Hai. Kenalin. Namaku Nurul Fajriyah Hidayat Putri. Teman temanku kerap kali memanggilku "Fajri". Kali ini aku mencoba berbagi sedikit cerita. Ya, mungkin bagi kalian hal ini adalah sesuatu yang biasa. Tapi bagimu, cerita ini adalah sebuah perjalanan hebat yang Tuhan persembahkan untukku atas wujud dari seribu pintaku padaNya yang entah sudah segunung apa. Oiya, Aku mahasiswa disalah satu kampus Islam Negeri di kota Malang. Mudah ditebak bukan? Dimana aku kuliah. Ya, kampus Uin Albab. Kampus UIN Maulana Malik Ibrahim Malang. Jadi sekarang, aku akan menceritakan segala pahit dan manis yang aku alami sejak satahun yang lalu.
Bagi seorang siswa kelas akhir, hal yang membuat kita bingung dan entah itu bukan perihak ujian. Bukan juga perihal nilai kelulusan. Tapi perihal "akan kemana" sehabis menghabiskan waktu dengan seragam putih abu abu. Begitupun denganku. Dulu, aku berpikir, lulus dengan mudah disalah satu kampus negeri adalah sesuatu yang tidak mungkin. Alasannya? Salah satunya karena tempat sekolah ku menimba ilmu adalah sekolah swasta yang berdomisili disalah satu pesantren di Madura. Tapi tidak apa apa. Bumi ini adalah milikNya. Jika pemiliknya sudah mengatakn "iya", siapapun dimuka bumi ini tidak akan mampu menghalangi pintu pintu kemudahan untuk selalu terbuka. Dan aku percaya. Sangat.
Entah karena apa, tiba tiba saja seorang guruku menyuruhku mendaftarkan diri di kampus negeri melalui jalur SPAN PTKIN. Dan dengan beraninya, aku memilih kampus UIN Malang dengan prodi perbankan syariah sebagai tujuan. Terkejut? Ya, begitupun denganku. Tapi, bukankah ini rencana baik Tuhan yang ada tidak untuk dipercayakan? Cukup jalani, syukuri.
Bebarapa saat setelah itu, kabar baik datang kepadaku. Semburat warna hijau dan ucapan selamat terpampang jelas dilayar handphone ku. Pertanda aku lulus. Hahaha, bagi semua orang, mungkin caraku lulus kampus ini adalah hal yang sederhana, dan tidak memerlukan perjuangan apa apa. Tapi percayalah, ketika itu aku sudah berusaha mengikis segunung ragu dan membunuh takut untuk mendapatkannya. Bahkan setelah itu, aku harus rela bertukar pendapat dan pikiran dengan keluarga. Terutama dengan Ayah. Untuk melepas putri sulungnya ke jenjang perkuliahan di kampus negeri. Hidup sendirian. Mudah? Tentu tidak. Sekali lagi aku harus rela menerima keputusan apapun yang diberikan ayah kala itu. Sekali lagi, angin baik menyambutku. Yaa! Ayah mengizinkanku. Setelah itu, aku mulai melengkapi persyaratan registrasi lainnya dengan mandiri dengan modal sebuah tekad tidak ingin lagi membebani siapapun ketika keadaan apapun. Sudah cukup aku membuat semua orang merasa hawatir.
Setelah memasuki dunia perkuliahan, aku bertemu dengan teman teman baik. Baik sekali. Entah ini adalah hadiah Tuhan yang keberapa, aku tidak tau. Karena aku tau, aku tidak akan bisa menghitunya. Hahaha.
Bagian ini adalah bagian terkonyol. Di tahun pertama, aku bertemu dengan seorang laki laki. Dia baik, sangat baik. Mampu meredam egoku yang batu, dan meredam rebut kepala yang tak pernah damai. Baik sekali Tuhan bukan? Ya, walaupun kami sebatas teman, setidaknya Tuhan membekaliku orang baik. Aku juga bahkan tidak tau bagaimana hari esok menjemput kami, tapi apapun yang terjadi, aku tetap bersyukur. Ah iya, doakan dia tidak membaca tulisan ini yaa, hahahaha.
Teman temanku tak kalah baik. Mereka selalu menemaniku apapun yang terjadi. Membantu mengerjakan tugas tugasku, mendengar cerita ceritaku, membersamaiku. For your information. Salah satu teman baikku meninggal januari kemarin. Namanya Salma. Karena sakit. Kau tau perasaanku kala itu? Rasanya aku hancur mengetahui sebuah kenyataan bahwa aku tidak akan pernah bisa memeluknya. Bahwa kami tidak akan bisa lagi tertawa bersama. Bahwa kami tidak akan bisa lagi bercerita hingga larut malam. Dan untungnya, laki laki baik itu membantuku untuk bertemu dengan salma, ya walaupun dengan cara yang berbeda. Dia mengunjungi makam salma dengan sepeda motor yang memisah Malang- Magelang. Setelah sampai di depan makam salma, dia menghubungku dengan via video. Membiarkanku larut dengan seribu ketidak percayaan yang aku rasakan.
Mengenai matkul kuliah, aku masih bersyukur. Ya, walaupun aku bukan termasuk mahasiswa yang ambis dengan mimik wajah yang serius setiap kali pembelajaran berlangsung. Kau tau? Sebagai mahasiswa lintas jurusan, hal ini bukanlah hal yang mudah. Aku harus beberapakali berpikir untuk mengerti. Tapi Alhamdulillahnya, Tuhan masi memberikanku kesempatan untuk belajar.
Sedikit spesial dari pada yang lain, aku bertemu dengan seorang dosen. Namanya bapak Edi (semoga beliau juga tidak membaca), karena saya malu paak. Hahahaha beliau mengampu mata kuliah kewarganegaraan selama dua semester pertama saya kuliah. Dan uniknya, beliau tidak meminta mahasiswanya untuk selalu terpaku pada materi atau teori teori yang sudah muak kami dengar. Malah, beliau meminta kami, mahasiswanya untuk bereksploitasi sebagaimana yang kami inginkan. Beliau kerap kali meminta kami untuk menulis artikel tentang pengalaman kami setiap minggu. Ya, mungkin beberapa kami kadang merasa enggan melakukannya, tapi sekarang saya tau. Setelah melakukannya, aku bisa mendapat banyak pelajaran yang tidak akan aku dapatkan jika hanya berdiam diri memperluas dan membahas teori teori bulat didalam kelas. Aku lebih mengenal bagaimana Tuhan mengatur jalannya kehidupan setiap orang. Bertemu dengan orang orang hebat, mengenal toleransi, utamanya memper erat rasa persaudaraan diantara teman teman. Karena faktanya, aku dan teman teman sering mengerjakan tugas dengan berjamaah. Hahahaha
Yauda, sekian cerita malam kali ini. See you, diary umum. Hahahahaha
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H