Mohon tunggu...
Nurul Hanifah
Nurul Hanifah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswi

Menulis adalah pelarian. Pelarian yang membuatku terlalu nyaman dengannya dan tak ingin beranjak darinya :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Dia yang Selalu Kau Lupakan

18 Januari 2022   16:07 Diperbarui: 18 Januari 2022   23:50 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terkadang kau marah dengannya dan bahkan tak ingin melihatnya lagi. Namun apa daya, saat kau bersedih dia akan tetap datang menghampirimu tanpa kau minta. Dia tetap akan mencoba menghiburmu. Namun kau hanya mengelaknya dan mengabaikannya.

Terkadang kau hanya ingin melihat sisi baiknya saja, membanggakannya dan bahkan memamerkannya pada dunia bahwa dialah yang paling hebat dan tak ada yang menandinginya. Kau melihat lamat-lamat wajahnya di cermin. Memandang seberapa cantik dan hebatnya dia. Dan entah untuk kesekian kalinya kau kagum dengannya.

Kau menyimpan rapi kenangan akan hebatnya dia dalam album terbaik. Mengelapnya setiap hari. Dan memajangnya dengan rapi. Supaya orang lain tau seberapa luar biasanya dia. Dan kau berpikir betapa beruntungnya kamu mendapatkannya. Lihatlah kau selalu mengembangkan bibir, tersenyum, ketika kau melihatnya.

"The moon is beautiful, isn't it?" Katamu.

Memandanginya membuatmu lupa akan dunia. Entah seberapa ramainya orang -- orang di luar sana. Kau tak peduli. Kau masih tenggelam dalam kekagumanmu.

Namun suatu hari kau sangat ingin kabur darinya. Seolah bersamanya adalah waktu dan jalan yang tak pasti. Kau mengumpat dan bahkan menyalahkannya. Kau katakan bahwa dia lemah. Kau katakana bahwa dia hanyalah makhluk penakut dan payah. Dan kau menyakitinya untuk menipu dirimu bahwa kau akan bahagia tanpanya.

Bahagia?

Tidak.

Kau hanya menambah rasa sakit. Melukainya tanpa sadar hingga tak sadar seberapa tersiksanya dia. Kau pun tak menyelesaikan apapun. Kau hanya menciptakan ilusi. Bahwa kau adalah orang yang paling buruk di seluruh dunia ketika bersamanya. Orang yang paling tak beruntung di dunia. Kau hanya terlalu egois.

"Pengecut!"

"Payah!"

Entah sudah berapa umpatan yang kau layangkan padanya. Dia hanya diam. Dia hanya menunduk. Lihatlah air matanya bahkan mulai menetes satu per satu. Dia menangis sambil tertunduk pasrah.

Kau menyalahkannya, tentang betapa lemahnya dia, hingga kau pun merasa puas. Kau tak pernah menyadari, bahkan untuk sedetik saja, tentang apa yang telah kau perbuat padanya. Kau hanya ingin mencari kambing hitam atas semua yang kau alami. Kau hanya ingin mencari sosok yang bisa kau jadikan tempat pelampiasan emosimu itu.

Kau hanya tak mau meyakini bahwa kau tak sempurna. Kau hanya mau meyakini bahwa kau sempurna. Bahwa kau hebat. Bahwa kau luar biasa.

Dia perlahan tertunduk. Dia sudah tak tahan membendung air matanya. Dia menangis.

"Pengecut!" katanya.

Dia mengumpat dalam tenang tangisnya. Lirih. Namun jelas terdengar. Kau tak menyangka akan mendengar umpatan itu dari dirinya. Mungkin pertama kalinya. Entah. Kau lupa apakah itu untuk pertama kalinya kau mendengarnya. Memorinya penuh terisi oleh berapa banyak umpatan yang kau pernah katakan padanya bukan yang kau terima.

Kau masih tak menyangka tentang apa yang baru saja dia sampaikan melalui angin yang berhembus pelan melewatimu.

"Mungkinkah aku bermimpi?" tanyamu.

"Atau aku hanya sedang menonton film tentang betapa buruknya tokoh utama antagonis yang selalu saja menyalahkan dan menyakiti tokoh utama lainnya?"

Dia perlahan mulai mengubah posisinya. Seolah ini adalah pemandangan baru untukmu. Ingatan tentang dia yang selalu statis terdiam setiap kali kau mengumpat berkelebatan di otakmu. Tentang kau yang marah dan mengatainya lemah saja dia hanya terdiam dan tentu hanya menunduk. Tentang beberapa saat lalu ketika kau sangat kesal dan mengatainya 'tak berguna'. Dan tentu dia hanya diam menunduk.  

"Egois!!"

Kata kedua yang terucap olehnya. Lihatlah dia tak lagi menunduk. Dia pun tak mengatakannya dengan lirih lagi. Dia mengatakannya sambil menatap matamu. Oh Tuhan.. Matanya seolah menyiratkan kemarahan sekaligus kesedihan yang mendalam. Rasanya itu adalah tatapan putus asa yang sudah terlalu lama terpendam. Kau hanya bisa terdiam.

Angin kembali berhembus. Tidak lagi menyejukan. Semesta sepertinya tak ingin memihakmu.

"Apakah aku akan jadi batu?" pikiran konyol pertama yang terlintas olehmu. Kau hanya membayangkan apakah kau akan menjadi batu seperti Malin Kundang karena terlalu bodoh atau karena dia sedang sial. Bukankah ia setidaknya tak kembali ke pulau kampung halamannya dan pergi ke pulau -- pulau baru saja ketika dia tak ingin bertemu orang tuanya atau setidaknya mengatakan kepada istrinya akan kebenarannya dan/atau mungkin memikirkan strategi -- strategi lain. Se-sederhana itu pemikiranmu.

Kau hanya berpikir bagaimana untuk mengelak. Kau hanya tak mau meyakini bahwa apa yang dikatakannya adalah benar adanya. Darahmu mulai mendidih. Itu mungkin akan menjadi kemarahan terbesarmu.

"Kau...,"

Belum selesai kau merampungkan kalimatmu, sekelebat rangkuman wajahnya terlintas, saat kau senang dia akan memekarkan senyum terbaiknya untukmu. Wajahnya yang teduh ketika kau kecewa dan kesal serta bahkan menyalahkannya ketika semua yang kau harapkan tak terjadi. Matanya yang berusaha terlihat tenang meski tertahan air mata di baliknya ketika kau memarahinya untuk sekedar melampiaskan kekesalanmu pada dunia. Tangannya yang berusaha memegang pundakmu untuk sedikit meredam kesedihanmu, yang tentu selalu kau singkapkan.

Lalu kau melihat betapa kesepiannya dirimu meski kau berada diantara kerumunan orang. Kau yang sangat putus asa saat itu dan kau yang hampir menyerah. Lihatlah hanya dia yang mampu memahamimu. Dan tentu tak pernah meninggalkanmu.

"Apa aku sudah tak waras?"

Kalimat yang tak pernah kau lontarkan pada siapapun justru terpikirkan olehmu. Begitu dalam. Hingga rasanya kau sesak. Apakah semesta juga mengurangi bahkan mengambil jatah oksigenku?

Konyol.

Dia masih di depanmu. Saat kau bahagia. Saat kau sedih. Saat kau kecewa. Bahkan saat kau sangat marah dan tau akan melampiaskannya padanya. Dia tidak berpaling bahkan selangkah pun meninggalkanmu. Bukan karena tak bisa. Dia memilih untuk menetap untukmu. Dia masih disana. Di sampingmu. Selalu.

"Maaf,"

"Masih bisakah kau memaafkanku?" katamu.

"Tentu," wajahnya kembali teduh dan tersenyum padamu.

---0---

Kita seringkali tak sadar bahwa sosok yang seringkali kita lupakan, kita sakiti dan kita abaikan adalah diri kita sendiri. Bahkan terkadang kitalah yang terlalu keras membandingkan diri kita dengan orang lain. Membandingkan akan betapa lemahnya kita dibanding orang lain. Sebegitu menyedihkannya kita. Lalu kita bahkan menyakitinya. Menipu diri bahwa kita bahagia dan tanpa sadar menyakitinya.

Kita seringkali lupa untuk menghargai seberapa hebatnya diri kita. Mengaguminya karena mampu bertahan sampai detik ini. Dan juga menghargai bahwa kita juga punya kelemahan di samping kelebihan yang selalu kita tunjukan pada dunia. Kita perlu menerima kurangnya kita, karena tentu karena kitalah yang paling memahaminya. Menerimanya dengan lapang dada dan bergandengan bersamanya. Tentu supaya mampu bertahan dari entah badai mana yang akan datang terlebih dahulu menghampirimu. Semesta terkadang bercanda pada kita. Semesta hanya ingin kita tak terlalu lelap, baik dalam sedih maupun senang.

Sudahkan kamu menerima dirimu sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun