Pendahuluan
Kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada tahun 2025, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), merupakan kebijakan strategis pemerintah Indonesia. Langkah ini bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara, memperluas basis pajak, dan mendukung keberlanjutan fiskal pasca-pandemi COVID-19. Namun, kebijakan ini telah memicu perdebatan publik karena dinilai memberatkan masyarakat kelas menengah ke bawah. Sebagian pihak menilai bahwa kebijakan ini memperburuk kesenjangan sosial dan menguntungkan kelompok elit ekonomi yang tetap terlindungi dari beban pajak progresif. Pajak merupakan salah satu instrumen utama dalam menjaga stabilitas keuangan negara, terutama dalam konteks pemulihan ekonomi setelah pandemi COVID-19 yang telah melemahkan perekonomian global. Dalam beberapa tahun terakhir, Indonesia mengalami peningkatan defisit anggaran yang signifikan akibat penurunan penerimaan negara dan peningkatan belanja untuk penanganan pandemi. Menurut data Kementerian Keuangan, pada tahun 2020, defisit anggaran mencapai 6,14% dari PDB, jauh di atas batas maksimal yang ditetapkan dalam Undang-Undang Keuangan Negara sebesar 3%. Oleh karena itu, pemerintah menganggap peningkatan tarif PPN sebagai salah satu langkah penting untuk memperkuat posisi fiskal dan memastikan keberlanjutan pembangunan.
Namun, kenaikan PPN juga memiliki implikasi sosial-ekonomi yang tidak dapat diabaikan. Kebijakan ini menambah beban pada konsumsi masyarakat, terutama mereka yang berada di kelas menengah dan menengah ke bawah, yang pengeluarannya lebih sensitif terhadap perubahan harga. Pajak jenis ini bersifat regresif, di mana persentase beban pajak terhadap pendapatan cenderung lebih tinggi pada kelompok pendapatan rendah dibandingkan kelompok pendapatan tinggi. Hal ini menimbulkan kekhawatiran mengenai dampak kenaikan tarif PPN terhadap ketimpangan sosial dan keadilan ekonomi.
Selain itu, keputusan untuk menaikkan tarif PPN juga memunculkan pertanyaan mengenai prioritas kebijakan fiskal pemerintah. Di satu sisi, terdapat upaya untuk meningkatkan basis penerimaan negara, tetapi di sisi lain, langkah ini diambil tanpa diiringi dengan optimalisasi pajak progresif terhadap kelompok kaya dan korporasi besar. Hal ini memunculkan kritik bahwa kebijakan tersebut lebih menguntungkan kelompok elit yang memiliki akses dan pengaruh lebih besar dalam menentukan arah kebijakan fiskal.
Pembahasan
Dampak Kenaikan PPN pada Konsumsi dan Ketimpangan Sosial
Sebagai pajak tidak langsung, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dikenakan pada konsumsi masyarakat, sehingga setiap individu yang membeli barang atau jasa harus membayar tambahan biaya di atas harga pokok. Karakteristik regresif PPN membuat beban pajak secara proporsional lebih berat dirasakan oleh kelompok berpendapatan rendah. Hal ini disebabkan kelompok miskin menghabiskan sebagian besar pendapatan mereka untuk kebutuhan pokok, seperti makanan, bahan bakar, dan kebutuhan rumah tangga lainnya. Studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) dari FEB UI menunjukkan bahwa rumah tangga miskin menghadapi peningkatan pengeluaran sebesar 0,86%, sementara rumah tangga kaya hanya sebesar 0,71%. Meski selisih angka ini tampak kecil, dampaknya signifikan. Dengan daya beli yang terbatas, kenaikan harga akibat PPN memaksa kelompok miskin mengurangi konsumsi kebutuhan dasar, sementara kelompok kaya relatif tidak terpengaruh secara signifikan karena memiliki cadangan finansial lebih besar.
Perbandingan internasional menunjukkan bahwa tarif PPN Indonesia sebenarnya masih rendah dibandingkan Jepang dan Korea Selatan yang menerapkan tarif 10%. Namun, kedua negara tersebut memiliki sistem jaminan sosial yang jauh lebih baik. Redistribusi pajak di negara-negara ini digunakan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan jaminan sosial yang berkualitas. Sebaliknya, di Indonesia, alokasi anggaran untuk sektor penting seperti kesehatan dan pendidikan hanya sekitar 3,5% dan 2,8% dari Produk Domestik Bruto (PDB), mencerminkan lemahnya perhatian terhadap kebutuhan masyarakat rentan. Selain itu, penerimaan dari kenaikan PPN di Indonesia sering kali digunakan untuk menutupi defisit anggaran tanpa alokasi khusus untuk program redistribusi. Akibatnya, kelompok miskin tidak mendapatkan manfaat langsung dari pajak yang mereka bayarkan. Ketimpangan sosial semakin diperburuk dengan kurangnya strategi redistribusi fiskal yang efektif.
Kenaikan PPN juga berisiko meningkatkan inflasi karena produsen dan distributor cenderung meneruskan beban tambahan ke konsumen melalui harga barang yang lebih tinggi. Dalam situasi ekonomi pasca-pandemi, di mana daya beli masyarakat masih tertekan, kebijakan ini dinilai kurang tepat waktu dan berpotensi menambah beban bagi kelompok rentan. Untuk mengatasi hal ini, pemerintah perlu mempertimbangkan optimalisasi pajak progresif terhadap kelompok kaya dan meningkatkan alokasi anggaran pada sektor kesehatan dan pendidikan guna meminimalkan dampak negatif kebijakan ini.
Legitimasi Pemerintah di Mata Publik
Kebijakan kenaikan PPN ini juga memiliki dampak politik yang signifikan. Banyak pihak memandang keputusan ini sebagai bukti kurangnya perhatian pemerintah terhadap kebutuhan dasar rakyat. Di tengah banyaknya tantangan ekonomi pasca-pandemi, langkah ini dinilai tidak tepat waktu dan lebih mencerminkan fokus pemerintah pada peningkatan penerimaan negara tanpa memperhatikan dampak sosial.