Mohon tunggu...
nurul hayati
nurul hayati Mohon Tunggu... Administrasi - Mother, Wife, Civilian servant

Willing to learn and a mentality player

Selanjutnya

Tutup

Hukum

RKUHP: Penyerangan Kehormatan Vs Kritikan

4 September 2019   09:21 Diperbarui: 19 September 2019   20:11 205
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

RUU KUHP yang akan disahkan oleh DPR sebelum akhir bulan September menuntut seluruh wakil rakyat di Republik ini untuk berpikir lebih matang lagi bagian apa saja yang perlu untuk dilakukan pengkajian ulang. Salah satu bagian yang menjadi sorotan sebagian besar masyarakat adalah ancaman hukuman pidana terhadap penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 218 ayat (1) menyebutkan "Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV."

"Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana  dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri" bunyi Pasal 218 ayat (2). Hukuman sebagaimana dimaksud pada Pasal 218 ayat (1) dan (2) akan diperberat ancaman pidananya bagi yang menyebarkan hinaan tersebut .

"Setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar , sehinngga terlihat oleh umum, atau memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV", demikian bunyi Pasal 219.

Munculnya ancaman pidana terkait penghinaan Presiden dan Wakil Presiden telah lama menuai perdebatan tidak hanya bagi kalangan masyarakat, juga di kalangan akademisi, politikus, dan sejumlah tokoh. Faktanya, kehadiran Pasal ini telah pernah digugat ke Mahkamah Konstitusi (MK) dan MK pun menerima gugatan yakni melakukan pencabutan pasal tersebut. Pencabutan pasal tentang menghina presiden oleh MK dinilai karena bertentangan dengan semangat demokrasi. Putusan Mahkamah Konstitusi No. 013-22/PUU-IV/2006 adalah bukti konkret pengakuan dari para hakim MK melalui putusannya tentang keberadaan ancaman hukuman pidana mengenai penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat Presiden dan Wakil Presiden tidak relevan dengan prinsip persamaan di depan hukum, mengurangi kebebasan mengekspresikan pikiran dan pendapat, kebebasan akan informasi, dan prinsip kepastian hukum.

Pertanyaannya, apa yang menjadi asbabun nuzul terhadap dimuatnya kembali Pasal ini dalam RKUHP? Apakah tatanan demokrasi kita telah berubah atau dimuat hanya karena sebatas kepentingan politis saja? Dan Bagaimana jika pasal ini resmi disahkan oleh para wakil rakyat?

Pertimbangan akan hak asasi manusia merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat pada diri manusia, bersifat universal dan lenggeng, dan oleh karena itu harus dilindungi, dihormati, dipertahankan dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh siapapun merupakan latar belakang diratifikasinya International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) oleh Negara Indonesia. Dengan adanya pengesahan ICCPR (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005 adalah sebuah instrument peraturan bagi Republik Indonesia sebagai Negara hukum untuk menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia yang menjamin persamaan di depan hukum dan bukti akan kemauan bangsa Indonesia secara terus menerus memajukan dan melindungi hak asasi manusia dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Ditinjau dari kewajiban bagi negara untuk menjamin terpenuhinya Hak sipil dan politik dibedakan menjadi dua bagian yaitu Non-Derogable Rights dan Derogable Rights. Non-Derogable Rights adalah hak-hak yang bersifat absolut yang tidak dapat dikurangi pemenuhannya oleh pihak manapun, walau dalam keadaan darurat sekalipun. Yang termasuk dalam bagian hak ini adalah hak atas hidup, hak bebas dari penyiksaan, hak bebas dari perbudakan, dan hak-hak yang paling mendasar lainnya. Sedangkan Derogable Rights adalah hak-hak yang boleh dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara. Salah satunya yang tergolong dalam Derogable Rights adalah hak kebebasan berpendapat.  

Kebebasan menyatakan pendapat tidak hanya sebatas penyampaian pandangan, opini, ataupun buah pikiran semata, termasuk juga kebebasan untuk mencari, menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun, terlepas dari pembatasan secara lisan, tertulis atau dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai dengan pilihannya (Pasal 19 ayat 2 UU No. 12 Tahun 2005). Namun demikian, pelaksanaan atas hak-hak ini menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus, maka dapat dikenai pembatasan oleh negara sepanjang diperlukan untuk: 

1. Menghormati hak atau nama baik orang lain; 

2. Melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau kesehatan atau moral umum (Pasal 19 ayat 3 UU No. 12 Tahun 2015). 

Pembatasan akan kebebasan menyatakan pendapat di era industri 4.0 ini telah diatur dalam UU No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik. Hadirnya peraturan perundang-undangan ini tidak lain bertujuan demi menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan demi memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan keamanan dan ketertiban umum. Demi untuk memberikan kepastian hukum, ketertiban dan keamanan dalam kebebasan berpendapat maka dalam UU tersebut juga telah diatur secara detail akan ancaman pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun dan/atau denda paling banyak Rp. 750.000.000,00 bagi orang yang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya infromasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan dan/atau pencemaran nama baik. Dengan adanya delik aduan absolut ini menjadikan peristiwa penghinaan dan/atau pencemaran nama baik hanya dapat dituntut apabila ada pengaduan dari yang dirugikan. Dan yang dapat dituntut adalah peristiwanya, maka semua orang yang bersangkut paut (melakukan, membujuk, membantu) dengan peristiwa itu harus dituntut.  

 

Sebagai penikmat dan penonton pesta demokrasi di Negeri ini, setidaknya terdapat 4 (empat) highlight yang menjadi cacatan jika Pasal ini tetap dimuat dalam RKUHP: 

Pertama, menjadikan kanker demokrasi di Negeri ini. Semangat dimunculnya kembali Pasal ancaman pidana bagi yang menyerang kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden menjadi seubah pertanyaan besar. Mengingat pernah dilakukan pencabutan oleh hakim MK akan keberadaan pasal ini. Tentu seharusnya pasal ancaman pidana atas penghinaan harkat atau martabat Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat kembali dimuat dalam RKUHP mengingat kehadiran Pasal ancaman pidana sebagaimana disebutkan diatas bertentangan dengan semangat demokrasi di Negeri ini. Jika tetap aakan disahkannya pasal ini tentu akan menuai kecacatan pada sistem demokrasi kita. Bagaimana tidak, seorang seniman yang mengekpresikan suasana bathinnya melalui tulisan atau gambar atas sejumlah penderitaan yang dialami rakyat sebagai dampak dari kebijakan produk Presiden dapat disuguhkan pasal ancaman hukuman pidana. Walau, saat ini dalih melakukan pembelaan bahwa ancaman pidana tidak dapat dengan mudah dilakukan begitu saja. Namun, yang menjadi kekhawatiran adalah tebang pilihnya aduan yang diajukan Presiden tidak terlepas dari conflict of interest. Mengingat, kehadiran Pasal ini dimunculkan khusus untuk melindungi kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden, tentu pasal ini nantinya menjadi jimat bagi pemegang kekuasan untuk berlindung dari kritikan atas kerugian kebijakan yang dihasilkan dan menjadi panah bagi lawan yang tajam dalam mempersoalkan setiap kebijakan yang dihasilkan.       

Kedua, mencedrai asas equality before the law. Asas persamaan di depan hukum dimaksudkan agar dalam penerapan sebuah peraturan atau hukuman tidak membeda-bedakan kepentingan siapa yang ingin dilindungi. Agar kebebasan berpendapat tidak bablas, menjadikan negara perlu untuk membatasi hak warga negera dalam menyatakan pendapat.  Negara pula yang mengeluarkan batasan tersebut melalui sebuah instrument hukum yaitu UU No. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik, dan UU No. 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas UU No. No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektornik. Hadirnya ancaman pidana bagi yang melakukan pencemaran nama baik dalam UU ini tentu dimaknai bahwa aturan tersebut berlaku bagi seluruh kalangan di Republik ini. Termasuk di dalamnya dimaksudkan untuk melindugi kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presien jika kita ingin mengenyampingkan kehadiran RKUHP. Sehingga, tanpa kehadiran ancaman pidana dalam RKUHP pun yang menuai ketidakpastian dalam penerapannya, sesungguhnya kebebasan berpendapat telah dibatasi oleh negara demi untuk menjaga kehrormatan, martabat bagi seluruh kalangan di negeri ini termasuk di dalamnya Presiden dan/atau Wakil Presiden. Sehingga, muatan pasal ancaman pidana bagi yang menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dirasakan tidak perlu.     

Ketiga, batasan yang belum jelas. Penyebutan ancanam pidana tertuju pada perbuatan menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden secara intrinsik masih belum jelas batasannya dengan kritikan dan seakan dipaksakan untuk dapat dimuat dalam RKUHP. Hal ini terbukti dari klausa pengecualian pada pasal selanjutnya, bahwa bukan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri. Ini menjadi absurd jika kita ingin membandingkan dengan penyampaian kritikan yang dilantorkan terhadap kebijakan Presiden yang merugikan rakyat Indonesia dan pastilah dinyatakan atas nama kepentingan umum. Tentu dapat menimbulkan penafsiran subjektif yang menimbulkan ketidakpastian hukum. Sebagai akibat, pasal ini menjadi ancaman bagi para penkritik kebijakan dan para akademisi yang memaparkan keilmuannya terhadap suatu kebijakan. Lantas, apa tujuan dimuatnya kembali pasal tersebut dalam RKUHP? 

Keempat, memberhalakan kepala negara atau kepala pemerintahan. Presiden adalah jabatan yang dihasilkan oleh proses politik. Sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan, Presiden memiliki hak dan kewajiban sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Dalam menjalankan urusan pemerintahan, Presiden dibantu oleh menteri-menteri. Tentu menjadi sebuah keniscayaan, setiap kebijakan yang ditorehkan oleh pemerintah menuai pro kontra, memiliki dampak positif dan negatif bagi berbagai kalangan, dan bisa menjadi orasi bagi koalisi atau bahkan menjadi perdebatan sengit bagi oposisi.  Terlepas dari berbagai kepentingan, hilir dari setiap kebijakan yang dihasilkan adalah demi kepentingan umum dan demi kepentingan rakyat Indonesia. Maka, jika terdapat kebijakan yang mengagungkan kalangan tertentu, dan merugikan kepentingan umum atau kepentingan rakyat pastilah kebijakan tersebut mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Sehingga, benang merah atas kritikan yang dilontarkan terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden adalah murni sebagai akibat dari kebijakan yang merugikan rakyat di Negeri ini. Maka jangan sampai kritikan yang dilontarkan terhadap pemangku jabatan diserang oleh ancaman pidana bagi yang menyerang kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden. Susunan frasa dalam Pasal ini yang masih sangat elastis menjadi jurus bagi penguasa untuk menangkis atas segala kritikan. Padahal, sejumlah kritikan yang ditujukan pada penguasa bermula dari hasil karya pemerintah yang merugikan kalangan tertentu. Justru, kritikan merupakan makanan sehari-hari pemerintah merujuk pada kursi jabatan yang diemban adalah sebagai pelayan rakyat. Sehingga rasa sensitifas dan emosional bathin yang menggoncang pada diri pemerintah bukanlah menjadi dasar dimuatnya kembali Pasal ini. Justru, dengan segala kritikanlah Pemerintah harusnya terus berbenah dan mengintropeksi diri apakah selama ini telah menjadi sebenar-benarnya pelayan rakyat atau malah menjadikan kursi jabatan merampas hak-hak rakyat? Karena kebenaran adalah mutlak milik Yang Maha Kuasa, dan kekeliruan atau kekhilafan adalah sifat manusia. Maka, jangan sampai dimunculnya kembali Pasal ini dalam RKUHP, terkesan sebagai ancaman keras bagi yang mengkritik kebijakan Pemerintah mengingat parameter penyerangan kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden tidak dapat terukur apalagi bersifat objektif ketika diterapkan.    

Usaha yang dikerahkan oleh para wakil rakyat di Senayan agar lahirnya sebuah peraturan tidak terlepas dari tujuan agar terciptanya suasana yang aman, damai, dan tertib. Namun, jika lahirnya sebuah peraturan justru akan menjadikan pemerintah bersembunyi di balik delik ancaman pidana atas kerugian dari kebijakan yang dihasilkan, saling serang-menyerang, dan  lapor-melapor, yang pada intinya tidak terciptanya kondisi masyarakat yang aman, damai, dan tertib tentu menjadi pertanyaan besar perlukah dimuatnya ketentuan Pasal ancaman pidana bagi yang menyerang kehormatan Presiden dan/atau Wakil Presiden?  Bagaimana menurut pandangan anda?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun