Menurut WHO kesehatan mental merupakan kondisi dari kesejahteraan yang disadari individu, yang terdapat kemampuan untuk mengelola stress yang wajar, serta berperan di lingkungannya. Meski tanggal 10 Oktober dijadikan sebagai Hari Kesehatan Mental Dunia, nampaknya upaya ini juga belum bisa menjadikan masyarakat Indonesia sadar dan memahami tentang pentingnya kesehatan mental. Bahkan bisa dibilang, di Indonesia sendiri berbicara mental health masih sangat tabu.
Kurangnya kesadaran masyarakat tentang isu mental health ini menimbulkan berbagai spekulasi dan judgement negative kepada pada penderitanya, dan juga menimbulkan perlakuan yang tidak tepat dalam menyikapi penderita gangguan mental. Seperti stigma bahwa penyintas mental illness disamakan dengan ODGJ (orang dengan gangguan jiwa). Penyederhanaan konsep mental illness ini menjadikan penderitanya merasa tidak nyaman untuk untuk bertemu dan berbicara dengan orang lain.
Oh iya btw, aku benci sekali dengan sebutan orang gila. Menurutku sebutan tersebut sangat tidak manusiawi, lets say dengan sebutan yang lebih sopan yakni ODGJ (orang dengan gangguan jiwa).
Next.....
Pernah mendengar istilah selfharm? Menyakiti diri sendiri, atau orang lebih sering orang menyebutnya dengan istilah cutting. Tidak hanya cutting sih, sebetulnya banyak bentuk selfharm lain yang kerap dilakukan sebagai bentuk pelampiasan emosional. Dalam beberapa kasus, selfharm merupakan cara untuk seseorang meluapkan apa yang sedang dirasakan. Kalau aku menyimpulkan, selfharm bukanlah upaya bunuh diri, karena yang dicari adalah sensasi rasa sakit yang justru bisa mengalihkan setiap emosional yang sedang dirasakan namun tidak bisa diungkapkan lewat kata-kata (speak up).
Jadi selfharm, adalah cara agar tubuh, mental, dan hati saling berbagi tentang apa yang sedang dirasakan. Berbicara melalui luka, itu maksudku.
Satu hal yang perlu kita ketahui adalah alasan mengapa seseorang tidak bisa speak up atau mengutarakan apa yang sedang dia rasakan.Tidak mungkin untuk bisa mengumpulkan semua alasan karena setiap individu memiliki alasannya masing-masing. Ini adalah kasus kebanyakan.
Saat dorongan selfharm itu muncul, selalu di moment ketika seseorang mengalami puncak emosionalnya. Entah karena terlibat permasalahan sosial, atau permasalahan dengan jiwanya. Permasalahan tidak hanya datang dari luar, beberapa permasalahan juga dimunculkan oleh diri kita sendiri, seperti depresi, anxiety berlebih, unmood, dll. Menurut pengalamanku saat emosional sudah mencapai puncak, kita memang akan selalu kesulitan untuk mengungkapkannya dan itu cukup mejadikan ruang luka semakin dalam. Di moment ini, biasanya dorongan selfharm terbesar itu muncul.
Di waktu yang sama pula, kita dibesarkan dengan pendidikan patriarki dimana posisi anak perempuan dijadikan subjek kedua untuk tetap patuh, tunduk, pada setiap perintah dari pihak yang lebih tua/laki-laki. Meski terkadang  tidak sependapat dengan mereka, tapi tidak ada yang bisa perempuan lakukan selain diam dan mengamini apa yang menjadi keputusan mereka. Jangankan memberi pendapat, ditanya atau dimintai persetujuan untuk urusan hidupku saja tidak, aku pun tak merasakan itu. Kita hanya dipaksa untuk menyimpan rasa sakit dan menahan air mata, tanpa bisa mengekspresikan apa yang sebenarnya menjadi harapan kita melalui satu kata pun.
Kalau anak laki-laki bagaimana?. Sama saja, system patriarki juga memberikan dampak negative kepada perkembangan emosional laki-laki. Karena dalam system ini, laki-laki selalu dituntut untuk selalu kuat, tabah, tegar, dan tak mengenal air mata. Padahal bagiku, menangis tidak dibatasi untuk satu gender saja. Menangis adalah ekspresi manusiawi, tak peduli laki-laki dan perempuan jika memang harus dan ingin menangis, maka itu suatu kebolehan. Namun kenyataanya tidak begitu. Banyak anak laki-laki yang tumbuh dalam tekanan agar tidak menangis dan menahan seluruh bentuk emosionalnya hanya untuk dirinya sendiri tanpa dikeluarkan melalu ekspresi.
Dengan usiaku yang semakin dewasa kini aku sadar, beberapa pola asuh yang masih diterapkan oleh orangtua di Indonesia sudah tidak relevan lagi. Pola asuh seperti yang aku terima mungkin juga dirasakan oleh orang lain baik yang seumuran atau tidak seumuran denganku. Yang jelas, aku bilang bahwa pola asuh ini melahirkan seorang anak yang tidak bebas dalam berekspresi, menyimpan banyak hal seorang diri dalam benaknya, dan banyak sekali menutupi hal-hal yang seharusnya tidak ia tutupi.