Mohon tunggu...
Nurulloh
Nurulloh Mohon Tunggu... Jurnalis - Building Kompasiana

Chief Operating Officer Kompasiana

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Artikel Utama

Rise and Fall of the Great Power

25 Juni 2010   10:07 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:17 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Izinkan saya meminjam judul buku Paul Kennedy "Rise and Fall of the Great Power: Economic Change and Military Conflict...." seperti yang saya gunakan juga dalam judul tulisan ini. Paul Kennedy, seorang ahli sejarah hubungan internasional yang berasal dari Inggris ini pernah memprediksikan tentang kemunculan dan kejatuhan kekuatan besar yakni negara atau bangsa pada era tahun 1500 sampai 2000. Dalam prediksinya itu kebanyakan mengambil latar belakang peperangan dan kebangkitan maupun kejatuhan ekonomi suatu negara. Tentunya tulisan ini tidak akan membahas atau membedah dan atau membenarkan atau tidaknya prediksi Paul Kennedy tersebut. Rise and Fall of the Great Power di sini kapasitasnya untuk mengambarkan dunia sepak bola. Ajang perhelatan kompetisi dunia atau yang lebih dikenal pertama kalinya dengan Piala Jules Rimet dan kini dikenal dengan Piala Dunia (World Cup) sejak dari pertama kali diselenggarakan pada tahun 1930 di Uruguay sebagai tuan rumah pertama, telah menjadi ajang pertaruhan martabat dan harga diri bangsa dan negara yang ikut serta dalam kompetisi akbar tersebut. Sebelumnya saya pernah menuliskan tentang multipolar sepak bola dunia, yang juga ikut mempediksi dan menggambarkan peta kekuatan sepak bola dunia yang sudah tidak lagi berkiblat atau berporos pada suatu negara atau benua. Tercatat sejak digulirkannya piala dunia, ada tujuh negara yang pernah berhasil menjuarai kompetisi ini, diantaranya tiga negara dari benua Amerika (Uruguay, Brazil dan Argentina) dan empat dari benua Eropa (Jerman, Itali, Inggris dan Perancis). JIka dibandingkan dengan peserta piala dunia yang diikuti oleh 32 negara dari segala penjuru dunia, hanya tujuh negara yang sukses menjadi juara. Tentunya ini menunjukkan seuah kutub atau poros kekuatan sepak bola dunia yang hanya berputar diantara negara-negara tersebut. Negara yang belum sukses, sejak dulu sering disebut sebagai penggembira piala dunia, terlebih negara-negara dari Asia, benua "dunia ketiga" dalam sepak bola. [caption id="attachment_177321" align="alignright" width="384" caption="FIFA.com"][/caption] Namun, di Afrika Selatan (Afsel), tempat diselenggarakannya piala dunia ke-19 ini (11 Juni-11 Juli 2010), sedikit membenarkan prediksi Paul Kennedy tentang rise and fall of the great power, yang juga pernah menjadi pemikiran Joseph S Nye, co-founder teori neoliberalisme dalam studi hubungan internasional. Di negara yang dulu menganut politik apartheid ini, menyajikan berbagai kejutan dan sejarah baru dunia persebakbolaan. Negara-negara seperti Perancis, Itali yang keduanya merupakan finalis piala dunia di Jerman pada empat tahun sebelumnya di Jerman (2006) yang saat itu Itali keluar sebagai juara dunia setelah menang dalam drama adu penalti, secara mengejutkan gagal lolos keputaran fase kedua atau perdelapan final piala dunia Afsel. Keduanya mengalami nasib yang tragis. Perancis bertanding di tengah polemik yang menderu dalam timnya, bahkan sampai presiden mereka turun tangan dengan memanggil pemain yang bermasalah, Nicolas Anelka, Di lain pihak, Itali sang juara bertahan harus berjuang mati-matian ketika mendapatkan hasil buruk dari dua pertandingan yang dijalaninya, ketika ditahan imbah Paraguay dan kalah dengan Slovakia, yang juga memastika Itali harus pulang lebih awal bersama Perancis. Kenyataan dan gambaran piala dunia di Afsel ini bukan saja diderita Itali dan Perancis, banyak tim-tim kiblat kekuatan sepak bola dunia, seperti Belanda, Spanyol, Brazil dan lainnya juga mengalami hal serupa walaupun tak senasib dengan Perancis dan Itali yang terluka dalam. Negara seperti Ghana, Korea Selatan, Jepang, Slovakia, Meksiko dan lainnya yang dianggap sebagai kekuatan menengah ke bawah justru menunjukkan kebangkitan sepak bola mereka. Kebangkitan dan kejatuhan (Rise and Fall) negara-negara seperti Itali dan Perancis membuktikan bahwa kekuatan sepak bola dunia kini sudah merata. Salah satunya disebabkan banyaknya pemain-pemain dari benua "kelas tiga" dalam kekuatan sepak bola sudah banyak yang merumput di liga-liga eropa yang terkenal elit dan tempat bersarangnya klub-klub sepak bola tangguh. Rise and Fall of the Great Power, Paul Kennedy dan Joseph S Nye ini juga layak menggambarkan dan memprediksi dinamika sepakbola dunia kini dan nanti. NuruL

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun