Seiring daun yang berterbangan terbawa hanyut dayu angin,kini aku tak lagi berseragam putih-biru. Selembar kain putih dan abu-abu kini telah membalut tubuhku,tersandang dari beberapa bulan yang lalu. Perjuangan untuk diterima di Sekolah Menengah Atas ini terbayar sudah.
Berbagai hal ku jumpai disini,hal baru tentunya. Teman baru dengan mimpi-mimpi yang tingginya seperti hamparan bangunan ibu kota,tingginya memang tak sama namun tetap menjulang ke atas dan seakan tak mau kalah atas. Kakak kelas baru yang bersaing wibawa di depan kami adik kelas yang tidak boleh bersikap aneh-aneh jika tak mau jadi bahan perbincangan seluruh isi sekolah. Dan guru-guru baru yang seakan tak mau kalah pintar di depan murid-muridnya.
Beberapa bulan berlalu. Musimpun juga ikut berganti. Angin kadang tak lagi membawa hanyut daun. Gemericik air yang jatuh dari langit kadang juga ikut terhanyut bersamanya.
Telah banyak hal yang ku pelajari dari sekolah ini. Aku juga mulai bergabung dengan organisasi sekolah. Kebanyakan temanku menyebut organisasi yang ku ikuti hanya sekedar ekstrakurikuler sekolah. Tapi,aku menganggap itu lebih dari hanya sekedar ekstrakurikuler. Aku hanya mengikuti 1 ekstrakurikuler dan atau 1 organisasi yaitu pecinta alam.
Pecinta alam memang tanpa guru,dan tidak pernah mengajariku rumus menghitung luas gunung atau keliling lautan. Organisasi ini memang tidak akan memberi pengaruh pada angka-angka raporku. Tapi,berpengaruh pada apa yang ada dalam isi otakku.
Setelah beberapa bulan menerjang waktu,jejak pengalaman baru telah ku tapaki bersama mereka,merek keluarga baruku di satu-satunya organisasi yang ku ikuti. Gunung telah kami daki,lembah telah kami turuni,lautan telah kami telusuri,lembaran-lembaran kenangan terlukis indah dengan sendirinya. Kami semakin dekat,dan semakin erat. Kami pecinta alam.
Di sekolah,pecinta alam memang memiliki tempat tersendiri di antara bagian-bagian labirin gedung sekolah yang berdiri kokoh. Kami memiliki sekretariat sendiri,satu ruangan bersama pramuka. Tempat sekretariat kami ini berdampingan dengan ruang organisasi terbesar sekolah,OSIS. Bisa di katakan kami masih menumpang tempat pada pramuka. Namun,kami lebih sering menempatinya dari pada pramuka. Antara pecinta alam dan pramuka memang masih bisa meredam api pembatas yang bisa saja sewaktu-waktu tersulut dan akhirnya menjadiakan dua organisasi ini membelah.
Pecinta alam telah menjadi organisasi yang tak lagi diam di tempat. Organisasi ini seakan telah memiliki karisma untuk menjadi bagian dari cerita para guru. Para guru kadang memuji kinerja kami yang sudah semakin baik. Bahkan tidak hanya di dalam sekolah,organisasi ini juga semakin di kenal di luar sekolah. Pecinta alam bukan lagi ekstrakurikuler picisan,bukan lagi organisasi ngawur.
Di sekolah,organisasi pecinta alam mungkin telah menjadi organisasi tersibuk kedua setelah OSIS. Aku tak lagi menjadi anggota,kini aku telah menjadi salah satu dari pengurus yang harus memperbaiki arah baru yang akan di tempuh organisasi tercinta ini. Kini kepengurusan ada di pundak kami sebagai pengurus. Ya,semua beban kepengurusan akan kami pikul. Ini amanah. Sama seperti scraft yang kami sandang di pundak. Sehelai kain yang menjadi identitas kami sebagai pecinta alam yang harus selalu berada di pundak dan harus kami jaga.
Beberapa minggu telah berlalu. Acara demi acara telah berlangsung. Rasanya,sekretariat tak lagi seperti seperti dulu. Kini semakin hidup. Kami selalu ada di sana setiap pagi,sian,sore,bahkan malam. Ada saja yang kami rapatkan. Aku merasa bahwa menjadi pengurus benar-benar luar biasa. Ruangan OSIS juga seperti tidak mau kalah sibuk. Kadang saat sedang ada rapat antara keduanya,suasana seakan menegang. Harus ada rasa toleransi di antara keduanya. Suara kami tidak boleh melebihi suara anak kambing memanggil induknya.
Jika ada hal yang belum dapat kami selesaikan terpaksa kami harus membicarakan di luar sekretariat. Aku kadang harus menghampiri temanku yang ada di kelas lain. Hal semacam itu sering terjadi.
Suatu waktu aku pernah berkunjung ke kelas temanku untuk yang kesekian kalinya karena ada saja yang harus dibicarakan dan harus segera di selesaikan. Mungkin teman sekelasnya jengkel melihat kami yang seakan tidak pernah usai dengan rapat dadakan di depan kelas.
“ PA memang tidak punya tempat untuk rapat ya?” sindirnya sembari berjalan tanpa menoleh. Kami hanya diam saja. Aku rasa pertanyaan semacam itu tak perlu jawaban.
Hari berikutnya,ada saja hal yang perlu kami bicarakan. Kali ini bukan orang yang sama seperti waktu itu. Tiba-tiba mulutnya berkicau ria di hadapan kami. “ Apa sih gunanya PA untuk sekolah ? Sepertinya tak ada habisnya untuk rapat,rapat,dan rapat. Sudahlah,masalah keorganisasian sekolah serahkan saja pada OSIS!” begitu congkak dia berkata. Wajah kami seakan memerah menahan emosi yang membara di dalam hati. Aku memang mengenalnya. Tak jarang aku melihatnya di ruangan OSIS. Ingin sekali ku lumatkan mulutnya. Namun,bukan itu yang aku dapatkan di pecinta alam. Bukan dengan kekerasan. Ku biarkan saja suara-suara semacam itu pergi seiring hembusan angin ke barat. Biar saja tertelan ombak pantai di belahan bumi yang di sana.
Aku dan teman-temanku sesama pengurus sepakat untuk menyelesaikan pembicaraan kita di sekretariat. Teman-teman memang tersulut dengan kejadian-kejadian waktu itu. Ulah anggota OSIS yang begitu congkak itu membuat teman-temanku merasa tak terima. Keadaan semakin hangat dan memanas. Teman-temanku tak lagi diam. Mereka malah menimpali balik dengan kata-kata senada.
“ Hey OSIS !” teriak salah seorang temanku di ambang pintu sekretariat. Memancing suara OSIS. Namun,masih tak ada jawaban. Kami membiarkan saja. Sudah kami larang,namun dia tetap saja memaksa.
“ OSIS yang terhormat. Tolong jaga kata-katanya ya! Jangan sombong,kita sama kok,sama -sama organisasi sekolah. Saling menghargai lah!” dia melanjutkan kata-katanya yang bernada sindiran itu. Tak peduli lagi apa akibat dari perkataannya itu nanti. Kami hanya diam. Yang ada di ruangan OSIS mungkin telah tersulut. Ada yang keluar dari dalam ruangan itu. Bukan orang waktu yang itu.
“ Kenapa?” ternyata ketua OSISnya yang keluar.
“ Tolong ingatkan ya ke anggotamu,kita sama-sama organisasi sekolah. Seharusnya kita saling mendukung dan menghargai.” Temanku menjelaskan. Keduanya berbicara di ambang pintu ruangan kehormatan masing-masing.
“ Sebenarnya ada apa?” terlihat sekali wibawanya. Tak nampak raut marah di wajah ketua OSIS itu. Sikapnya mendamaikan.
“ Tanyakan saja ke anggotamu. Makasih!” temanku menutup pembicaraan dengan membanting pintu sekretariat se kuat urat tangannya.
Beberapa hari kemudian. Semua anggota OSIS seperti tak mau lagi berurusan dengan kami. Tak ada lagi kami dengar kata-kata yang menyulut amarah kami beberapa minggu ini. OSIS lebih banyak menebar senyum saat berpapasan dengan kami. Kamipun tak lagi sungkan untuk bertegur sapa dengan mereka. Seharusnya memang begitu. Kita saling menghargai. Jangan merasa menjadi organisasi terhebat. Memang tidak salah jika kita merasa sangat memiliki organisasi itu. Namun jangan sampai sebuah organisasi menjadikan kita tersekat-sekat. Terpisah dengan strata organisasi.
Mulai hari itu semua terlihat begitu mesra. Anginpun mendayu pelan,dan perlahan. Semua begitu indah. Begitu damai. Walaupun kadang masih ada percikan api kecil,namun masih bisa cepat dipadamkan oleh angin.
Oleh Nurul Laili
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H