[caption id="attachment_315028" align="aligncenter" width="615" caption="Komunitas Teplok"][/caption] Terlalu idealis ketika saya menolak untuk meminta bantuan ke dinas dan atau kementerian di negara ini. Alih-alih ingin menjadikan hal tersebut sebagai sebuah kritik sosial, saya dan beberapa teman di Komunitas Teplok berkomitmen untuk berdiri sendiri dengan menyadarkan masyarakat sekitar pentingnya berbagi dan peduli antarsesama serta mengembalikan esensi edukasi atau pendidikan formal. Idealisme tersebut memang saya rasakan dan mungkin beberapa teman-teman yang lain, tapi dengan idealisme seperti itu, Komunitas Teplok terus berjalan untuk menjemput mimpi mulia. Komunitas Teplok merupakan sebuah organisasi yang memiliki visi dan misi membantu anak-anak yang kurang beruntung dalam mengenyam pendidikan formal dan menyebarkan semangat membantu antarsesama khususnya pada ruang lingkup pendidikan. Pada prakteknya kini, Komunitas Teplok memiliki sembilan anak asuh yang mendapatkan bantuan materi dan moral yang diberikan masyarakat. Tugas pengurus Komunitas Teplok-lah yang mendistribusikannya kepada mereka yang membutuhkan. [caption id="attachment_315030" align="aligncenter" width="589" caption="Anak Asuh Komunitas Teplok"]
[/caption] Awal mula berdirinya Komunitas Teplok hanyalah hasil dari obrolan ''warung kopi'' anak-anak muda di lingkungan tempat saya tinggal, yaitu di daerah Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Di awal terbentuknya komunitas ini di tahun 2008, saya memang sudah memiliki harapan besar bahwa melalui medium yang diberi nama Komunitas Teplok ini kepedulian masyarakat kian dikedepankan dan menjadi titik balik majunya kesadaran masyarakat akan pentingnya pendidikan. Saya harus mengakui, lingkungan di tempat saya tinggal sangat tidak ''kodusif''. Dimana para orang tua tidak peduli lagi akan masa depan anak mereka dan atau kemampuan materi sebagian orang tua memaksa menjadikan anak mereka keluar rumah untuk mencari penghasilan sendiri di usia yang sewajarnya masih mengenyam pendidikan di sekolah. Bahkan, cenderung menghasilkan pergaulan yang negatif. Narkoba dan kriminalitas sangat akrab dan erat menempel pada masing-masing karakter anak-anak muda di sini yang kesehariannya hanya menghabiskan waktu untuk hal yang tidak bermanfaat. Namun, problematika seperti itu kian lama kian terkikis dan keberadaan Komunitas Teplok sangat berperan besar di dalamnya.
Filosofi Lampu Teplok Konsep dan metode yang diterapkan Komunitas Teplok sangat sederhana. Mulanya kami membentuk suatu kepengurusan lalu membuat medium kotak kayu yang nantinya disebar ke warga masyarakat yang ingin membantu berjalannya visi dan misi Komunitas Teplok. Kenapa dinamakan Komunitas Teplok? Sederhana! Kami menamakan dengan kata ''Teplok'' karena memakai filosofi lampu teplok yang meski apinya tidak besar, namun dia bisa cahaya penerang. Selain itu, kami meminta warga masyarakat yang memiliki kotak kayu tersebut untuk menempelkan atau menggantungkannya di tembok teras rumah mereka masing-masing, seperti peletakan lampu teplok. Cara pendistribusian bantuan yang didapat juga menggunakan metode ''beras jumputan'' yang akrab di pedesaan. Kami menghimpun semua bantuan dengan mengambilnya ke tiap rumah lalu mendistribusikan bantuan tersebut ke yang membutuhkannya. Orang-orang yang mendapatkan bantuan dari Komunitas Teplok adalah anak-anak yang putus sekolah dan terkendala biaya sekolah sehingga mereka tidak dapat melanjutkan atau kesulitan dalam mengikuti proses belajar-mengajar di sekolah. Tidak berhenti sampai di situ, sejak 2011 kami membuat
sebuah taman baca dengan dua buah rak buku dan ribuah jenis buku hasil dari sumbangan orang lain. Lantas apa hubungannya dengan karakter anak muda di sekitar? Sebelum adanya Komunitas Teplok ini, kegiatan anak-anak muda di sekitar cenderung negatif dan ''useless''. Kegiatan dan karakter mereka mulai berubah setelah Komunitas Teplok hadir sebagai oase di tengah kekeringan moral dan pendidikan. Kami juga ingin memunculkan minat baca melalui perpustakaan atau taman baca. Mereka mulai ikut membantu berjalanannya organisasi ''warung kopi'' ini dan menyadarkan mereka betapa pentingnya pendidikan di masa kini. Uniknya, di antara beberapa pengurus ada yang pernah mengalami putus sekolah. Bantuan tenaga dan pikiran mereka dalam kepengurusan salah satunya disebabkan ketidakmauan mereka melihat generasi di bawahnya bernasib seperti apa yang pernah mereka alami. Susah mendapatkan pekerjaan, martabat yang kerap direndahkan dan cibiran dari masyarakat yang memandang mereka sebelah mata karena pendidikan mereka. Meski begitu, Komunitas Teplok belum sepenuhnya berhasil menjalankan misi dan visi untuk menyadarkan masyarakat akan pentingnya berbagi dan mengedepankan pendidikan bagi anak-anaknya. Tahun lalu, dua anak asuh kami kembali putus sekolah karena kontrol yang kurang dari orang tua. Pergaulan bebas di luar lingkungan kami memaksa mereka rela meninggalkan bangku sekolah. Kritik sosial melalui Komunitas Teplok ini belum berakhir sampai menemukan kepuasan untuk melihat genrasi penerus di lingkungan tempat saya tinggal ini tersenyum dengan segala ambisi dan prestasi.
Salam Teplok! Nurulloh (Pembantu di Komunitas Teplok)Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H
Lihat Pendidikan Selengkapnya