Pembahasan draft Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Praktik Dokter Mandiri rupanya menciptakan polemik tersendiri bagi berbagai tenaga kesehatan utamanya Apoteker-Dokter. Pasalnya draft Permenkes ini disinyalir lebih mengedepankan aspek “dispensing” obat oleh Tenaga Medis (Dokter). Beberapa kutipan pasal dari draft Permenkes Praktik Mandiri sebagai berikut:
Pasal 10
Praktik Mandiri Dokter harus menyediakan obat untuk penanganan kedaruratan Media
Untuk praktik mandiri dokter gigi, selain menyediakan obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat menyediakan bahan yang diperlukan untuk tindakan palayanan gigi
Jumlah dan jenis obat yang disediakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Menteri ini.
Obat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diperoleh dokter dari apotek yang berada di wilayah kabupaten/kota terdekat dengan Praktik Mandiri Dokter
Pasal 15
- Pelayanan kefarmasian dikecualikan terhadap: untuk penanganan kasus kedaruratan medis sebagai mana dimaksud dalam pasal 10 menyimpan dan menyerahkan obat secara terbatas kepada pasien bagi praktek mandiri dokter di wilayah yang tidak terdapat apotek Wilayah tidak terdapat apotek yg dimaksud wilayah pada ayat (2) disini adalah kecamatan atau desa yang ditetapkan oleh kepala dinas kesehatan kabupaten/kota.
Rancangan draft Permenkes tentang Praktik Mandiri yang sedang disusun ini tentu bertentangan dengan Undang-Undang tentang Farmasi No.7 tahun 1963 dan Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian. Sebagaimana yang diketahui, betapapun secara hierarki kedudukan Peraturan Menteri berada dibawah Undang-Undang.
Sediaan Farmasi menurut Undang-Undang Kesehatan No.23 Tahun 1992 didefinisikan sebagai obat, bahan obat, obat tradisional dan kosmetika. Termasuk dalam cakupan ini adalah obat narkotika, obat bebas, obat bebas terbatas, obat psikotropika, dan obat wajib apotek.
Berbagai masalah pelayanan kesehatan marak ditengah masyarakat, terakhir misalnya fenomena kasus vaksin palsu yang luar biasa, sebuah upaya menghilangkan nyawa suatu generasi seyogyanya menjadi koreksi sekaligus evaluasi bagi Kementerian Kesehatan, salah satunya regulasi harus kembali diketatkan terutama terkait pemberian sediaan farmasi.
Dalam hal ini, pemberian sediaan farmasi harus ditangani oleh seseorang yang memang kompeten dibidangnya dan berhak secara Undang-Undang yaitu apoteker salah satunya untuk memenuhi mekanisme check and balance. Sehingga ketikapun terjadi kesalahan disektor hulu, Apoteker sebagai goal keeper lah yang bertanggung jawab memastikan dan mengoreksi kesalahan tersebut.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian, Apoteker merupakan sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan sumpah jabatan Apoteker. Apoteker merupakan tenaga kesehatan yang kompeten dan berhak secara Undang-Undang dalam melakukan pengelolaan perbekalan farmasi.
Ketika otoritas pengelolaan perbekalan farmasi -termasuk dalam hal ini menyimpan hingga menyerahkan perbekalan farmasi- juga diberikan ke Dokter lewat praktik dokter mandiri, dapat dikatakan hal tersebut merupakan sesuatu yang overlapping. Loadingkerja profesi Dokter yaitu tanggung jawab pemastian penegakan diagnosis, dalam hal ini mengidentifikasi penyakit jika kemudian ditambah tugas mengelola perbekalan farmasi tentu akan berdampak pada risiko yang lebih tinggi (high risk) hingga risiko fatal (fatal risk) pada pelayanan kesehatan dalam rangka mengobati pasien.
Terlebih sebagaimana dipaparkan di awal, hal ini disinyalir lebih mengedepankan aspek “dispensing” obat oleh Tenaga Medis (Dokter). Draft pasal 15 Permenkes Praktik Dokter Mandiri juga menyisakan tanya, siapa yang bisa mengontrol bahwa hanya dokter di wilayah tertentu yang boleh self-dispensing?
Sesama dokter akan bersikap longgar sementara Badan Pemeriksa Obat dan Makanan tidak diberikan kewenangan untuk melakukan audit ke dokter. Selainnya hal ini juga disinyalir sebagai salah satu upaya “menghilangkan apotek” yang notabene berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian merupakan sarana pelayanan kefarmasian tempat dilakukan praktek kefarmasian oleh Apoteker.
Polemik draft Permenkes Praktik Dokter Mandiri, solusi yang ditawarkan seharusnya adalah ditingkatnya program penyebaran tenaga kefarmasian ke pusat-pusat pelayanan kesehatan masyarakat dan bukannya justru menggantikan dan memberikan “beban berlebih” melalui praktik dokter mandiri di desa atau kecamatan yang belum tersedia tenaga kefarmasiannya.
Oleh karenannya, seharusnya pemerintah mengusahakan di daerah perifer seperti Puskesmas perlu penyediaan apoteker untuk mengelola perbekalan farmasi -termasuk depo obat- melalui program Apoteker masuk Puskesmas dalam rangka melaksanakan perintah konstitusi. Sebagaimana diketahui kondisinya sekarang, hampir sebagian besar puskesmas di Indonesia belum Ada Apoteker. Tugas-tugas yang berhubungan dengan obat, baik pengelolaan maupun pelayanan obat, belum dilaksanakan oleh Apoteker.
Selama ini pengelolaan perbekalan farmasi di Puskesmas dilaksanakan oleh tenaga kesehatan lain atau tenaga lain yang tidak berkompeten di bidangnya. Akibatnya sebagaimana diketahui, sering terjadi penumpukan obat yang sudah kadaluarsa di puskesmas. Hal ini dikarenakan permintaan obat tidak sesuai dengan pola penyakit, sehingga dapat mengakibatkan kerugian negara yang sangat besar. Padahal disinilah salah satu kompetensi seorang Apoteker.
Sejalan dengan hal tersebut diatas, adanya perubahan paradigma dari drug oriented menjadi patient oriented Apoteker ikut berperan penting dalam mendukung patient safety. Apoteker harus turut serta dalam melaksanakan pelayanan kefarmasian yang langsung pada pasien. Dengan adanya perubahan paradigma pelayanan kefarmasian dari drug orientedmenjadi patient orientedtersebut dan diperlukannya apoteker dalam mendukung pelaksanaan Jaminan Kesehatan Nasional, maka apoteker sebagai tenaga profesi kefarmasian mempunyai tanggung jawab memberikan pelayanan kefarmasian yang baik.
Adapun upaya Kementrian Kesehatan Republik Indonesia tentang Program Nusantara Sehat sebagai sebuah upaya peningkatan pelayanan kesehatan mencakup preventif, promotif, dan kuratif dengan mengintegrasikan 5 (lima) sampai 9 (sembilan) tenaga kesehatan (dokter, dokter gigi, perawat, bidan, tenaga kesehatan masyarakat, tenaga kesehatan lingkungan, Ahli laboratorium medik, tenaga gizi, dan tenaga kefarmasian) yang ditempatkan di seluruh pelosok nusantara sebaiknya perlu diapresiasi penuh. Namun tentunya ketika minat tenaga kesehatan terutama tenaga kefarmasian yang terlibat dalam program ini masih minim seharusnya menjadi bahan evaluasi bersama.
Pada akhirnya, seyogyanya kita pahami bersama bahwa kolaborasi antara dokter dan apoteker adalah justru merupakan sarana berbagi risiko dan tanggung jawab terhadap pelayanan kepada pasien bukan sebaliknya. Dokter-Apoteker adalah kawan bukan lawan. Seagaimana di negara maju kolaborasi dokter dan apoteker sudah merupakan barang biasa.
Sebagaimana pernyataan Asosiasi Farmasi di Canada berikut, “Apoteker tidak hanya melaksanakan fungsi dispensing dan Pelayanan Informasi Obat, tetapi juga memecahkan masalah pasien dan hal-hal terkait obat serta membuat keputusan tentang pemberian resep obat, pemantauan obat, & penyesuaian rejimen obat.
Dalam praktek kolaborasi yang ideal, dokter akan mendiagnosa dan membuat keputusan pengobatan awal bagi pasien kemudian apoteker akan memilih, memulai, memonitor, memodifikasi, dan menghentikan farmakoterapi yang sesuai untuk mencapai hasil pasien yang diinginkan”. Sebuah sistem yang mungkin belum bisa diterapkan di Indonesia tetapi paling tidak harus membuka mata bersama.
Salam,
*) Dimuat Radar Banjarmasin Edisi 25 Juli 2016
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H