Setelah beberapa bulan saya pergi meninggalkan kampung halaman, akhirnya pada pertengahan bulan suci Ramadhan saya memutuskan untuk Kembali menapaki kaki dikampung halaman. Rumah saya ter;etak di daerah Madura, Jawa Timur. Tepatnya berada di kabupaten pamekasan, lalu tak lebih dari sekitar lima menit, sampailah saya menuju rumah. Ya, letak rumah saya tidak terlalu jauh dari pusat kota.
Pertama kali menapakkan kaki, saya lantas berdiam diri, memperhatikan dengan telliti beberapa perubahan yang terjadi yang membuat saya serasa asing. Tapi tetap. Saya mencintai rumah saya. Saya mencintai segala hal tentangnya. Semburat ingatan masa kecil Kembali menari nari dipelupuk mata saya.Â
Ketika saya bermain tanah yang dicampur air lalu dibentuk seperti adonan kue yang siap di panggang dengan taburan pasir hitam atau ggilingan bata merah sebagai topping atau pelengkap.Â
Setelah beberapa lama, saya dan teman teman epurra pua memakannya dan menikmatinya. Sesekali saya bermain air hujan bersama mereka. Seolah olah kami tidak pernah mengenal ap aitu sakit, bagaimana itu demam dan seperti ap aitu resiko.Â
Saat itu, bagi kami adalah persahabatan dan persaudaraan lebih penting dari apapun, bahkan kami rela melewati makan pagi dan makan siang kami bersama keluarga masing masing untuk bisa bermain main dengan kawan sebaya.Â
Masih teringat betul, bagaimana saya rela memanjat jendela kamar lama saya untuk bisa lolos ketika orang tua saya menyuruh saya untuk tidur siang. Ya, maklum. Namanya anak anak.Â
Kata orang orang dewasa sekarang, mereka yang pendiam ketika masa kanak kanak berlangsung, itu menyalahi kodrat atau hukum perkanak kanakan internasional.Â
Atau bahkan, lebih parahnya lagi, ada saja mereka yang menganggap seseorang yang tidak pernah nakal ketika masa kanak kanak nya biasanya kondisi mereka sedang tidak sehat. Baik itu secara fisik maupun psikis. Ada ada saja.
Namun, beberapa Langkah sebelum menapaki rumah, perhatian saya tertuju pada sebuah surau sederhana dengan warna cat putih dan hijau yang terlihat segar. Sepertinya kondisi catnya masih baru saja direnovasi.Â
Beberapa orang terlihat melingkar membentuk tiga kelompok untuk melakukan tadarus al quran, yakni sebuah kegiatan dimana mereka akan bergantian mengaji dan bagi mereka yang belum kebagian mengaji akan menyimak bacaan yang tengah di bacakan. Kegiatan ini tidak hanya dilakukan oleh anak anak dan remaja saja.Â
Kaum lanjut usia dan tua pun tak ingin kalah untuk ikut mewarnai bulan suci dengan kebaikan yang dilakukan bersama. Saya tersenyum melewati mereka. Menundukkan kepala pertanda meminta izin untuk lewat agar segera sampai tujuan, rumah.
Beberapa saat kemudian, saya Kembali teringat bagaimana dulu saya belajar mengaji. Berusaha memahami setiap huruf, tanda baca, harkat yang ada di al qur'an bagi seorang anak anak berumur 2 tahun bukanlah hal yang gampang.Â
Beberapa kali saya rasanya ingin menyerah, tapi berkat Allah Swt, guru ngaji saya, orang tua, dan orang orang sekitar saya, saya bisa membaca al quran dengan baik hingga sekarang.Â
Ya, walaupun ketika awal awal belajar bibir saya masih sering saja melafalkan kata demi kata didalam Al quran dengan salah. Tapi dengan hebatnya, guru ngaji saya membantu saya untuk Kembali dan terus belajar memperbaiki setiap bacaan Al Quran. Beliau menjelaskan satu demi satu hukum bacaan yang harus saya ketahui, sebagai upaya Pendidikan dini.
Oiya, guru ngaji saya Bernama Mbah Khadijah. Saya kerap memanggil beliau dengan sapaan Mbah Ijah. Dalam silsilah keluarga, beliau masih satu keluarga dengan saya, jadi ketika itu rasanya saya sangat akrab dengan beliau. Saya masih ingat sekali semburat semangatnya mengajar saya dan teman teman saya untuk menjadi Al Quran.Â
Bahkan sesekali beliau akan memberikan saya dan teman teman cemilan atau semacamnya jika kami sudah bisa membaca dengan baik ataupun meningkat. Beliau akan memaklumi kesalahan kami. Tapi dengan telatennya beliau memberiitahu kami bagaimana ayat ayat itu seharusnya dibaca.
Rumah Mbah Ijah juga tidak jauh dari rumahku. Kami bertetangga. Setiap pagi, biasanya beliau akan membawakan oleh oleh dari pasar untuk saya berupa kudapan kudapan tradisioanal yang sangat sederhana. Sebagaimana anak anak pada umumnya, saya akan dengan sangat senang hati menerimanya dan menganggapnya sebagai salah satu pemberian yang sangat luas biasa.
Mbah Ijah wafat  ketika saya menjejakkan Pendidikan saya pada kelas 2 SD. Beliau sakit. Entah karena apa, saya tidak tau lebih, ya karena pada saat itu tidak mungkin menanyakan dengan detail. Alasannya klise. Saya masih anak anak.Â
Dan sepertinya, pertanyaan pertanyaan saya tidak akan pernah diindahkan oleh orang orang dewasa pada saat itu. Jadi satu satunya hal yang bisa saya lakukan adalah mendoakan Mbah Ijah dan berharap husnul khatimah untuknya. Amiin
Guru adalah penerang diantara kegelapan. Saya menemukannya pada sosok Mbah Ijah. Beliau yang mengenalkan saya pada bacaan Al Quran dan mengajarkan saya melafalkannya dengan baik. Rasa rasanya ilmu yang diberikannya akan menjadi ilmu terpenting sepanjang masa.Â
Ya, sebuah ilmu untuk memahami kalam kalam Allah, dan belajar islam dengan lebih baik. Tidak bis akita sepelekan seorang guru ngaji yang menuntut kita untuk memahami huruf demi huruf Al Quran. Nyatanya, huruf huruf itulah yang justru akan mengantarkan kita pada kebenaran.
Terimakasih Mbah Ijah. Jasamu idak akan penah saya lupakan. Selalu, selamanya. Allah, berikanlah balasan terbaikmu untuk Mbah Ijah. Amiin.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI