Mohon tunggu...
nuurfathimah
nuurfathimah Mohon Tunggu... Freelancer - penulis

Seorang perempuan yang memiliki ketertarikan tinggi terhadap dunia kesehatan dan implementasinya dalam kehidupan sehari-hari. Meyakini dengan membaca dan menulis sebagai salah satu upaya untuk membedakan antara toksik dan tonik.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

FOMO dan Cemas, Saling Berkaitan?

26 November 2024   06:17 Diperbarui: 26 November 2024   06:20 9
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

FOMO adalah "fear of missing out”, sebuah perasaan khawatir jika akan kehilangan event atau momentum yang dilakukan oleh orang lain, terutama biasa terlihat pada media sosial. Istilah FOMO mulai populer pada perkembangan media sosial yang cukup pesat. Namun ternyata FOMO dapat berkembang menjadi gangguan kecemasan hingga depresi.

Mengapa era pesatnya media sosial meningkatkan fenomena FOMO? Hal ini dikarenakan media sosial sebagai alat ajang unjuk diri atau pencapaian diri, sehingga media sosial digunakan sebagai alat eksistensi diri agar dianggap tidak tertinggal terhadap tren pada suatu masa.

Praktik FOMO ini dimulai dari pembelian barang yang sedang tren. Misal gawai/ handphone/ gadget dengan merk terbaru, tumblr/ alat makan, tempat nongkrong baru untuk berkumpul yang sedang tren hingga menyekolahkan anak pada sekolah yang mahal atas dasar mengikuti tren / agar dianggap mampu tanpa dilakukan riset / pencarian informasi secara mendetail pada sesuatu yang dipilih.

Pemaksaan diri untuk membeli barang atau sesuatu yang diluar kapasitas agar tidak dianggap kurang update atau tren bisa menjadikan diri mengarah ke perilaku kompulsif dan ini bisa memicu kecemasan, gangguan tidur hingga depresi.

Lalu apakah yang dapat dilakukan untuk mengatasi FOMO (fear of missing out) yang berujung dengan kecemasan hingga depresi?

  • Tidak menghentikan penggunaan media sosial namun screen time pada media sosial dikurangi
  • Pengalihan kegiatan seperti berolahraga atau aktivitas yang menyenangkan lainnya
  • Menetapkan tujuan dan batasan dalam penggunaan media sosial, misal: menggunakan media sosial sebagai alat untuk mencari ilmu atau mengembangkan diri
  • Jika hal tersebut masih belum tertangani, dapat konsultasi dengan psikolog atau psikiater untuk dilakukannnya terapi CBT (Cognitive Behavioral Therapy) hingga pemberian obat anticemas atau antidepresan.

Cognitive Behavioral Therapy (CBT) atau terapi perilaku kognitif adalah salah satu jenis psikoterapi yang bertujuan untuk meningkatkan kesehatan mental, mengatasi masalah psikologis, seperti gangguan kecemasan, dan menghadapi masalah sehari-hari.

Yuk mulai menilai diri bukan dengan mengikuti tren tapi berdasarkan kemampuan kita. Tetap percaya diri dan jangan khawatir terhadap penilaian orang lain terhadap diri kita yang otentik.

Diadaptasi dari podcast seksi ansietas PP PDSKJI dengan narasumber Dr. Munawir Saragih, M.Ked, Sp.KJ

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun