"Saya NN (nama disamarkan) usia 25 th, butuh uang cepat terdesak untuk melunasi hutang-hutang keluarga dan modal usaha baru, bersedia mendonorkan satu matanya bagi siapapun yang membutuhkan untuk dapat melihat keindahan dunia meskipun dengan hanya sebelah mata konpensasi yang saya minta adalah RP(nego) Bagi yang serius hub saya di @mail: ********@yahoo.com / Hp : 088 *** **** ~ Terimakasih.By: NN (nama disamarkan) At: *****" Begitulah kira-kira sebuah pesan yang disampaikan seseorang yang mengaku akan mendonorkan salah satu matanya agar dapat melunasi hutang dan membuka usaha baru, yang saya terima melalui InfoKita di KOMPAS.com beberapa waktu lalu. Namun, tentunya laporan seperti itu saya tidak tampilkan di InfoKita yang hanya menerima laporan warga dan info mengenai tempat. [caption id="attachment_138901" align="alignleft" width="300" caption="Ilustrasi-Di gedung inikah, cermin Indonesia?/KOMPAS.com"][/caption] Di luar benar atau tidaknya pesan itu, telah membuat hati saya terenyuh, walapun ini bukan yang pertama--jika benar---terjadi di Indonesia yang di dalamnya terdapat kekayaan yang luar biasa sehingga banyak orang yang mengatakan tanah Indonesia adalah tanah surga. Pesan itu menunjukkan betapa kontrasnya antara pandangan dan kenyataan. Semua negara di dunia memandang Indonesia sebagai negara yang kaya akan sumber daya alam dan kaya akan keanekaragaman budaya termasuk hayati. Semua negara memuji Indonesia. Semua negara memandang Indonesia sebagai kekuatan ekonomi dunia. Tapi setelah adanya pesan itu, kita tentu bertanya-tanya, apakah Indonesia yang kita diami ini sebegitu rupa indah dan kayanya? Hiruk-pikuk udara politik telah menyibukkan kita semua terlebih pemerintah akan hal kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan kita pulih dari krisis ekonomi 1997 dan keberhasilan kita menangkis gelombang kriris finansial tahun lalu membuat kita terbawa euforia dan kita terlalu yakin bahwa Indonesia telah "dewasa" mengurus rakayatnya sendiri. Pengirim pesan itu hanya segelintir potret, orang yang menderita di tengah kemakmuran Indonesia yang menurut saya semu. Masih banyak masyarakat kita yang senasib dengannya. Tak perlu jauh-jauh untuk membuktikannya, lihat saja di jalan-jalan depan rumah kita bahkan banyak orang yang senasib datang ke rumah kita hanya untuk meraih butiran-butiran beras. Tak heran jika banyak orang bilang, "yang kaya makin kaya dan yang miskin makin melarat". Gembar-gembor janji politisi kita saat kampanye kemarin yang berkata akan menyejahterakan rakyat memang tak bisa diharapkan lagi karena kita juga tahu bahwa itu hanya kerjaan "iseng" politisi supaya dipilih oleh masyarakat, dan memang begitu karekter politisi. Melihat itu semua, hati terus bertanya, apakah ini dampak dari sistem ekonomi yang katanya liberal? atau dampak ekonomi kerakyatan?, yang kedua istilah itu hanya membodohi masyarakat awam sehingga terjebak dalam debat kusir. Entahlah, Tiap orang memiliki penilaian berbeda mengenai itu. Tapi yang terpenting adalah bagaimana kita semua, terutama pemerintah yang memiliki kekuasaan penuh atas negeri ini---walaupun katanya ada di tangan rakyat---, lebih memikirkan dan bertindak agar orang-orang seperti pengirim pesan di atas dan orang-orang yang mendatangi rumah-rumah hanya untuk mendapatkan butiran beras, dikit demi sedikit dapat dikurangi dengan memperbaiki kemakmuran dan taraf hidup mereka. NuruL
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H