Malam ini menjelang beranjak ke tempat tidur saya mengajak anak saya membaca, dia yang memilihkan buku untuk dibaca. Pilihannya jatuh pada salah satu edisi majalah balita. Halaman demi halaman dibaca sampai kemudian tiba pada suatu halaman tentang cerita tak berurutan. Cerita tersebut terdiri dari empat gambar yang disertai deskripsi. Saya meminta anak saya untuk menentukan urutan cerita tersebut. Untuk posisi pertama ia menunjuk gambar seorang anak sedang memancing di danau bersama ayahnya, seharusnya menurut saya gambar pertama bukan yang itu tapi saya membiarkannya dengan meminta dia melanjutkan memilih gambar untuk urutan kedua. Dia memilih gambar seorang anak yang mengambil ikan hasil tangkapannya dari kail, untuk urutan ketiga ia memilih gambar seorang anak tengah berjalan bersama ayahnya yang membawa peralatan pancing plus kantung ikan yang masih kosong. Gambar yang dia anggap urutan tiga seharusnya jadi nomor satu. Saya kemudian bertanya, “Tadi di nomor 2 kan sudah dapat ikan, terus ini di nomor tiga kantong ikannya kok kosong ya?” Dia langsung berujar, “Oh, kalau gitu berarti gini Bunda, yang ini nomor satu, ini dua, tiga dan ini empat” sambil menunjukkan urutan yang benar.
Sebenarnya ketika anak saya menunjukkan gambar yang kurang tepat untuk urutan pertama, ingin sekali saya memberi tahu bahwa jawabannya belum tepat, namun Alhamdulillah saya bisa mengeremnya karena hari ini saya baru saja (jadi masih nempel, hehe…) membaca chapter 1 “Understanding and Developing Science Teacher’s Pedagogical Content Knowledge” yang ditulis Amanda Berry dkk . Inti dari chapter tersebut yang saya tangkap adalah teaching itu bukan telling semata, teaching sebenarnya adalah membuat anak jadi belajar. Namun kenyataannya guru/orang tua belum merasa telah melakukan teaching kalau belum telling. Memang dengan telling rasanya waktu yang diperlukan tidak terlalu banyak, namun apakah anak mengalami proses belajar optimal? Anak/siswa sebenarnya bisa belajar lebih banyak dari sekedar mendengarkan. Dengan membiarkannya menemukan konsep sendiri sebenarnya memberikan peluang yang lebih besar kepada anak untuk menggali kemampuan high order thinkingnya bukan hanya mengingat meskipun bisa jadi dengan cara seperti ini anak akan lebih mudah mengingat daripada sekedar diberi tahu. Memang waktu yang diperlukan menjadi sedikit lebih dan tentu diperlukan kesabaran ekstra.
Dalam pembelajaran, tidak berarti tidak boleh ada telling. Metode yang digunakan tentunya perlu disesuaikan dengan konsep atau skill yang diharapkan serta karakteristik anak yang tengah belajar. Hmm…PR bagi guru dan orang tua untuk senantiasa belajar untuk membuat anak belajar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H