Mohon tunggu...
Nurul Mahmudah
Nurul Mahmudah Mohon Tunggu... Guru - Generasi Sandwich Anak Kandung Patriarki

Si sanguinis yang sering dibilang absurd. Aku tukang rebahan yang berharap bisa memberikan perubahan untuk Negara.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

[Warta Puan] Catcalling (Bukan) Bentuk Pujian untuk Perempuan!

7 Mei 2020   07:37 Diperbarui: 8 Mei 2020   04:39 465
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Neng, senyum dong!"
"Mbaknya kok sendirian aja, ditemenin aa yuk!"

Begitulah catcalling yang sering terjadi pada perempuan. Catcalling diartikan sebagai tindakan yang berupa siulan, panggilan, atau komentar yang bersifat seksual dan atau tidak diinginkan dilakukan oleh pria terhadap perempuan. 

Catcalling adalah satu dari sekian banyaknya pelecehan yang rentan terjadi di jalan, maka dari itu catcalling ini tergolong sebagai street harassment (pelecehan di jalanan).

Nampaknya fenomena catcalling ini memiliki pandangan yang berbeda dari pelakunya. Laki-laki yang menikmati catcalling yang ia lontarkan, justru berpendapat bahwa catcalling adalah salah satu bentuk apresiasi atau bentuk pujian seorang laki-laki atas penampilan tubuh perempuan. 

Mereka menganggap dengan melakukan ujaran catcalling maka korban diharapkan menjadi lebih percaya diri dengan penampilan nya yang berhasil memukau kaum laki-laki. 

Sayangnya pandangan yang sama tidak didapati oleh perempuan yang menjadi korban catcalling ini. Perlakuan catcalling justru membuat perempuan merasa diri dan tubuhnya dihina, dilecehkan.

Catcalling dianggap melecehkan perempuan karena panggilan tersebut biasanya berorientasi pada bentuk fisik perempuan. Hal ini menghasilkan stigma bahwa perempuan tak lain hanyalah objek seksual laki-laki yang memiliki strata rendah dibawah laki-laki dan dapat diperlakukan sesuka hati.

dokpri
dokpri
Karena catcalling ini marak terjadi bukan berarti fenomena ini bisa kita anggap sebagai suatu kewajaran. Sebab tindakan catcalling ini adalah akar dari suburnya pertumbuhan pelecehan-pelecehan dalam bentuk yang lain. 

Jika perempuan diharuskan untuk memaklumi siulan atau komentar seksual laki-laki ketika dijalan, maka ini menunjukkan betapa meratanya objektifikasi yang ditujukan kepada perempuan terjadi di masyarakat.

Beberapa berpendapat bahwa kemunculan catcalling adalah dampak dari rendahnya taraf Pendidikan di Indonesia.Masyarakat dengan Pendidikan rendah kerap kali dianggap sebagai masyarakat yang brutal dan kurang memahami etika dalam berbicara maupun menghargai orang lain. 

Namun, betulkah ungkapan demikian? Betulkah bahwa masyarakat dengan Pendidikan yang layak jauh dari tindakan catcalling?

Mirisnya catcalling justru tidak mengenal relasi Pendidikan. Dalam hemat saya, bahwa masih sering sekali kita temui catcalling ini terjadi di instansi Pendidikan terutama universitas. 

Tak sedikit mahasiswa yang menjadi korban catcalling maupun harassment lainnya yang dilakukan oleh para dosen. Fenomena ini adalah bukti bahwa terjadinya catcalling tidak memiliki relasi dengan tingkat Pendidikan. Pelaku catcalling bisa saja masyarakat dengan Pendidikan rendah ataupun dosen dengan tingkat Pendidikan yang tinggi.

Ada pula yang berpendapat bahwa catcalling adalah bentuk kekuasaan laki-laki atas ruang publik. Perempuan seolah dibuat merasa tak nyaman dan tak aman ketika berada diruang publik, dan pelaku ingin menunjukkan bahwa ruang publik ada dibawah kekuasaan laki-laki. Dengan kata lain, perempuan lebih pantas dirumah saja mengurus ruang domestic (rumah tangga).

Lalu apa potensi terbesar yang menjadi factor terjadinya catcalling? Penyebabnya menurut saya adalah relasi gender tradisional yang sudah tertanam pada masyarakat. 

Relasi gender melahirkan 5 kasus pengalaman social pada perempuan, yaitu stigmatisasi, marjinalisasi, subordinasi, kekerasan, dan doublen burden atau beban ganda.

Catcalling termasuk pada kasus pengalaman social subordinasi terhadap kaum perempuan. Subordinasi adalah penilaian bahwa satu jenis kelamin lebih rendah dari jenis kelamin yang lain. 

Subordinasi ini melahirkan adanya relasi kuasa bahwa kedudukan perempuan lebih rendah daripada laki-laki, sehingga perempuan hanya di obejktifikasi sebagai pemenuh kebutuhan seksual laki-laki saja. 

Maka dari itu, pelaku yang kerap ditemukan berjenis kelamin laki-laki, dan perlakuan ini sebagai bentuk kepuasan terendah terhadap hasrat seksualitas mereka yang disalurkan melalui catcalling.

Belum lagi adanya stigma negative yang dilekatkan pada diri perempuan. Perempuan dianggap sebagai sumber fitnah dan penyebab lemah nya iman laki-laki, dalam hal ini mengenai cara berpakaian. Banyak pelaku justru menyalahkan korban catcalling dengan alasan cara berpakaian yang dianggap "mengundang". 

Jika ada perempuan dengan pakaian minim dan seksi maka akan dianggap pantas untuk menjadi korban catcalling karena perempuan sendirilah yang menyebabkan naiknya libido atau hasrat seksualitas laki-laki. 

Penilaian seperti ini tidaklah benar karena cara berpakaian seseorang merupakan bentuk kebebasan seseorang dalam berekspresi, dan pakaian adalah bagian dari hak otoritas seseorang.

Cara berpakaian bukanlah indikator untuk menentukan apakah seseorang layak dihargai atau tidak. Saya yakin setiap agama mengajarkan kita untuk menghargai setiap manusia tanpa terkecuali. 

Tanpa memandang ras, gender, usia, dsb. Baik laki-laki maupun perempuan adalah manusia dengan standar kemanusiaan yang sama, dan keduanya merupakan subyek penuh dalam kehidupan. Maka dari itu, kemaslahatan dan keadilan adalah hak untuk keduanya.

Laki-laki dan perempuan sama sama sekunder di hadapan Allah sebagai seorang hamba, dan keduanya primer dalam kehidupan sebagai khalifah fil ardh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun