Raut wajah Ibu Jawi begitu gembira melihat rapor cucunya, Ijong, siswa kelas III SDN Rawa Kemiri, Grogol Selatan, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Namun, keceriaan itu bukan semata hanya karena melihat hasil belajar Ijong yang baik, melainkan kegembiraan karena Ijong bisa kembali bersekolah setelah sempat putus sekolah akibat terbentur masalah biaya. Ijong memang sempat putus sekolah saat masih duduk di kelas II SD. Kini, anak itu bisa melanjutkan sekolahnya dan sudah duduk di kelas III. Kesempatan Ijong bisa melanjutkan kembali sekolah itu bukan atas biaya pribadi atau bantuan pemerintah, melainkan berkat bantuan beasiswa dari Komunitas Teplok, yaitu sebuah komunitas pencari dana beasiswa yang dipelopori para pemuda di daerah tempat Ijong tinggal di kawasan Kebon Kelapa, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Para pemuda di daerah itu tergugah dan menciptakan sebuah ide membuat suatu komunitas yang khusus berkonsentrasi pada bantuan biaya pendidikan. Ide itu muncul setelah diketahui banyak anak di daerah tersebut yang putus sekolah akibat ketidakmampuan dalam hal materi. Beras jumputan [caption id="attachment_141166" align="alignleft" width="300" caption=" Jika konsep "beras jumputan" adalah menyisihkan beras, dikumpulkan, lalu dibagikan, maka para warga di kawasan ini menyisihkan sebagian rezekinya berupa uang untuk diisi ke dalam kotak itu/NuruL"][/caption] Awalnya, Komunitas Teplok melakukan pemberian beasiswa kepada anak-anak yang kurang mampu untuk tetap dapat bersekolah. Caranya sangat sederhana, yaitu dengan mendistribusikan "kotak" kepada tiap orang yang mau ikut bergabung membantu biaya pendidikan anak-anak di kawasan tersebut. Sepintas, cara yang dilakukan oleh komunitas ini tak ubahnya dengan "beras jumputan" yang banyak dilakukan masyarakat Indonesia di beberapa daerah untuk berbagi kepada warga lain yang mengalami kesulitan. Jika konsep "beras jumputan" adalah menyisihkan beras, dikumpulkan, lalu dibagikan, para warga di kawasan ini menyisihkan sebagian rezekinya berupa uang untuk diisi ke dalam kotak tersebut. Jadilah cara ini disebut dengan "beasiswa jumputan". Andi Irhami, Ketua Komunitas Teplok, menuturkan bahwa kata “teplok” digunakan karena kotak yang telah diberikan kepada para warga itu diletakkan menempel pada tembok rumah tiap-tiap warga. "Jadi, mirip lampu teplok," ujar Andi yang ditemui Kompas.com, Minggu (17/4). Setiap bulan, lanjut Andi, "kotak" yang telah didistribusikan pada warga itu kemudian dihimpun atau dijumput kembali oleh anggota Komunitas Teplok. Isinya kemudian didistribusikan dan digunakan sebagai beasiswa untuk anak-anak yang sebelumnya telah didata. Andi mengatakan, saat ini komunitas tersebut sudah memiliki lima anak asuh yang berhak mendapatkan beasiswa. Tak hanya beasiswa penuh, beasiswa itu juga berupa alat-alat sekolah dan uang sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). "Setiap anak yang mendapatkan beasiswa akan dipantau perkembangannya, mulai dari kemajuan belajar sampai kebutuhan yang berkaitan dengan pendidikannya," ucap Andi. Dia menambahkan, setiap bulannya, selain menghimpun donasi yang diterima komunitas, dia dan rekan-rekannya juga melakukan pendataan baru pada masyarakat yang kurang mampu dalam pembiayaan pendidikan anak-anaknya. "Kegembiraan yang Ibu Jawi rasakan akan terus menjadi penyemangat kami untuk berusaha memberikan kemudahan kepada masyarakat dalam mengakses pendidikan," ujarnya dengan nada optimistis. Obrolan warung kopi Komunitas Teplok pertama kali dicetuskan pada bulan April 2009. Ide pendiriannya hanya berawal dari obrolan-obrolan ringan anak-anak muda di lingkungan Kebon Kelapa tentang pendidikan. "Dari sekadar obrolan warung kopi itu kemudian berubah serius, yaitu berniat membantu anak-anak kampung sini yang memang terkendala masalah keuangan dalam meneruskan pendidikan formal mereka," kisah Andi, melanjutkan obrolannya. Andi mengatakan, bagi dia dan teman-teman kampungnya, pendidikan merupakan state obligation, yang seharusnya bisa menjamin setiap orang untuk dapat menikmatinya. Kenyataannya, hal itu tidak sepenuhnya terjadi. Lantaran kendala kondisi ekonomi, kata dia, terbukti banyak warga di kampungnya yang masih terpinggirkan dalam hal pendidikan. "Sudah saatnya masyarakat sadar akan pentingnya pendidikan dan terjun langsung membantu mereka-mereka yang mengalami permasalahan keuangan dalam pemenuhan biaya sekolah," harap Andi. "Dari situ kami berpikir bahwa sebagai pemuda pun kami punya tanggung jawab moral atas masyarakat di sekitar kami tinggal dan memang sudah saatnya pemuda-pemuda seperti kami mau turun tangan untuk membantu mereka," lanjutnya. Kini, kepengurusan Komunitas Teplok dikelola oleh enam pemuda yang memiliki tugas masing-masing. Andi mengatakan, mereka juga melibatkan beberapa relawan yang tak lain adalah pemuda kampungnya yang dengan sukarela mau melakukan penarikan donasi ke setiap rumah para donatur. Selain itu, Komunitas Teplok juga sudah meluaskan jaringannya hingga "keluar" kampung. Caranya, mereka masuk ke dalam dunia maya dengan memiliki sebuah group account sendiri di media jejaring sosial Facebook yang beralamat di sini. Andi berharap, dari sini masyarakat ataupun donatur di luar lingkungannya bisa tahu lebih jauh komunitasnya dan mau ikut membantu aktivitas mereka tersebut. "Ke depan kami berangan-angan bisa membuat komunitas ini memiliki badan hukum sendiri dan bahkan bisa melebarkan sayap mendirikan badan usaha yang nantinya akan dikelola oleh pengurus dan pemuda yang menganggur. Selain banyak yang putus sekolah, masih banyak teman kami di sini yang belum kerja," ujar Andi NuruL/LTF
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H