Mohon tunggu...
Nurul Hanifah
Nurul Hanifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Menulis adalah pelarian. Pelarian yang membuatku terlalu nyaman dengannya dan tak ingin beranjak darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Kamu Tidak Harus Kuat (Sekarang)

21 Juli 2024   22:50 Diperbarui: 21 Juli 2024   23:05 23
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Seperti menonton film, saya dapat melihat diri saya terhuyun sambil bergegas menghadap atasan saya. Suara telepon beberapa menit lalu membuat jantung saya berdetak lebih cepat dari biasanya. Tangan saya yang gugup hampir saja menjatuhkan gagang telepon dari tempat seharusnya. Saya berpikir apakah saya akan pingsan hanya karena dering telepon yang seolah terlalu nyaring hingga memenuhi kepala saya itu? 

Saya berjalan lebih cepat dari biasanya. Saya tidak peduli bagaimana mata orang lain di sekitar saya, memandang seorang perempuan dengan tergesa-gesa dan gugup berjalan melewatinya. Saat itu rasanya sangat sesak bahkan hanya untuk menghela beberapa hembusan napas. 

"Ah, mungkin ini yang dirasakan dia kala itu" Sebersit pikiran tentang teman yang lemas hampir pingsan di kala SMP ketika diminta maju ke depan kelas, tergambar jelas di depan saya. Rasanya baru kali ini saya merasakan emosi ini. 

Hal yang mungkin bisa ditebak adalah serangan makian satu arah kepada saya. Dan itulah yang terjadi. Marah. Sedih. Bingung. Beragam emosi mendominasi pikiran saya hingga tak tahu emosi apa yang otak saya pilihkan untuk saya. Setelah beberapa jam setelah masalah tadi, tentu giliran rasa sedih hadir membuat narasi di kepala. Membuat pembenaran dan pembelaan. Pembenaran akan situasi diri dan pembelaan terhadap apa yang baru saja saya terima. Sunyi. Hanya narasi belaka. 

Penyelesaian? Meski harus melibatkan banyak pihak dan banyak emosi, masalah akhirnya terselesaikan meski tentu goresan tetaplah membekas dan masih tergambar dengan epiknya di kepala menjadi luka baru.

Rasanya seringkali luka hadir tanpa permisi, tanpa pengenalan narasi. Tanpa sungkan menjajah aliran emosi.

Kamu tidak harus kuat (sekarang). Perlahan saja. Meski mungkin banyak air mata atau peluh keringat harus Kamu korbankan. Tak apa. Kamu hanya perlu melangkahkan kakimu untuk melaju. Tak apa jika pelan. Semua orang punya waktunya sendiri-sendiri.

21 Juli 2024

Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun