Mohon tunggu...
Nurul P
Nurul P Mohon Tunggu... pegawai negeri -

learner

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Melihat Agnes Monica dari Looking Glass Self Theory

2 Oktober 2013   15:37 Diperbarui: 4 April 2017   17:15 3115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Teori ini dilontarkan oleh sosiolog bernama ‘Charles Harton Cooley’. Looking Glass Sels adalah teori yang menerangkan bahwa masyarakat memiliki apa yang disebut dengan ‘cermin’ yang merefleksikan siapa diri kita ini. Kita ini ternyata membentuk image diri (self image) dari bagaimana kita memikirkan cara pandang orang lain terhadap kita. Ada tiga hal utama yang menjadi kata kunci pembahasan teori ini pertama adalah bayangan tentang penampilan kita dihadapan orang lain, bayangan tentang penilaian orang lain terhadap penampilan kita dan perasaan-perasaan yang mengikutinya seperti malu, bangga, gengsi, dll.

Oke agar lebih mudah, mari kita coba terapkan dalam contoh. Saya akan mencontohkan tentang seorang teman yang merasa dirinya dianggap lucu oleh teman-temannya. Self image lucu menyebabkan dia selalu melucu saat di kelas. Seorang yang merasa orang lain menganggapnya pintar maka dia akan bertindak selayaknya orang pintar. Misalnya saja saat dia berdiskusi tentang suatu topik maka dia akan bertingkah seolah tau segalanya, meski mungkin baru pertama kali mendengarnya.

Self image yang dibentuk dalam proses ini sebenarnya sangat berpengaruh pada interaksi kita dengan orang lain, baik itu dengan orang terdekat, teman, kelompok maupun masyarakat. Yang menjadi masalah adalah suatu situasi dimana ada perbedaaan pandangan tentang self image antara orang yang bersangkutan dengan orang-orang disekitarnya. Misalnya saja, A memiliki self image bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar di kelas hingga memunculkan tindakan dimana dia sering bertanya kepada guru. Baginya tingkah laku itu mengukuhkan bahwa dia adalah siswa yang aktif dan pintar, namun menurut teman-temannya ternyata justru tingkah yang menyebalkan.

Nah sekarang saatnya melihat Agnez Monica dengan teori ini. Kenapa AgnezMo? Tak ada sebabnya, hanya sepertinya dia yang paling cocok dan menarik bagi saya untuk menjadi contoh dalam kasus ini. Agnez, penyanyi bertalenta ini saat ini sedang menilai orang lain mengangapnya sebagai penyanyi berbakat yang bisa tembus di pasar Amerika (Go Internasional). Sebaliknya ia juga merasa orang lain sedang meremehkan bahwa dirinya tidak akan bisa bersaing dengan penyanyi internasional. Motivasinya yang kuat mendorong dia untuk memilih anggapan masyarakat yang pertama yaitu dia bisa go internasional. Ada yang disebut hater yang ternyata memang seringkali menganggunya untuk mencapai cita-citanya ini. Interaksinya dengan hater inilah yang disebut dengan kegagalan pembentukan self image. Sementara interaksinya dengan fans dilandasi self image yang selaras. Secara tidak sadar, Agnez saat ini sedang bercermin dengan pandangan hater dan fans, bukan diri sendiri.

Lalu bagaimana seharusnya? Membentuk self image yang baik memerlukan kecermatan, intuisi bahkan kecerdasan emosi yang baik, dan strategi yang rumit. Tidak asal terjang. Ada yang memilih aman dengan sifat-sifat down to earth. Tentunya yang dimaksud dengan kesuksesan menjalankan teori ini adalah saat interaksi sosial kita berlangsung mulus. Semua dipadukan hingga akhirnya self image yang terbentuk selaras yang artinya mendapatkan tanggapan positif baik itu dari diri kita sendiri maupun dari orang lain. Self image bisa kita rubah dan stel sesuai dengan kebutuhan kita dengan menyesuikan dengan tempat, norma dan budaya yang ada.

Kalau Agnez menurut saya kurang hati-hati dalam membentuk self image yang elegan. Berbagai langkah yang diambilnya kadang terlalu ambisius; ekspresi berlebihan (terutama lewat sosial media); sering berfoto dengan artis-artis internasional namun cerita kedekatannya hilang sehingga yang muncul adalah anggapan penolakan duet dengan Agnez. Yang mungkin tak terpikirkan masyarakat awam adalah pemasaran lagu nya yang obral murah - mungkin takut tidak laku. Lagunya Coke Bottle dijual 0.99 dollar jauh dibawah lagu lokal yang bisa mencapai hampir 2 dollar. Album dalam negeri terbarunya  dijual di Indomart dengan hadiah voucher Rp500.000,- . Langkah copy-cat nya terhadap Britney Spear, Christina A, hingga Beyonce dan Alicia Keys. Atau ambisinya memenangkan Shorty Award  – yang hanya diukur dari banyaknya dukungan dari twitter – sementar saat penyerahan penghargaan di New York, audience nampak kebingungan mengenali siapa itu Agnez dan kenapa dia menang. Bagaimana tidak menang? Karena Indonesia adalah salah satu negara pengguna twitter terbesar di dunia.

Seperti yang saya bilang tadi, membentuk self image dan bermain dengan mirror sama dengan bermain seni. Kita tak jarang harus mempertimbangkan nilai, norma dan budaya tempat kita berinteraksi sosial. Kalau dikontraskan dengan Agnez ya mungkin Anggung C Sasmi. Dia tidak heboh (hiperaktif) namun tahu-tahu terdengar kabar dia menjadi artis di Eropa. Orang Indonesia khususnya Jawa lebih cocok dengan manuver Anggun yang rendah hati, menjadi diri sendiri dan yang pasti tetap memiliki identitas yang konsisten dengan budayanya.

Okay, itu hanya salah satu contoh saja, masih banyak obyek lain yang bisa diteliti dengan teori ini. Didunia maya mungkin bisa kita terapkan pada bagaimana kita mencoba merepresentasikan self-image kita di sosial media melalui postingan yang kita buat. Misalnya saja, seseorang membentuk self image sebagai orang yang sukses dengan memposting setiap kegiatan yang dia ikuti hampir setiap 5 menit sekali. Maka tidak selalu demikian pandangan followernya karena aka nada yang beranggapan bahwa dia sombong, lebay, kurang kerjaan dan lain sebagainya.

Sepertinya teori ini juga terkait dengan Dramaturgi (Ervin Goffman) yang menyatakan bahwa tindakan manusia memuliki dua sisi yaitu front stage dan back stage. Self image bisa jadi adalah front stage yang ingin diperlihatkan kepada orang lain. Mungkin juga terkait dengan teori psikoanalisis Sigmund Freud tentang id, ego dan superego. Menarik kalau meneliti penggabungan teori ini, ataupun penerapannya pada dimensi sosial yang selama ini belum banyak diteliti seperti dalam interaksi di sosial media, bbm dll.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun