Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Chief Operating Officer Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tukang "Papak" Al Quran

15 Januari 2010   07:35 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:27 1291
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_54290" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi/KOMPAS.com"][/caption] Kematian, selalu diiringi dengan air mata isak tangis dari keluarga atau kerabat yang merasa ditinggalkan oleh orang yang meninggal. Sementara itu para pelayat menjadi penghibur mereka yang kehilangan agar tak berlarut-larut berada dalam kesedihan dan keterpurukan ketika ditinggalkan oleh seseorang yang menghadap sang khalik. Melihat jenazah yang teronggok kaku di rumah duka, seakan menjadi hal yang paling menyedihkan. Tak sedikit dari keluarga atau kerabat yang mengiringi kepergian seseorang menghadap sang khalik dengan lantunan ayat suci Al Quran. Ini dilakukan agar jenazah tak sendirian berada di ruangan tempatnya berdiam untuk menunggu dimakamkan, sekaligus ada juga yang berpendapat bahwa dengan mengiringi jenazah dengan lantunan ayat Al Quran dapat meringankan jalannya bertemu sang khalik. Belakangan ini ada fenomena dimasyarakat yang terbilang unik dan ironis serta patut untuk kita cermati, khususnya dikalangan umat Islam. Ketika ada salah seorang keluarga yang meninggal tentunya kebiasaan untuk mengajikan orang yang meninggal itu belum hilang tapi berbeda dengan dahulu. Perbedaannya yaitu orang yang melantunkan ayat Al Quran untuk menemani jenazah dan mungkin juga dapat mengurangi dosa si jenazah, dibayar dan orang lain pula yang melakukan itu, bukan sanak keluarga atau kerabat dekat (tetangga) ! Ya, memang begitulah keadaan sekarang. Kebanyakan fenomena seperti itu terjadi di lingkungan masyarakat yang tinggal di perkomplekan atau perumahan mewah, yang kita sadari bersama, kerukunan atau hubungan antar kepala keluarga atau tetangga itu tak berjalan normal, dalam artian tidak intens bertatap muka atau bertegur sapa karena kesibukan masing-masing atau juga karena keengganan mereka untuk bersosialisasi di lingkungan rumah. [caption id="attachment_54291" align="alignright" width="300" caption="Mengaji/KOMPAS"][/caption] Hal ini saya alami sendiri bersama teman-teman yang pernah menjadi tukang "papak" (kunyah/makan) Al Quran. Pemberian nama tukang "papak" Al Quran kami dapatkan ketika tetangga kami yang sering melihat kami mengaji untuk mengiringi orang meninggal (Jenazah). Kebiasaan mengajikan orang meninggal kami dapatkan dan kami mulai ketika guru ngaji kami, memerintah untuk mengiringi kepergian seseorang menghadap Ilahi, selain sebagai bentuk rasa berduka cita, juga kami jadikan sebagai bentuk penghormatan kami kepada orang yang sudah tiada. Bermula dari perintah sang guru, sekarang kami sudah menjadikan itu sebagai kebiasaan. Pernah suatu ketika, kami diminta guru ngaji kami untuk datang ke rumah seseorang yang tinggal di komplek yang mewah. Kami tak kenal orang itu bahkan tak pernah melihatnya bersosialisasi. Kami diminta membacakan Al Quran untuk mengiringi seorang keluarga tersebut yang meninggal, yang juga sudah menjadi makanan kami sehari-hari. Setelah kami memenuhi perintah sang guru dan permintaan keluarga yang berduka, kami kaget, karena setelah mengaji itu kami masing-masing diberikan sebuah amplop yang isinya tak lain dan tak bukan adalah uang. Karena tak terbiasa dan tak pernah menerima serta mengalami hal seperti ini, kami lantas bertanya kepada keluarga yang bersangkutan dan kepada guru kami, kenapa kami diberikan uang, padahal kami melakukan itu ikhlas dan tulus selain itu juga bentuk rasa hormat kami sesama muslim. Keluarga itu tak menjawab pertanyaan kami, tetapi guru kami memberikan jawaban yang tak lumrah. Ia mengatakan bahwa itu adalah sebagai bentuk terima kasih dan juga bayaran untuk kami karena sudah mau membacakan atau mengajikan ayat Al Quran kepada jenazah dari keluarga tersebut. Tentu saja, ini membuat kami semua bingung dan merasa tak enak hati karena kami merasa telah merepotkan keluarga yang berduka itu, padahal mereka sedang kesusahan dan sedih akibat ditinggal kelaurga mereka untuk selama-lamanya. Tapi sudahlah, nasi sudah menjadi bubur, uang itu sudah kami terima dan tak bagus juga menolak rejeki, walaupun akhirnya uang itu kami gunakan untuk biaya konsumsi dalam acara pengajian. Setelah mengalami hal itu, kami semua merasa canggung dan tak enak lagi jika diminta orang untuk mengajikan orang meninggal.  Walaupun kami berpikir demikian, tapi tak lama kemudian kami diminta kembali untuk mengajikan orang meninggal lagi, dan lagi-lagi, hal serupa seperti yang kami alami sebelumnya terulang bahkan keluarga tersebut menanyakan tarif kami. Sungguh-sungguh aneh tapi nyata, mengaji sudah diperjual-belikan. Bahkan saya pernah mengobrol dengan teman yang tinggal di lain daerah, ia mengatakan bahwa mengaji untuk orang meninggal itu, disini sduah jadi bisnis dan ia tak sungkan untuk memberitahukan kepada saya tarif yang biasanya dipatok oleh orang yang kerjaannya mengajikan orang meninggal, sekitar 3-7 juta selama tujuh hari berturut-turut (biasanya dari awal orang itu meninggal sampai peringatan tujuh hari orang yang meninggal). Ironis memang, tapi itulah kenyataannya. Setelah saya cermati dan amati, biasanya keluarga yang kehilangan anggota keluarganya karena meninggal, itu tak bisa mengaji dan kerabatnya pun juga terkadang tak bisa mengaji. Maka dari itu, "disewa"-lah tukang "papak" Al Quran seperti kami ini. Ternyata perkembangan zaman dan teknologi serta pergaulan masyarakat sekarang membuat mereka enggan belajar membaca Al Quran. Ternyata hal ini juga tak mustahil jika menimpa masyarakat di perkampungan yang biasanya banyak berisi kegiatan-kegiatan keagamaan seperti pengajian. Memang tak bisa dipaksakan, karena itu hak mereka dan nantinya mereka juga yang mempertanggungjawabkan kepada sang Khalik. Tapi, alangkah indahnya jika dalam satu keluarga itu ada beberapa orang bisa mengaji dan mengerti agama. Selain itu, alangkah indahnya jika ada seseorang yang meninggal, keluarga yang ditinggalkan mengiringinya sendiri dengan membaca Al Quran. Tentunya orang yang meninggal itu akan sangat bahagia jika ia meninggal dan ternyata keluarganya dapat mengiringinya dengan membacakan ayat-ayat suci Al Quran, sehingga Insya Allah, jalannya menemui sang Khalik akan terasa ringan. Terlebih jika seorang anak dapat mengajikan orang tuanya disaat orang tuanya itu meninggal, karena do'a anak yang soleh dan solehah-lah yang dapat meringankan dosa mereka di akhirat. Pada diri kami sendiri, telah ditanamkan agar bisa mengaji dan mengkaji apa isi dari Al Quran itu. Pernah suatu ketika, kami dimarahi oleh guru ngaji kami kareana beberapa hari bolos mengaji. "Kalo Lo kaga bisa ngaji, entar siapa yang ngajiin orang tua lo semua kalo mereka mati ?? !!!", begitu kata guru ngaji kami dengan nada tinggi dan logat betawi yang kental. Setidaknya, "sentilan" ini yang kami kami jadikan salah satu pemompa semangat kami untuk mengaji di samping kewajiban seorang Muslim yang harus tahu dan memahami isi dan makna kitab sucinya sendiri. * "papak", adalah bahasa betawi yang bisa diucapkan ketika mengunyah atau memakan sesuatu. Dalam tulisan ini kata "papak" hanya perumpaan bagi orang yang suka mengaji, terutama mengajikan orang meninggal, yakni "papak" Al Quran atau membaca Al Quran. NuruL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun