Mohon tunggu...
Nurul Lubis
Nurul Lubis Mohon Tunggu... -

Africa

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Expatriate Tak Seindah Yang Terlihat

6 Januari 2012   14:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:14 1588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tinggal dan bekerja secara professional di luar negeri adalah mimpi banyak orang. Bayangan gaji berlipat, kehidupan berkecukupan serta  pergaulan internasional merupakan tujuan banyak orang untuk meninggalkan negeri tercinta untuk menuju satu kata, Expatriate. Secara kasat mata, kehidupan expatriate ini memang terlihat begitu menggoda. Tinggal di kawasan khusus, dengan harga khusus pula. Berbelanja di  super market khusus, ya, tentu saja dengan harga khusus pula. Berkumpul di café khusus yang menyediakan menu khusus. Sambil membicarakan sejumlah dollar yang telah dihabiskan untuk liburan musim panas. Betapa terlihat exclusive nya mereka. Dan betapa solidnya mereka,  kelihatannya.

Sebelum keberangkatanku ke DR Congo, salah seorang sahabatku menginformasikan sebuah website khusus expatriate. Expat Blog. Di website ini terdapat banyak diskusi yang membahas lika liku kehidupan sebagai expatriate. Masalah bagaimana bersosialisasi di lingkungan yang serba baru, selalu menjadi topik hangat. Sahabatku yang tengah bermukim di Zimbabwe, juga pernah mengaku. Selama di Zimbabwe, dia selalu merasa kesepian karena tidak memiliki teman ‘seiman’. Maksud dari seiman disini adalah memiliki selera yang sama. Sesuatu yang terdengar aneh mengingat sahabatku ini sangat supel dan selalu mingle dengan segala jenis orang. Dua minggu lalu, tanpa sengaja aku menemukan blog seseorang. Sebutlah namanya Mbak Nina, sang pemilik blog. Mbak Nina ini juga seorang expatriate. Dalam sebuah tulisannya, aku membaca keluh kesah dengan kehidupan expatriate nya. Menceritakan betapa sulitnya dia bersosialisasi di lingkungan yang baru.

Sebagai seorang expatriate, sosialiasi merupakan tantangan tersendiri. Aku cukup beruntung. Ketika aku tiba di DR Congo, aku menemukan komunitas orang – orang Indonesia. Yang kebetulan bekerja di organisasi yang sama denganku. Jumlah kami tak banyak. Bisa dihitung dengan menggunakan jari tangan. Pada dasarnya mereka baik. Baik sekali malah. Sangat perhatian. Kita bagaikan saudara. Namun, sejalan dengan berjalannya waktu, aku mulai merasa bosan, karena hanya melakukan kegiatan yang itu itu saja. Kebosanan yang tiada tara, yang rasanya terkadang bisa membuatku meledak saking bosannya.

Enam bulan pertama, hidup serasa tak tertahankan. Dengan keadaan yang serba terbatas dan situasi yang juga tak bisa dibilang aman, membuat aku juga hidup dengan penuh keterbatasan. Aku yang terbiasa aktif, kini hanya melakukan aktifitas yang tak bervariasi. Kantor – rumah – kantor dan rumah lagi. Sungguh monoton. Aku tidak bisa kemana – mana. Karena aku tidak tahu akan kemana. Aku tidak bisa melakukan apa yang aku suka. Karena aku tidak tahu bisa melakukan apa. Aku kesepian. Karena aku tidak punya teman.

OK. Aku punya teman. Namun mereka berbeda dengan teman – temanku sebelumnya. Bersama mereka, selalu dengan kegiatan yang sudah bisa ditebak. Berkumpul di rumah salah seorang teman. Makan malam bersama. Usai makan malam, masing – masing orang akan sibuk dengan dunianya sendiri. Ada yang sibuk ber skype, ada pula yang serius menonton pertandingan liga champions. Tanpa berniat melakukan kegiatan lain yang lebih ‘fun’.

Memang, kondisi negara ini juga tidak memungkinkan  untuk berkeliaran terlalu bebas. Begitupun, bukan tidak mungkin untuk melakukan sesuatu yang ‘fun’. Misalnya, ikut gym, menghadiri pesta. Berenang atau jogging bersama para expatriate lain. Tidak perlu menjadi party girl. Tapi, paling tidak menambah kegiatan untuk bersosialisasi.

Aku mulai merindukan teman – temanku di Indonesia. Teman – teman yang bisa aku ajak ‘gila’. Dan mengerti akan ‘kegilaan’ku. Serta bisa mengimbangi ‘kegilaan’ku. Aku sempat merasa iri ketika melihat status Facebook seorang  teman yang berasal dari Australia. Saat itu, si teman tengah bermukim di Afghanistan. Begini bunyinya, “Just had the amazing time with Indonesian people. Karokean Boo,”. Status yang jelas – jelas membuat aku iri. Karaoke? Di Afghanistan? Penasaran, aku mengiriminya email singkat, menanyakan apakah di Kabul ada tempat untuk ber karaoke seperti Inul Vizta. Sang teman menjawab, “Kami karaoke di rumah. Tak perlu ke Inul Vizta. And it was very fun. You should make it.”

Aku berusaha mengimplementasikan ide ini dengan teman – teman yang lain.  Namun, tak ada satupun yang menanggapi. Aku jadi malah terlihat seperti anak autis. Dikarenakan ketika tengah berkumpul bersama mereka, aku sibuk bersenandung sementara mereka sibuk kembali di dunia maya.

Kehidupan seperti ini terus berlangsung selama enam bulan. Aku mulai mencari komunitas lain, yang jelas – jelas sangat SULIT. Perbedaan budaya membuatku sedikit sulit untuk memahami karakter mereka. Aku tak bisa memahami, mengapa seseorang selalu berkata “I’ll call you” Tapi nyatanya mereka tidak pernah menelepon. Atau seseorang yang suka sekali berkata, “We should go out together, sometimes,”. Tapi, hal itu tak pernah terjadi. Atau orang – orang yang suka berkata, “He or she’s my best friend,” yang setiap pertemuan selalu dibarengi dengan peluk dan cium hangat. Namun, ketika aku bertanya, “Kemana si Anu?” Mereka menjawab, “I don’t know. I don’t even know whether she’s still in this country or not,”

Lagi – lagi aku bingung. Jika kamu mengatakan seseorang adalah sahabatmu, setidaknya kamu tahu dia masih hidup atau tidak.

Hingga di suatu pagi. Aku menerima email singkat di Facebook dari seorang yang tak dikenal. Seseorang yang mengaku bernama Leonardo (bukan nama sebenarnya), warga negara Spanyol. Si Leo ini mengaku pernah tinggal di Indonesia dan tengah mencari komunitas Indonesia di Kinshasa. Dan dia menemukanku di Facebook. Biasanya, aku tak akan meladeni email –email dari orang yang tak kukenal. Namun, dikarenakan saat itu aku tak punya banyak teman, dan sangat putus asa untuk menemukan teman,  rasanya tak apa meladeni orang yang tak dikenal. Aku pun membalas emailnya. Keputusan yang benar.

Setelah beberapa kali berinteraksi melalui email, akhirnya aku bertemu langsung dengan Leonardo. Dia pribadi yang sangat menyenangkan. Bukan hanya itu, dia juga ‘fun’. Dan ‘gila’. Hidupku sedikit berubah setelah aku bertemu Leo. Kami tak terlalu sering bertemu, dikarenakan dia tinggal di district yang berbeda. Namun, paling tidak seminggu sekali kami pasti bertemu, meskipun itu hanya untuk sebuah diner singkat. Aku bahagia sekali menemukan Leo. Rasanya seperti menemukan air di tengah padang pasir. Leo pun mulai sering membawaku untuk bersosialisasi. Dia mengenalkanku dengan para expatriate lain. Membawaku ke pesta. Mengajakku camping. Bahkan membuat pesta karaoke untukku. Rasanya saat itu hidupku terasa sempurna. Itu pertama kalinya aku bisa mengirim email untuk sahabat – sahabatku di Indonesia dan menulis, “Guys. I’m happy. Life is getting better,”

Namun, hal itu hanya sementara. Setelah selang beberapa waktu, Leo menyelesaikan kontrak kerjanya dan harus segera pergi. Well, aku memang sudah mengenal banyak orang melalui Leo. Namun, kebanyakan dari mereka berasal dari negara yang tidak berbahasa Inggris, seperti Spanyol, Prancis dan Belgia. Bahkan, beberapa dari mereka memiliki kemampuan berbahasa Inggris yang minim. Jadi, bisa dipastikan, mereka lebih sering menggunakan bahasa Prancis untuk bahasa pergaulan, karena hampir semua dari mereka fasih berbahasa ini. Sementara, kemampuan bahasa Prancisku mendekati nol. Bisa dikatakan, aku hampir miss komunikasi ketika bersama mereka.

Saat Leo masih ada, hal ini tak terlalu memusingkanku. Bahasa Inggris Leo excellent. Selancar native speaker. Karena itu, dia selalu menjelaskan kepadaku apa yang tengah mereka bicarakan. Namun, lain ceritanya ketika Leo sudah pergi. Aku merasa mereka berusaha terlalu keras untuk berbicara dalam bahasa Inggris hanya untuk menghargaiku. Akhirnya, pertemuan dan kegiatan bersama mereka berkurang drastis.

Well, setelah itu aku mendapatkan teman lain, seperti Leo. Jika Leo seorang pria, temanku yang satu ini adalah seorang wanita, bernama Blanca.  Yang bisa aku anggap teman dan bisa aku ajak untuk ‘fun’.  Namun, sekali lagi. Tidak gampang menemukannya. Bisa di katakan, menemukan  Leo dan Blanca seperti menemukan jarum di dalam setumpuk jerami.

http://nurulfitrilubis.wordpress.com/

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun