiktif dan memanfaatkan dirinya sendiri untuk menyebarkan hal-hal yang sensasional atau yang di kenal sebagai Hiperreality.
Selaras dengan apa yang dikatakan Jean Baudrillard, seorang Filsuf Post-Strukturalis bahwa Hiperreality itu di pandang sebagai sebuah kondisi dimana kompresi persepsi realitas dalam media dan budaya pada umumnya dianggap nyata, dan apa yang di alami sebagai fiksi dicampur bersama dalam pengalaman sehingga tidak ada lagi perbedaan yang jelas di mana yang satu berfikir dan yang lain mulai, karena manusia lebih banyak hidup di dunia maya ketimbangkan dunia realita.Â
Gagasan Rane Descartes tentang Cogitu Urgo Sum (aku berfikir maka aku ada) bahwa satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah keberadaan manusia itu sediri. Keberadaan itu bisa dibuktikan dengan fakta bahwa ia bisa berpikir sendiri, mencari kebenaran dengan pertama-tama meragukan semua hal.termasuka segalah aktivitas yang akan dilakukan di dunia maya (Tiktok) Ia meragukan keberadaan benda-benda di sekitar, mencari bukan sensasi apalagi mencari popularitas.