Walaupun sudah 28 tahun, sengketa kedaulatan pulau Malvinas atau Falkland terus mengundang perdebatan dan kontroversi atas kepemilikan pulau yang diperebutkan Inggris dan Argentina. Tahun 1982 di bulan Mei, perang berskala besar terjadi antara kedua negara itu. Konon, perang Malvinas bukan saja menyoal perebutan pulau, namun juga ajang adu gengsi dan harga diri dua negara. Mulanya, seperti pada tulisan saya sebelumnya yang membahas tentang ini (lihat) disebabkan ketika sebuah kapal perang Inggris Clio pada tahun 1833 secara tiba-tiba muncul di Pulau Falkland dan berlabuh di sana dengan menurunkan bendera Argentina yang terdapat pada pulau itu yang digantikan dengan menaikkan The Union Jack. Hal ini memicu emosi Argentina karena merasa harga dirinya di injak-injak dengan penurunan bendera itu. Setelah itu kedua negara saling klaim dan saling tuduh kerena telah berbuat seenaknya terhadap kepulauan itu. Sehingga sampailah terjadinya perang besar antara Argentina dan Inggris dalam memperebutkan hak penuh atas kepulauan Malvinas atau Falkland pada bulan Mei 1982, kedua negara sama-sama mengerahkan pasukan dan persenjataan militernya untuk meraih kemenangan walaupun Argentina lebih lemah secara militer dibanding Inggris tetapi Argentina melakukan serangan lebih dulu dan mengerahkan militernya dengan sangat maksimal, padahal kondisi dalam negeri Argentina saat itu sedang kacau sepeninggal diktator Juan Peron. (Angkasa, Guerra De Las Malvinas, 2007) [caption id="attachment_145139" align="alignright" width="322" caption="falkland war (uk28.com)"][/caption] Keadaan di dalam negeri Inggris dan Argentina saat itu juga menjadi sebab musabab kenapa perang yang mempertaruhkan sebuah pulau yang memiliki cuaca buruk dan tidak terlalu menarik dari sisi ekonomi, harus terjadi. Inggris yang ketika itu mengalami krisis pengakuan internasional sebagai negara imperial, mengambil resiko untuk berperang dengan Argentina, supaya negaranya kembali mendapat pengakuan dan tak bisa diremehkan. Sedangkan situasi Argentina yang mengalami kemerosotan ekonomi dan krisis kepemimpinan sepeninggal seorang diktator yang menguasai negara itu, sepakat melawan Inggris hanya untuk mengalihkan perhatian rakyatnya. Rabu (19/5), kantor berita reuters melaporkan bahwa, Presiden Argentina, Cristina Kirchner, kembali meminta dibukanya pintu perundingan masalah kepulauan Malvinas (Falkland) dengan Inggris yang memanfaatkan panggung KTT Uni Eropa-Amerika Latin yang berlangsung di Madrid, Spanyol, untuk menyampaikan seruan bagi dibukanya kembali perundingan masalah sengketa kepulauan tersebut (Kompas.com, 19/05). Namun Inggris merespon dengan penolakan akan seruan Cristina ini, yang menginginkan dibukanya kembali perundingan persengketaan. Pada Februari 2010, kedua negara juga mengalami ketegangan akibat sengketa klasik ini. Saat itu, Christina mengeluarkan dekrit untuk mengontrol semua pelayaran ke dan dari kepulauan itu. Walapun begitu, hubungan dan kerjasama kedua negara di bidang lain tak terganggu dengan sejarah perang yang menewaskan sekitar seribu orang itu. Ada benarnya memang jika melihat niat Christina dalam hal ini Argentina untuk berunding kembali dengan Inggris terkait masalah Malvinas (Argentina) atau Falkland (Inggris). Kekhawatiran akan terbukanya kembali masalah ini di masa mendatang terbuka lebar, bahkan bukan tak mungkin akan mempengaruhi hubungan kedua negara akibat perang yang dahulu sebagian besar disebabkan karena gengsi. NuruL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H