Ku menyusuri jalan setapak dimana ada gerbang kecil seolah ia memperlihatkan dunia lain di seberangnya. Di sepanjang jalannya penuh dengan rerumputan hijau dan ada bunga kecil berwarna-warni seakan melengkapi indahnya sekitar alam yang ia tumbuhi. Tak lupa pula disekitarnya terdapat pohon sawit yang menyejukkan di sepanjang jalan Hal itu dapat menggambarkan bagaimana indahnya di seberang gerbang kecil itu. Â
Dari kejauhan ku lihat banyak daun hijau yang tumbuh di gundukan kecil nan kering. Tak sabar untuk melihat itu, aku berlari menyusuri jalan yang masih panjang, ku terburu-buru membuka gerbang yang tertutup dan tampaklah dunia lain yang seakan-akan sudah lama menunggu kehadiranku. Ternyata tampak dan suasana di kebun ini sesuai dengan apa yang aku bayangkan. Keindahan alamnya membuatku lupa dengan beban kehidupan ini. Menurutku, berbaur dengan alam memang obat terampuh untuk menenangkan pikiran yang berantakan.
Tanah kering dan retak di gundukan kecil, namun diantara celah-celahnya, tersembunyi harta karun kecil nenekku. Kacang tanah dengan daun-daunnya yang hijau kekuningan, menandakan saat panen telah tiba. Batang-batang yang kurus namun mampu menopang polong-polong padat yang siap dipetik. Aroma tanah kering dan manis tercium di udara, memperlihatkan bahwa akan ada keajaiban kecil yang membanggakan.
Di kebun nenek juga terdapat gubuk tinggi yang sudah lama dibangun karena dulunya nenek dan kakek sering tidur di kebun itu untuk merawat tanamannya. Gubuk itu memiliki papan bagian bawahnya, biasa digunakan untuk bersantai dan beristirahat setelah lelahnya bekerja. Di sana juga memiliki dua sumur yang airnya digunakan untuk menyiram tanaman. Di gubuk itu kami memulai rencana pencabutan kacang tanah dari batangnya. Aku tidak hanya datang sendirian, tentunya dengan nenek, ibu, dan ada juga beberapa sepupu laki-laki dan perempuanku.Â
Kami memulai aksi dengan membagi tugas, ada yang mencabut batang kacang dari tanah, mengangkat batangnya dan dibawa ke gubuk, dan ada juga yang mencabut kacang dari batangnya. Aku mengambil bagian mencabut kacang dari batangnya, dan beberapa sepupuku mencabut dari tanah dan mengangkatnya.Â
Aku sangat menikmati pekerjaan itu, melihat kacang yang begitu berisi dan terkadang mendapatkan kacang yang polongnya banyak. Tak terasa satu karung telah terisi penuh dan berlanjut dengan karung berikutnya. Aku juga ingin mencoba hal baru lainnya, aku bergegas ke gundukan tanah untuk memperhatikan bagaimana proses pencabutan dari tanah dan setelahnya ikut nimbrung untuk mencabut kacang.Â
Rupanya terasa berat jika pencabutan dilakukan secara manual, kakek mengambil bagian membawa mesin bajak sawah yang ternyata bisa digunakan diladang kacang. Tak hanya berharap pada kerja mesin, kami juga langsung mencabut dengan tangan. Terasa seru jika langsung turun ke ladang, kami banyak tertawa karena kelucuan-kelucuan yang muncul disela-sela kegiatan kami dan agak sedikit bosan jika hanya duduk di gubuk untuk memisahkan kacang dari batangnya.
Sambil melakukan tugas ini, kami berbincang-bincang dengan asiknya dan bercanda ria, nenek juga bercerita kepada kami bagaimana proses awal penanaman dan memanen kacang tanah. Tak pernah terpikir di benakku sebelumnya betapa banyak kerja keras yang dibutuhkan untuk menanam dan memanen kacang tanah. Mulai dari menabur benih hingga hari ini. Saat aku menggali harta karun kecil itu dari dalam tanah, aku belajar banyak tentang kesabaran dan ketekunan. Panen kacang tanah pertamaku ini bukan hanya soal memanen hasil, tetapi aku juga banyak mendapatkan pelajaran berharga yang takkan pernah ku lupakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H