Mohon tunggu...
Nurul Jannah
Nurul Jannah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa universitas Sriwijaya

Membaca

Selanjutnya

Tutup

Parenting

Opini Masalah Gangguan Mental pada Anak yang Orang Tuanya Bercerai

10 November 2023   11:57 Diperbarui: 10 November 2023   12:17 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Parenting. Sumber ilustrasi: Freepik

Gangguan mental atau gangguan jiwa adalah penyakit yang memengaruhi emosi, pola pikir, dan perilaku penderitanya. Sama halnya dengan penyakit fisik, penyakit mental juga ada obatnya.

Keluarga merupakan suatu kelompok yang terdiri dari dua orang atau lebih yang terikat oleh ikatan darah, perkawinan, serta tinggal bersama. Dewasa ini proses sosialisasi didalam keluarga sudah mulai terganggu dengan adanya beberapa permasalahan, mulai dari adaya masalah perceraian, kematian, ataupun penyebab lainnya yang menimbulkan dampak ketidakharmonisan hubungan suatu keluarga. Single parent merupakan salah satu penyebab ketidak harmonisan keluarga, namun tidak semua keluarga yang dibina oleh single parent tidak harmonis (Jannah, 2018).

Perceraian seringkali berakhir menyakitkan bagi pihak-pihak yang terlibat, termasuk di dalamnya adalah anak-anak. Perceraian juga dapat menimbulkan stres dan trauma untuk memulai hubungan baru dengan lawan jenis. Menurut Holmes dan Rahe, perceraian adalah penyebab stres kedua paling tinggi, setelah kematian pasangan hidup (Taylor, 1998:24). Pada umumnya orangtua yang bercerai akan lebih siap menghadapi perceraian tersebut dibandingkan anak-anak mereka. Hal tersebut karena sebelum mereka bercerai biasanya didahului proses berpikir dan pertimbangan yang panjang, sehingga sudah ada suatu persiapan mental dan fisik. Namun tidak demikian halnya dengan anak, ia tiba-tiba saja harus menerima keputusan yang telah dibuat oleh orangtua, tanpa sebelumnya punya ide atau bayangan bahwa hidup mereka akan berubah.

Dampak Psikologis Anak Akibat Perceraian Orang Tua

  • Merasa tidak aman
  • Perihal rasa tidak aman (insecurity) ini menyangkut aspek financial dan masa depan, sebab seorang anak ini berpikiran bahwa masa depannya akan suram. Alasan ini timbul karena ia sudah tidak dapat perhatian lagi dari orang tuanya, baik perhatian secara materi maupun immateri sehingga tak bisa dipungkiri lagi saat anak mengalami masa remaja tidak akan menghiraukan lagi keluarga dan lingkungannya. Biasanya anak tersebut akan cenderung introvert (menutup diri) terhadap sosialnya sebab ia tidak merasa aman saat berada di lingkungan sosial dan ia menganggap lingkungannya adalah hal-hal yang negative yang bisa mengancam kehidupannya. Berdasarkan penelitian ini, para informan merasa dirinya kurang diperhatikan sebab orang tuanya sudah bercerai, tentu berpisah jarak dengan orang tua. Mengingat hal tersebut, anak akan merasa kurang mendapat perhatian kasih-sayang orang tuanya sehingga ia merasa dikhianatinya dan ihwal tersebut yang memeunculkan persepsi anak dengan lingkungannya; bahwa hal-hal yang lain di luar dirinya adalah membahayakan (negative). Mengutip teori Diane S. Berry and Jane Hansen (1996:806) ihwal hal positif mempengaruhi anak dalam melakukan interaksi-interaksi serta secara total melibatkannya di dalam aktivitas sosial dibanding melakukan hal-hal yang lain yang hanya mempengaruhi dirinya namun sebaliknya hal negative akan mempengaruhi anak dalam melakukan interkasi dan aktifitas sosialnya dan lebih melakukan hal-hal yang berhubungan dengan dirinya.
  • Adanya rasa penolakan dari keluarga
  • Anak korban dari keluarga bercerai merasakan penolakan dari keluarga sebab sikap orang tua berubah. Orang tuanya sudah memiliki pasangan yang baru (bapak tiri/ibu tiri) sehingga anak merasakan penolakan dan kehilangan orang tua aslinya. Di sini pasikologi anak tercerabut oleh tindakan orang tuanya yang bercarai. Keceriannya sudah terenggut hanya kesedihan yang terpagut. Dalam penelitian ini, informan merasakan rasa penolakan dari keluarga (pihak ayah maupun ibu) yang tidak lagi menganggap kehadiran (eksistensinya) sehingga anak sering mengalami skeptis terhadap dirinya dan memungkinkan anak untuk mengalami disorder personality (ketidakstabilan citra diri). Seperti yang dikemukan oleh Papalia, Olds & Feldman (2008:41), perceraian bukanlah suatu kejadian tunggal melainkan serangkaian proses yang dimulai sebelum perpisahan fisik dan berpotensial menjadi pengalaman stress dan menimbulkan efek psikologis yang buruk bagi anak.
  • Marah
  • Dengan adanya perceraian seorang anak seringkali emosinya tidak terkontrol dengan baik sehingga mereka sering kali marah yang tidak karuan, banyak teman dekat yang menjadi sasaran amarahnya. Perihal ini dampak psikologis anak yang memiliki sifat temperamen; mudah marah karena emosinya tidak terkontrol. Ini disebabkan karena pengalamannya yang sering melihat ayah-ibunya bertengkar, pada masa proses perceraian.
  • Amarah dan agresif merupakan reaksi yang lazim dalam perceraian, hal itu terjadi bila orang tuanya marah di depan anaknya. Akibatnya, anak biasanya akan menumpahkan amarahnya kepada orang lain, karena tingkah laku seorang anak akan mengikuti orang tuanya. Bukan cuma psikisnya terganggu akan tetapi perilakunya juga ikut berubah, hal itu akan mengakibatkan si anak akam suka mengamuk, menjadi dan tindakanya akan menjadi agresif, menjasi pendiam, tidak lagi ceria, suka murung dan tidak suka bergaul kepada teman-temannya. Rata-rata informan dalam penelitian mengalami psikologis seperti itu. Sebagaimana ungkapan Papalia, Olds & Feldman (2008:45) sifat marah (temperamen) anak yang menjadi korban perceraian dari keluarganya akan selalu terekam oleh pikiran bawah sadarnya karena perilaku orang tuanya yang sering bertengkar di depan anak, dan mengakibatkan anak mempunyai temperamen yang sulit dikendalikan.
  • Sedih
  • Seorang anak akan merasa nyaman dengan orang tuanya yang harmonis namun sebaliknya ia akan bersedih jika orang tua mereka berpisah atau bercerai dan saat sudah remaja merasa kehilangan. Anak-anak yang orangtuanya bercerai menampakkan beberapa gejala fisik dan stres akibat perceraian tersebut seperti insomnia (sulit tidur), kehilangan nafsu makan yang semuanya itu berasal dari kesedihan yang yang dialaminya. Sebab fase anak yang berumur 6-17 tahun merupakan fase belajar menyesuaikan diri dan lingkungannya. Namun, perceraian orangtua tetap menorehkan luka batin yang menyakitkan bagi mereka. Sehingga anak tersebut menjadi 'penyedih' atas apa yang dilakukan oleh orang tuanya; yang bercerai.
  • Kesedihan yang muncul bagi anak yang menjadi korban perceraian keluarganya antara lain; orang tua sudah tidak menghiraukan anaknya lagi dan biasanya anak tersebut di asuh oleh kakek/nenek dari pihak ayah atau ibu. Dengan begitu, sangat wajar sekali, anak akan merasa sedih dengan yang dialaminya. Kesedihan yang dialami anak-anak akan berpengaruh terhadap kehidupannya di masa mendatang. Kesedihan yang dialami anak akan berdampak pada interaksi sosialnya, yang mana anak-anak tersebut akan mengalami masa trauma di kehidupan remajanya, misalnya malu (minder) dengan teman sejawatnya ataupun dengan lain jenis. Perihal ini dibenarkan dengan teori yang dikemukakan oleh Bird dan Melville (1994:65), anak yang orang tuanya bercerai merasa malu bahkan sedih, karena anak merasa berbeda dari teman-temannya yang lain. Kondisi tersebut dapat merusak konsep pribadi anak yang sering diikuti dengan depresi, sedih yang berkepanjangan, marah, adanya rasa penolakan, merasa rendah diri, dan menjadi tidak patuh dan cenderung agresif terhadap sosialnya.
  • Kesepian
  • Seorang anak tentunya akan merasa kesepian tanpa ada belaian kasih sayang dari kedua orang tuanya. Seorang anak sangat membutuhkan belaian dan bimbingan orang tuanya untuk masa selanjutnya. Misalnya anak yang baru menempuh pendidikan sekolah dasar, biasanya anak membutuhkan oarng tuanya untuk membimbingnya dalam mengerjakan tugas. Tapi berbeda, dengan anak yang ditinggalkan oleh kedua orang tuan yang bercerai, anak tersbeut akan merasa kesepian, meskipun anak tersebut di asuh oleh handai-taulan dari pihak ayah/ibu, bahkan diasuh oleh salah satu pihak: ayah atau ibu, sebagai single parent.
  • Menurut ungkapan informan, dalam penelitian ini, kesepian ini timbul karena orang tuanya tak pernah memperhatikannya, meskipun anak mendapat perhatian dari saudaranya, yang mengasuhnya, ia merasa perhatian itu hanya sebatas klise, tidak berpengaruh secara signifikan psikologi anak. Seperti yang diungkapkan oleh Papalia, Olds & Feldman (2008:54) kesepian (loneliness) bagi anak yang menjadi korban perceraian yang dilakukan oleh orang tuanya karena beberapa faktor, antara lain:
  • Orang tua tidak lagi menghiraukan perilaku dan perkembangan anaknya, sebab ia lebih mementingkan egonya dalam mencari pasangan hidup selanjutnya.
  • Tidak ada lagi perhatian yang dicurahkan pada anak karena masing-masing pihak (ayah/ibu) lebih memperdulikan egoismenya masing-masing untuk segera melakukan perceraian.
  • Banyak orang tua mendiskreditkan anak dari hasil hubungannya dengan mantan pasangannya, sehingga ia berpikir bisa mendapatkan sosok pengganti anak dengan pasangan yang baru (selanjutnya).
  • Menyalahkan diri sendiri
  • Perasaan menyalahkan diri sendiri merupakan gejala disorder personality, yang mana faktor tersebut dipengaruhi oleh rasa tidak aman, adanya rasa penolakan dari keluarga, mudah marah/temperamen, sedih yang berkepanjangan dan merasa kesepian dan semua faktor ini diakibatkan dari pola asuh yang salah. Sebab dalam pola asuh ada tiga golongan yang kuat dalam menentukan karakter anak, salah satunya adalah significant others yaitu orang tua dan saudara yang menjadi faktor utama dalam pola pengasuhan anak.
  • Lebihnya lagi, apabila golangan significant others salah dalam mengasuh anak, misalnya perceraian dilakukan saat anak masih belum menginjak dewasa, seperti yang dialami oleh informan dalam penelitian ini, maka akan berdampak pada psikologi anak misalnya anak akan sering murung dan sering berfikir sehingga banyak diam dan melamun, jarang berkomunikasi (rigorously communication) dengan orang lain, tidak nyaman berada di tengah komunitas sosialnya. Sehingga perasaan menyalahkan diri sendiri akan selalu dialaminya. Akhirnya, tak bisa dielakkan lagi, anak yang sering mengalami perasaan menyalahkan dirinya sendiri akan berdampak buruk terhadap psikologinya, yakni bisa menyebabkan gangguan psikologi, seperti bipolar (kepribadian ganda), schizophrenia, fobia dsb. Hal senada juga diungkapkan oleh Taylor (1998:64) anak yang selalu menyalahkan diri sendiri akan berakibat pada gangguan psikologinya, sebab menyalahkan diri sendiri (badly image) merupakan awal mula gangguan psikologi yang berbahaya.

Opini dibuat oleh :

NAMA : NURUL JANNAH

NIM : 06151282126028

MK : PATOLOGI SOSIAL

Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun