Setiap wajib pajak baik orang pribadi atau badan tentunya ingin diperlakukan secara adil dalam pemajakan atas penghasilan yang diperoleh nya. Namun, pada realitanya pemberian imbalan atas pekerjaan, jasa, kegiatan dan transaksi lain-lain tidak serta merta diberikan dalam bentuk uang (cash), ada juga yang diberikan dalam bentuk non cash seperti barang, fasilitas, pelayanan dan lain sebagainya. Biasanya pegawai yang memiliki jabatan tinggi, selain menerima imbalan dalam bentuk uang juga menerima imbalan selain uang seperti fasilitas rumah, mobil, apartemen, olahraga mewah dan lain-lain, yang mana atas pemberian imbalan dalam bentuk barang tersebut bukan merupakan objek pajak penghasilan (sebelum berlakunya UU HPP beserta turunannya). Adanya perbedaan tersebut menjadi pemicu adanya rasa ketidakadilan diantara para wajib pajak.
Richard Musgrave dan Peggy Musgrave dalam kutipannya menyatakan bahwa suatu sistem pajak dikatakan adil apabila setiap orang membayar pajak sesuai dengan kemampuanya, sehingga setiap orang yang memiliki pendapatan yang sama antara satu dengan lainnya dapat membayar jumlah pajak yang sama, yang mana hal ini disebut juga keadilan horizontal dan orang yang mempunyai pendapatan yang lebih membayar pajak lebih besar atau biasa disebut keadilan vertical. Pada prinsipnya, dalam hal pembebanan pajak seharusnya dapat dilakukan secara adil, yang dengan meninjau lebih lanjut penghasilan yang diperoleh masing-masing wajib pajak. Hal tersebut menjadi salah satu pemicu dari terbitnya PMK 66/2023 yang mengatur sistem pajak untuk Natura dan/atau Kenikmatan. Lalu apakah dengan terbitnya PMK 66 terkait pemberlakukan pajak atas natura dan/atau kenikmatan dapat mencapai tujuannya untuk mencapai keadilan pemajakan pada sisi pemberi maupun penerima?
Natura dan Kenikmatan, apa perbedaannya?
Natura adalah imbalan dalam bentuk barang selain uang sedangkan Kenikmatan adalah imbalan dalam bentuk hak atas pemanfaatan suatu fasilitas dan/atau pelayanan.
Aturan dan Perjalanan Pajak Natura/Kenikmatan
Sebelum terbitnya PMK 66/2023, pajak natura dan/atau kenikmatan ini sudah menjadi pembahasan sejak lama karena banyaknya gray area, sehingganya banyak Undang-Undang maupun turunannya yang mengatur perihal ini. Secara singkat, pada Oktober 2021, Pemerintah menerbitkan UU HPP No. 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, yang di dalam beleid tersebut menjelaskan beberapa hal terkait dengan Natura/Kenikmatan sbb:
- Imbalan dalam bentuk Natura dan/atau Kenikmatan merupakan objek pajak penghasilan
- Terdapat imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan yang dikecualikan dari objek pajak penghasilan
- Imbalan dalam bentuk natura dan/atau Kenikmatan merupakan biaya fiscal (deductible expenses)
- Adanya penghapusan yang sebelumnya atas Natura dan/atau Kenikmatan merupakan non deductible expenses kini menjadi deductible expenses
Kemudian tanggal 20 Desember 2022 pemerintah menerbitkan aturan turunan dari UU HPP yaitu PP 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Setelah banyak isu yang diperbincangkan karena terbitnya aturan terkait, akhirnya pada tanggal 27 Juni 2023 diundangkan aturan pelaksana dari UU HPP & PP 55/2022 yakni PMK No 66 Tahun 2023. Pada PMK 66/2023 yang mulai diimplementasikan pada 1 Juli 2023 ini dijelaskan rincian dari Batasan tertentu atas natura/kenikmatan yang dikecualikan dari pengenaan objek pajak penghasilan. Implementasi atas PMK ini mendorong pemberi natura dan/atau kenikmatan wajib melakukan pemotongan PPh atas pemberian tersebut yang nilai nya sudah melebihi batasan tertentu, mulai tanggal 1 Juli 2023. Sedangkan pemberian natura dan/atau kenikmatan untuk masa Januari sampai Juni 2023 yang merupakan objek pajak bagi penerima, wajib dihitung, dibayar sendiri dan dilaporkan dalam SPT Tahunan PPh Orang Pribadi Tahun Pajak 2023.
Dampak Penerapan Pajak Natura/Kenikmatan
- Adanya kesetaraan dan keadilan diantara wajib pajak karena Imbalan dalam bentuk natura/kenikmatan menjadi objek pajak penghasilan. Hal ini juga dapat mengurangi ketimpangan sebab umumnya pegawai yang berpenghasilan tinggi menerima natura/kenikmatan yang lebih besar dibandingkan dengan pegawai lainnya.
- Adanya penerapan pajak natura/kenikmatan dapat memberikan kepastian hukum bagi pemberi natura/kenikmatan, bahwa atas biaya yang dikeluarkan tersebut sepanjang merupakan biaya untuk mendapatkan, menagih dan memeliharasa (3M) usaha dapat menjadi deductible expenses. Maksud dari prinsip taxable-deductible, apabila suatu penghasilan dapat dipajaki bagi pihak yang menerimanya, maka atas pengeluaran penghasilan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya oleh pihak yang mengeluarkannya.