Rmadhan, 1443 Hijriiah. Panas matahari menyapa kulit kami. Menemani Langkah kami, menyusuri gang sempit yanga ada disebelah kampus UIN Malang. Saya, bersama beberapa rekan saya menyusuri jalan setapak perumahan sederhana yang lokasinya tidak jaub dari kampus. Tidak butuh waktu lama. Sekitar 5 menit kemudian kami sampai pada tujuan kami. Ya, sebuah rumah yang sangat sederhana yang ada epat disebalah kiri jalan. Nek Sanatun, sebagai pemilih rumah, sudah terlihat tua. Beliau berumur kira kira sekitar 60 tahun lebih. Beliau tinggal sendirian disebuah rumah yang sanogat sederhana itu. Suami tercintanya meninggal beberapa tahun lalu, dan beliau tidak memiliki seorang anak pun. Tapi, ketika kami menyapanya, terlihat begitu jelas semburat untuk tetap semangat hidup bersama kenikmatan rasa sabar dan keluasan rasa sukur yang Allah karuniai.
Sekali lagi, saya ditampar kenyataan. Satu kenyataan bahwa saya adalah seorang hamba yang kurang bersyukur dengan karunia Allah yang sangat istimewa. Bagaimana saya hidup, bagaimana Allah memberikan saya kesempatan untuk tertawa, menikmati masa muda saya dengan teman teman sebaya untuk menuntut ilmu dan mengerjakan seabrek tugas kuliah yang mungkin bagi kami adalah hal yang melelahkan. Namun, diluar sana, masih banyak mereka yang memiliki keinginan besar untuk berada diposisi kami. Dan Allah masih memberikan kesempatan ini untuk saya jalani.
Menelisik lebih lebih dalam lagi, bagaimana kita lupa bersyukur untuk sebuah kesempatan hidup disebuah negara yang Makmur. Indonesia yang tepat berada ditengah garis khatulistiwa. Kita hidup dan bersama dengan keluarga tanpa adanya rasa takut untuk mendengar kejutan dari suara suara bombardier dan suara teriakan sebagaimana saudara saudara kita di palestina sana?
Kembali lagi kepada Nek Sanatun, ketika memasuki umah sederrhanaya, kami disuguhi pemandangan yang sungguh menyayat Nurani kami. Diruang pertama rumahnya, sebuah meja denggan kayu lapuk berbentuk lingkaran dan dikelilingi beberapa kursi yang sudah melapuk juga. Sepertinya kursi kursi tersebut, juga dittujukan untuk menyambut tamu tamu yang datang berkunjung. Namun sekali lagi, nyatanya sudah sangat jarang sekali ada tamu yang mengunjungi beliau, lebih lebih sang kepala keluarga, sang suami sudah meninggal dunia.
Beliau bercerita, untuk jatah makan sehari harinya beliau hanya bergantung kepada belas kasih tetangga yang dengan baiknya memberikannya makanan dan uang secara rutin. Tubuhnya yang renta dan beberapa pemyakit memaksanya untuk tidak melakukan pekerjaan yang berat dan memaksanya untuk tetap berdiam dirumah. Oiya, konon, suami Nek Sanatun dulu bekerja sebagai tukang becak. Tapi Alhamdulillah, rezeki yang beliau hasilkan masih cukup untuk memenuhi keperluan mereka sehari harinya. Takdir berkata lain, suaminya menggal ketika beliau mengalami kecalakaan.
Perbincangan terus berlanjut sangat akrab. Perbincangan kami juga merambat. Mulai dari saya dan teman teman berkenalan dan menceriyakan dari mana kami berasal dan kian menghangat ketika beliau, Nek Sanatun menceritakan bagaimana sangat merindukan sang suami, dan bagaimana Nek Sanatun suka menziarahi makam suaminya. Beliau juga bercerita, dan mengenang bagaimana dulu beliau dan suaminya menghabiskan waktu Ramadhan berdua dengan indah. Menanti waktu berbuka dan memasak lalu pada malam harinya, mereka akan bersama pergi melangkahkan kaki untuk melaksanakan shalat tarawih berjamaah di masjid yang letaknya tidak cukup jauh dari kediamannya.
Namun, sebuah fakta Kembali menampar kami. Nek Sanatun yang berpenampilan sederhana dengan badan yang masih bugar, nyatanya tidak sebegitu bugar. Sebelah matanya tidak lagi dapat berfungsi dengan normal. Sebelah matanya mengalami kebutaan permanen. Entah apa penyebabnya, kami tidak bisa menanyakannya. Rasa iba sekaligus takjub benar benar kami rasakan. Rasa rasanya, kami masih tidak sekuat Nek Sanatun untuk mengahadapi semua itu. Lidah kami terlalu kelu untuk memberikan ekspresi yang entah harus seperti apa lagi.
Kondisi ini mengingatkan saya kepada sesuatu yang penting. Bahwa orang istimewa seperti Nek Sanatun adalah tanggung jawab kita bersama. Bagaimana seharusnya pemerintah lebih jeli mengetahui keadaan Nek Sanatun dan memberikan penjaminan hidup kepada beliau. Seorang Wanita hebat yang hidup sebatang kara yang hidup ditengah hiruk pikuk jantung kota metropolitan Malang.
Tuhan mengajarkan kita untuk selalu bersyukur, dan mengingat nikmatnya yang sangat besar. Masih banyak nikmat dan pemberiannya yang ada untuk kita syukuri bersama. Diuji untuk selalu kuat, dan tidak mengeluh. Bukankah kita yang selalu meminta kepada Allah untuk selalu menjadi orang orang yang kuat? Ketika kita meyakini Tuhan dengan segala KuasaNya atas masa depan kita yang tidak pernah terduga, Allah akan mengabulkannya dengan jalan yang lebih tidak terduga. Saling memberi, saling membantu dan bahu membahu untuk saudara kita yang kurang mampu sepertinya bisa dilakukan oleh siapa saja, dimana saja, dan kapan saja.
Yang terpenting, tulisan ini bertujuan untuk Kembali mengingatkan saya dan kita semua untuk senantiasa bersyukur. Bukankah Allah berjanji untuk menambah nikmat kita, jika kita bersyukur dan mempercayaiNya dengan segenap hati yang kita punya?
Semoga kita semua termasuk golongan yang sering bersyukur, enggan mengeluh dan termasuk golongan hamba hamba Allah yang patuh.