Berakhirnya rezim otoriter orde baru membuka saluran pengakuan masyarakat adat melalui politik desentralisasi. Desentralisasi telah banyak menggeser kekuasaan pusat ke daerah. Arus ini melahirkan implikasi positif dan sekaligus negatif atas agenda pengakuan masyarakat adat.
Sisi positifnya adalah terbukanya peluang pengakuan masyarakat adat melalui reorganisasi desa berdasarkan nilai-nilai adat (desa adat). Sedangkan, sisi negatifnya adalah menguatnya cengkraman elit daerah dengan menggunakan identitas adat (etnisitas) untuk menguasai sumber daya.
Dalam situasi ini, desa menjadi arena kontestasi kepentingan antara masyarakat adat dengan elit daerah dalam usaha merebut akses dan kontrol atas sumber daya.
Desa Adat
Desentralisasi telah mengubah posisi Pemerintah Daerah sebagai otoritas penentu pengakuan desa adat. Posisi ini mengakibatkan proses politik daerah menentukan kualitas penataan (reorganisasi) desa. Partisipasi publik menjadi syarat penting terciptanya posisi seimbang antara elit dengan warga dalam agenda pengakuan tersebut.
Isu krusial penataan desa sendiri adalah soal status legal desa, yang menentukan bentuk kewenangan desa, apakah mengembalikan kewenangan adat (asal usul) terintegrasi dengan desa, atau kewenangan unit pemerintahan desa saja (administratif) sebagai bagian dari struktur negara yang lebih tinggi.
UU Desa 2014 menjadi penentu rute panjang pengakuan desa adat tersebut, yang jauh sebelumnya telah dimulai sejak arus otonomi daerah mengalir di Indonesia, seperti halnya yang terjadi di Sumatera Barat dan Bali.
UU Desa 2014 berperan penting memperkuat kedudukan pengakuan masyarakat adat dalam kerangka desa, yang sebenarnya telah digagas jauh pada awal-awal desentralisasi kekuasaan berlangsung di Indonesia, yaitu sejak lahir UU Otonomi Daerah. Gagasan tersebut muncul dari dua faktor, yaitu; Pertama, populasi masyarakat adat dan sumber dayanya  berada di wilayah pedesaan.Â
Dalam konteks tersebut, pemberlakuan hukum dan kebijakan negara yang buruk tentang desa dan wilayah pedesaan berimplikasi pada pengurangan kapasitas otonomi masyarakat adat terhadap sumber daya maupun pemerintahan.
Kedua, UU Desa 2014 memberikan saluran pengakuan masyarakat adat melalui konsep desa adat, yang berbasis pada asas pengakuan sebagai anti tesis asas residualitas yang sentralistik di masa Orde Baru.
Pengakuan desa adat dalam UU Desa 2014 ini sekali lagi menjadikan Pemerintah Daerah sebagai aktor penentu pengakuan tersebut, sehingga kualitas politik masyarakat adat dalam arena legislasi tentang penataan desa menjadi penting.