Antrean truk pengangkut batubara di SPBU Paal X Jalan Lingkar Barat, Kota Jambi, Selasa lalu (14/10), mengular hingga ke jalan raya. Asap pekat sisa pembakaran energi fosil yang keluar dari belasan knalpot truk, mengepul-ngepul serupa cerobong pabrik. Kondisi ini tentu jelas sangat mengganggu pernafasan.
Padahal, September tahun lalu, Staf Ahli Menteri ESDM Bidang Kelembagaan dan Perencanaan Strategis, IGN Wiratmadja Puja di Jakarta, telah mencanangkan proyek percontohan penggunaan Bahan Bakar Gas (BBG) bagi 680 unit truk pertambangan dan perkebunan di Kabupaten Bungo, Jambi. Selain bertekad menekan dan mengubah pola konsumsi Bahan Bakar Minyak (BBM), penerapan LGV (Liqueid Gas for Vehicle) ini juga disebut-sebut sangat ramah lingkungan, sehingga mampu mengurangi angka polusi yang menjadi momok bagi kesehatan.
Nyatanya, proyek ini nyaris tidak berjalan. Tidak ada satupun truk pertambangan, termasuk angkutan perkebunan di daerah ini yang menggunakan bahan bakar gas. "Kami tidak bisa pakai BBG, jika pasokan dan Stasiun Pengisian Bahan Bakar Gas-nya (SPBG) tidak ada," kata Puji Siswanto, Ketua Asosiasi Angkutan Batubara (ASABA) Provinsi Jambi, Selasa (16/10).
Pada dasarnya, kata Puji, mereka siap (pakai BBG), jika infrastruktur dasarnya ada, dan suplai gas di SPBG selalu tersedia. Karenanya, menurut Ketua Organda Jambi ini, perlu kebijakan komprehensif antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam menjalankan program ini. Harus ada sinergi antara stakeholder, termasuk pihak swasta dan pengguna. "Kebijakan ini tidak dapat berjalan sendiri-sendiri," ucapnya lagi.
Di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, program penggunaan gas (LGV) bagi 1.470 kapal nelayan yang digagas Kementerian ESDM dan Pemda setempat sejak tahun lalu juga tidak berjalan efektif. Ratusan converter kit yang akan disalurkan pemerintah sebagai stimulus awal bagi nelayan ternyata tidak cocok untuk mesin kapal yang berbasis diesel. "Alat itu tidak dilengkapi sistem pengatur tekanan gas," kata Arsyad, Ketua Koperasi Lembaga Ekonomi Pengembangan Pesisir (LEPP) Kualatungkal.
Akibatnya mesin kapal jadi memble. Tenaga yang dihasilkan hanya mentok di 6 KV. Sementara kekuatan standar kapal nelayan untuk berlayar ke laut lepas minimal harus 28 KV. Mesin yang lemah membuat daya jelajah kapal menjadi terbatas. Tangkapan nelayan otomatis juga terbatas. Alhasil, penggunaan peranti ini tidak mampu mengurangi biaya operasional, apalagi meningkatkan pendapatan nelayan.
Sekretaris Kelompok Usaha Bersama (KUB) Kualatungkal, Rezki, mengatakan, penggunaan converter kit hanya cocok untuk mesin kapal berbahan bakar premium. Namun, kapal jenis itu hanya digunakan oleh nelayan pancing atau pemasang lukah (bubu) di rawa-rawa, bukan nelayan yang biasa menangkap ikan di laut lepas. "Nelayan kami kadang melaut hingga perairan Singkep, Kepulauan Riau. Jika mesin lemah, kapal tidak dapat ke sana, dan tangkapan minim," tambah Rezki,
Menurut dia, sejauh ini dari 50 paket converter kit dari ratusan peranti yang dijanjikan pemerintah daerah, Kementrian ESDM dan Petrochina Ltd, hanya 7 yang masih bisa digunakan oleh nelayan bubu dan pancing.
Kepala Dinas ESDM Kabupaten Tanjab Barat, Yon Heri, mengungkapkan, pihaknya terpaksa menghentikan penyaluran converter kit itu kepada para nelayan, karena alat itu dinilai tidak sesuai dengan kebutuhan dan spesifikasi mesin kapal nelayan secara umum. Artinya, program ini baru dapat dilanjutkan jika alat yang sesuai kebutuhan telah ada, dan ditender ulang kepada rekanan.
"Jadi terpaksa dihentikan dulu penyaluran (converter kit)-nya. Sebab jika dipaksakan akan mubazir. Sebab tidak ada mesin yang cocok. Lagi pula SPBG-nya juga belum ada. Sepuluh kapal yang masih pakai alat itu, sementara ini menggunakan bahan bakar gas dari tabung LPG 3 kilogram," ucap Yon.
City Gas Mangkrak