“Sampah” adalah salah satu masalah lingkungan yang sampai saat ini dialami oleh hampir seluruh wilayah, tapi tidak semua wilayah menjadi “tempat pembuangan sampah” dan laut bukan tempat sampah. Seperti yang sedang dialami masyarakat pesisir Kampung Warwanai dan kehidupan biota laut di perairan Raja Ampat.
Memiliki hampir 75% terumbu karang dunia, lebih dari 1.000 jenis ikan, dan 700 jenis moluska, Raja Ampat diakui sebagai perairan dengan flora dan fauna terlengkap di dunia dan mendapatkan julukan “surga bawah laut yang jatuh ke bumi” (Indonesia Kaya, 2020). Selain kehidupan bawah laut, Raja Ampat juga dikelilingi oleh empat pulau yaitu Misool, Salawati, Batanta dan Waigeo dengan hampir 117 kampung salah satunya Kampung Warwanai di bagian Waigeo Utara (Pemkab Raja Ampat, 2023) .
Dari Surga Lautan Dunia berisiko Jadi TPA
Dibalik julukan “Laut Terindah di Dunia”, terdapat salah satu kampung sangat terpencil di pesisir Raja Ampat yaitu Kampung Warwanai. Kampung yang belum terjamah listrik hingga fasilitas pengelolaan sampah. Dengan keterbatasan, masyarakat Kampung Warwanai melakukan jalan ninja untuk membuang sampah ke laut atau menggali pasir untuk tempat bakaran sampah sebagai tempat akhir pengelolaan sampah. Ironisnya, kampung lain di pesisir dan pengunjung perairan Raja Ampat juga menjadikan laut Raja Ampat sebagai Tempat Pembuangan Akhir Sampah.
Dari pernyataan remaja putri asli Raja Ampat, Martha Suruan menjelaskan “masyarakat Kampung Warwanai membuang sampah ke laut karena tidak ada tempat pembuangan sampah dari pemerintah setempat dan tidak ada diberikan edukasi ke masyarakat untuk mengolah sampah dengan benar”. Martha juga menegaskan bahwa sebagian masyarakat kampung sudah berhenti buang sampah di laut, tapi sampah di laut tetap ada karena sampah dari kampung lain di pesisir Raja Ampat terbawa gelombang air laut hingga mengotori Kampung Warwanai (Polluted Paradise, 2023). Pernyataan ini juga dibuktikan dalam penelitian distribusi mikroplastik di laut Manokwari oleh Osorio, dkk (2022) menunjukkan bahwa sebagian besar mikroplastik yang terdapat dalam sedimen dapat terbawa dari tempat lain dan sampai di lokasi pesisir melalui pasang surut, gelombang, dan arus.
Lain halnya dengan Bapak Siel Suruan, seorang nelayan Kampung Warwanai yang merasa khawatir adanya sampah yang ikut berenang dengan ikan di laut. Berbagi pengalaman saat menyelam mencari ikan, Bapak Siel tidak jarang mendapat ikan jenis baru yaitu sampah mengapung di perairan Raja Ampat. Jika ini terus-terusan terjadi, lautan yang menjadi lokasi mata pencaharian para nelayan akan beralih fungsi menjadi tempat pembuangan akhir sampah.
“Sebelum meninggalkan lautan, saya berusaha untuk mengambil sampah yang mengapung di laut sekitar tempat saya memancing tapi tidak mungkin saya lakukan di setiap titik lautan karena laut Raja Ampat ini luas sekali dan tidak bisa saya kutip semua sampahnya” ungkap Bapak Siel (Polluted Paradise, 2023).
Sampah di Darat Bahaya, Sampah di Laut Bencana
Faktanya saat ini lebih dari 8 juta ton sampah plastik dibuang ke laut setiap tahunnya dan lebih dari 70% sampah plastik yang berada di perairan berasal dari aktivitas manusia di daratan, termasuk melalui sungai dan pantai yang tidak di kelola dengan baik (BRIN, 2024).
Berdasarkan narasi video dokumenter Polluted Paradise, terdapat pernyataan Peneliti Pusat Riset Oseanografi BRIN Prof. Muhammad Reza Cordova yang menyatakan bahwa sampah yang masuk ke laut bukan hanya mempengaruhi keindahan laut tapi juga kehidupan biota laut dan kesehatan manusia. Sampah mikroplastik yang ada di laut bisa termakan oleh ikan dan menyerang saluran pencernaan dan pernapasan. Polutan lain yang terkandung didalam mikroplastik yang termakan oleh ikan, akan menyebabkan gangguan kesehatan pada manusia jika mengkonsumsi ikan yang tercemar mikroplastik. Selain itu, sampah dari daratan yang dibuang ke laut menjadi lebih berbahaya dan sulit diatasi. Adanya gelombang air laut yang tidak dapat dikendalikan akan membawa sampah di laut dari satu tempat ke tempat lain atau dengan kata lain Transboundary Debris “Sampah Lintas Batas”. Seperti yang dialami Kampung Warwanai dan daerah sekitar pesisir Raja Ampat (Polluted Paradise, 2023).