Saat aku mengaduh. Pedulimu selalu merengkuh. Saat aku bersedih. Hadirmu yang mengakhiri. Saat aku menangis. Lembut kamu usap dengan jemari. Saat aku terpuruk. Kamu siap untuk menghibur.Â
Sekarang kamu pergi. Kamu bilang tak ingin buat aku sedih. Mana bisa kayak begini ? Aku sakit tanpa kamu di sini. Aku bagai burung dengan satu sayap. Tak bisa terbang jauh, mengepak pun susah.Â
Aku pergi untuk kembali. Tak lama, sekejab saja untuk meraih mimpi. Janji, itu katamu sebelum pergi. Lalu kecupan lembut mendarat di pipi. Wait for me, honey !, bisikmu mesra sekali.
Sepuluh purnama terlewati. Tak ada angin membawa berita. Tak ada wa, apalagi video call. Apa kamu lupa ? Janji setia yang terucap, tidakkah kamu tepati ?Â
Begitulah bibir manis manusia. Berharap padanya sering kali dapatkan luka. Apa kamu juga sama ? Hatiku ingin menolak. Tapi faktanya ?
Hingga ketika hari itu tiba. Oktober malam, hari ke enam belas. Sesalku karena telah berburuk sangka. Kamu datang membawa angin surga. "Aku putus kamu sebagai pacar, aku pinta kamu sebagai teman......teman hidup selamanya, belahan jiwa, mama dari putra putri kita".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H