Pada era globalisasi ini, tantangan dalam menjaga keseimbangan pasokan pangan menjadi semakin kompleks, terutama bagi daerah yang memiliki keterbatasan dalam produksi pangan. Salah satu daerah yang menghadapi tantangan tersebut adalah Bali, pulau yang terkenal dengan keindahan alamnya namun sering kali mengalami defisit dalam pasokan beras.Â
Pada Senin lalu, Sekretaris Daerah (Sekda) Bali, Dewa Made Indra, memberikan tanggapan yang mendalam terhadap catatan Badan Pusat Statistik (BPS) Bali mengenai peningkatan impor beras dari Thailand pada bulan Februari 2024. Dalam konferensi pers yang diselenggarakan di Denpasar, Dewa Indra menjelaskan secara rinci tentang tantangan yang dihadapi Bali dalam menjaga ketersediaan beras dan strategi yang telah dirancang untuk mengatasi defisit tersebut.
Dewa Indra menyoroti bahwa peningkatan impor beras pada bulan Februari 2024 merupakan refleksi dari situasi yang wajar, terutama mengingat musim tertentu di mana Bali mengalami defisit beras. Dia menegaskan bahwa kebijakan impor komoditas serelia seperti beras tidak bisa dianggap enteng, karena Bali tidak hanya bergantung pada impor beras, tetapi juga komoditas lain seperti jagung dan biji-bijian. Hal ini disebabkan oleh ketidakseimbangan antara produksi lokal dan kebutuhan pasar, terutama saat terjadi penundaan musim panen.
Namun, tidak tinggal diam dalam menghadapi tantangan ini, Pemerintah Provinsi Bali telah merancang serangkaian solusi inovatif untuk mengantisipasi defisit beras. Salah satunya adalah dengan mengadopsi teknologi-teknologi baru di bidang pertanian. Misalnya, penggunaan bibit nutrizinc yang telah terbukti mampu meningkatkan produktivitas lahan pertanian hingga 8,5 ton per hektar, sebagaimana yang dijelaskan oleh Dewa Indra.
Selain itu, Pemerintah Provinsi Bali juga berperan aktif dalam menghubungkan petani dengan pembeli gabahnya, sehingga tidak ada keraguan dalam penggunaan metode-metode baru tersebut. Dengan demikian, upaya ini tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan produktivitas, tetapi juga untuk memastikan bahwa hasil pertanian bisa diperjualbelikan dengan efisien, sehingga mampu mengurangi ketergantungan pada impor beras.
Dalam catatan impor yang disampaikan oleh Kepala BPS Bali, Endang Retno Sri Subiyandani, terungkap bahwa nilai impor Bali pada Februari 2024 mencapai 19,75 juta dolar AS, dengan impor barang dari Thailand menjadi yang tertinggi, terutama dalam bentuk produk serelia seperti beras. Namun demikian, catatan tersebut juga mencatat dominasi empat komoditas lain yang masuk ke Bali, yaitu mesin dan peralatan mekanis, mesin dan peralatan elektrik, instrumen optik fotografi, dan barang dari kulit samak.
Dengan strategi antisipasi yang cerdas dan inovatif yang dijalankan oleh Pemerintah Provinsi Bali, diharapkan Bali dapat mengatasi tantangan defisit beras dan menjadi lebih mandiri dalam memenuhi kebutuhan pangan masyarakatnya. Melalui kolaborasi antara pemerintah, petani, dan pelaku usaha, Bali dapat meraih kedaulatan pangan yang berkelanjutan dan mengurangi ketergantungan pada impor beras.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H