Tahun 1986, tepat di akhir-akhir Mei, ada seorang perempuan keturunan China yang menjadi mualaf karena dinikahkan oleh lelaki Betawi muslim, yang sedang hamil tua. Perempuan itu masih tinggal di rumah mertuanya yang sarat akan ornamen budaya betawi yang kental dan kebiasaan mertuanya itu pun jauh dari kehidupan si perempuan yang hidup dalam kebudayaan dan tradisi China. Sudah nasib atau memang takdir seorang istri yang hidup bersama mertua. Bukan hanya urusan rumah tangga mereka yang sering diintervensi, namun masalah hubungannya dengan Tuhan selalu dikritik dan kadang dicibir oleh para ipar-iparnya. Maklum, perempuan itu adalah seorang mualaf yang sama sekali masih dangkal pengetahuannya mengenai Islam. Dikehamilannya yang pertama ini, ternyata sangat dinanti oleh suaminya dan oleh keluarga perempuan itu dan mertuanya. Perawatan dan segala macam tips agar bayi yang terlahir nanti sehat dan selamat, ia ikuti. Bulan Mei, tanggal 23, tepat di malam Jum'at Kliwon, perempuan itu merasa mulas dan dengan segera dibawa ke bidan terdekat oleh suaminya yang berharap semoga istrinya melahirkan malam itu. Benar saja firasat suaminya yang mempredikasi bahwa bayi yang dikandungnya akan lahir. Tangisan bayi yang berwarna kemerahan itu memenuhi rumah persalinan itu. Segera, suaminya masuk dengan muka bersyukur. Kumandang azan dilantunkan pada telinga bayi disertai lafaz-lafaz alquran setelah itu. Kini, perempuan itu sudah menjadi seorang ibu dan suaminya berstatus ayah si bayi tadi. Lantas beberapa setelah kelahiran bayi itu, langsung diberikan sebuah nama, yaitu En. [caption id="attachment_147012" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi (shutterstock)"][/caption] Beberapa hari setelah persalinan, perempuan (selanjutnya baca: Ibu) itu kembali ke rumah mertuanya dengan membawa En yang matanya sipit dan memiliki kulit yang putih memerah. Hari demi hari mereka lewati berdua merawat En dengan tulus dan penuh kasih sayang. Tak lama kemudian ternyata si ayah telah menyiapkan kado bagi sang istri atas kelahiran En. Yakni sebuah rumah yang cukup besar namun berornamen kuno dan berada di tengah kampung Betawi. Hari-hari keluarga ini sungguh indah. En yang dulu memiliki kulit putih memerah itu semakin besar dan sudah pantas untuk disekolahkan. Tak tahu kenapa, sang ayah, menyekolahkan En itu di sebuah madrasah dekat rumah. Padahal sang ibu mengginginkan anaknya sekolah di sekolah umun dan negeri. Sampai suatu ketika sang ayah memberitahukan kepada En, bahwa alasan ia menyekolahkan En karena permintaan sang kakek yang berkeinginan cucunya itu, En, menjadi ulama atau kiayi. Bahkan sang kakek sudah memiliki rencana ketika cucunya itu sudah besar nanti, ia akan mengirim En itu ke pesantren di daerah luar kota. Dari SD sampai SMP, En itu mengenyam pendidikan di madrasah sehingga pengetahuan agama Islamnya terbilang lumayan bahkan sedikit mahir dalam berbahasa arab dan ilmu turunan lainnya seperti kitab kuning. Setelah lulus SMP, En bosan dan jenuh sekolah di madrasah. Lalu ia meminta kepada kedua orang tuanya agar disekolahkan di luar madrasah. Ia pun akhirnya disetujui dan sempat mengikuti tes masuk SMA negeri, walaupun akhirnya gagal karena nilai pendidikan umumnya kurang dapat bersaing dengan anak-anak lainnya. En tidak putus asa dan tidak memikirkan kembali masuk sekolah negeri. SMU swasta Muhammadiyah, akhirnya dipilih En sebagai persinggahannya menuntut ilmu. Setelah masuk sekolah itu, En, yang tadinya memiliki sifat pendiam dan pemalu ini berubah drastis menjadi anak yang banyak omong dan pandai bergaul, namun sayangnya En tak pandai mengontrol dirinya dalam pergaulan sehingga agak sedikit menyimpang. Tawuran, alkohol dan ganja akhirnya dikenal En melalui pergaulannya itu. Kebiasaan menenggak alkohol dan menghisap ganja dilakukan En hampir 3 tahun lamanya. Walapun begitu En tetap sadar akan dirinya yang masih memiliki sisi baik. Pengajian dan kegiatan-kegiatan di sekolah maupun di rumah diikuti En, bahkan beberapa kali ia sempat memimpin organisasi atau kegiatan yang diikutinya itu. Ketika kelas tiga SMU, En sedikit mengurangi kebiasaan buruknya dan sedikit fokus belajar karena ia sadar bahwa untuk lulus dan melanjutkan sekolahnya ke perguruan tinggi, En harus mengikuti Ujian Nasional yang sampai kini masih kontroversi karena dianggap terlalu sulit bagi siswa. Sebelumnya En juga mengikuti kursus-kursus yang didukung oleh orang tuanya. En adalah orang yang menyenangi musik dan hobi bermain drum sehingga ia mengikuti kursus musik di sekolah musik yang ada tak jauh dari rumah En. Saat itu ia mengikuti kursus perkusi atau drum yang dilakoninya selama dua tahun lebih karena harus keluar atas permintaan ibunya untuk melanjutkan ke kursus lainnya, yakni kursus bahasa Arab, Inggris dan Mandarin setelah itu. Kehidupan En sungguh beruntung karena ia mendapatkan akses pendidikan formal dan informal yang cukup dibanding teman-temannya yang lain. Kursus bahasa itu ia ikuti sampai ia masuk ke perguruan tinggi setelah dinyatakan lulus dari SMU dan ia juga masuk 10 besar siswa terbaik di jurusannya. Saat memasuki perguruan tinggi, En memilih fakultas ilmu politik dan sosial jurusan hubungan internasional. Awalnya ia merasa nyasar masuk fakultas itu, karena dua tahun awal ia kuliah, indeks prestasinya sangat memperihatinkan, yakni 2,4. Saat itu En, sering bolos masuk kelas dan kebanyakan waktu pada malam harinya ia habiskan untuk clubbing dan nongkrong layaknya anak-anak Jakarta yang menyukai dunia gemerlap. Alkohol pun masih ia sentuh ketika itu. Sampai suatu ketika ia menemukan beberapa teman yang aktif pada organisasi kampus. En sangat iri dengan mereka yang sangat kritis dan pintar menurutnya. Setelah itu ia memutuskan untuk masuk organisasi tersebut. Di situ En mendapatkan banyak pelajaran berharga dari hasil diskusinya dengan teman-teman yang ada di organisasi itu. Alhasil, semester demi semester yang dilalui En, membuahkan hasil yang cukup membanggakan karena indeks prestasinya naik. Dari situ pengetahuan En terus bertambah dan mulai sadar akan nikmatnya membaca buku dan surat kabar serta lainnya. Akhir tahun 2008, En berhasil lulus dan di wishuda dengan indeks prestasi yang lumayan, di atas 3.00. En begitu bahagia. Tapi ada tugas berat yang menanti En setealah lulus kuliah, yaitu mencari kerja dan membahagiakan orang tuanya. Walaupun En, dulu sempat terjerumus dalam pergaulan yang kurang baik, tapi En masih ingat jasa orang tuanya yang menyekolahkannya sampai ke perguruan tinggi. Hari demi hari dilewati En, ia tak kunjung mendapatkan kerja dan terus berusaha ke sana kemari mencari pekerjaan. Ia merasa berdosa karena ia merasa telah mengkhianati kedua orang tuanya walaupun ia sadar sampai kapan pun jasa kedua orang tuanya tak dapat dibalas dengan pengorbanan seperti apapun karena jasa dan kasih sayang orang tuanya sungguh tak terhingga dan sulit melampaui untuk membalasnya. Kegigihannya mencari kerja selama berbulan-bulan membuahkan hasil. En kini sudah bekerja dan tiap bulannya ia berusaha menyisihkan gajinya untuk diberikan kepada kedua orang tuanya---yang telah membesarkan dan mencintainya dengan tulus ikhlas---walaupun orang tua En, tak mengharapkan En memberikan sebagian gajinya itu. Bagi En ini satu bukti tanda terima kasih dan sayang serta baktinya kepada kedua orang tuanya. Namun, tidak dengan begitu, batin En terpuaskan. Ia tetap gelisah dan terus mencari cara untuk membalas jasa, rasa sayang dan cinta serta keikhlasan orang tuanya yang selalu berdoa demi kesuksesan dan kehidupan En kelak. Tanggal 23 Mei 2010 ini, En genap berumur 24 tahun. Ia tak menyangka bahwa umurnya semakin dewasa dan tanggung jawab yang diembannya pun bertambah. Akan tetapi En terus berusaha agar hidupnya selama ini dan ke depannya dapat bermanfaat bagi orang tuanya, bangsa dan negara. Hingga kini, diumurnya yang yang ke-24 tahun terus mencari dan mencari serta berusaha yang terbaik bagi dirinya dan kedua orang tuanya. Biarpun begitu, En tak lupa mengucap syukur atas rahmat tuhan kerena dipanjangkan umur dan En selalu berterima kasih kepada Ayahnya yang sudah melantunkan Azan dan membacakan ayat-ayat Al quran ketelinganya ketika ia pertama kalinya menghirup udara di dunia dan kepada ibunya yang telah mempertaruhkan nyawa demi kelahirannya, walaupun menurut En ini belum cukup baginya untuk berbakti dan ia terus berusaha menjadi anak yang dapat dibanggakan dan menjadi anak yang sholeh tentunya. Selamat berjuang En, perjalanmu masih panjang dan Selamat Hari jadi ! Robbighfirlana Waali waali dayya warhamhuma kamaa robbayanaa Sigharaa NuruL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H