Ibnu Rusyd berargumentasi bahwa di dalam al-Qur’an terdapat banyak ayat-ayat yang memerintahkan kita untuk menggunakan akal untuk memahami segala yang wujud. Karena akal ini tidak lain daripada proses berfikir yang menggunakan metode logika analogi (qiyas al-‘aqli), maka metode yang terbaik menurut sang poinir rasionalis ini adalah metode demonstrasi (qiyas al-burhani). Sama seperti qiyas dalam ilmu Fiqh (qiyas al-fiqhi), yang digunakan untuk menyimpulkan ketentuan hukum. metode demonstrasi (qiyas al-burhan) digunakan untuk mamahami segala yang wujud (al-maujudat). Dari pemahaman tersebut merupakan asas bagi kesimpulan Ibn Rushd yang menyatakan bahwa para filosof memiliki otoritas untuk menta’wilkan al-Quran.
Berasaskan pada kemampuan akal manusia, Ibnu Rusyd membagi kedalam tiga kelompok: Pertama “kelompok ahli awam”, metode ilmu pngetahuan yang sesuai untuk ahli awam ini adalah khathabi (retoris), dengan begitu al-Quran tidak dapat di ta’wilkan, karena mereka hanya orang-orang yang memahami al-Quran secara tertulis. Kedua, “kelompok pendebat”, untuk para pengguna metode ilmu pengetahuan secara dialetik ini ta’wil juga sulit diterapkan. dan ketiga adalah “kelompok ahli hikmah (ahli fikir)”, merekalah orang-orang yang menggunakan metode burhani (demonstratif), sementara ta’wil secara tertulis dalam bentuk karya, hanya bisa diperuntukkan bagi kaum ahli hikmah ini.
B. Syari’ah dzahir dan batin
wahyu dibagi kedalam tiga bentuk makna yang terkandung didalamnya yaitu :
• Teks yang maknanya dapat difahami dengan tiga metode yang berbeda (metode retorik, dialektik dan demonstratif)
• Teks yang maknanya hanya dapat diketahui dengan metode demonstrasi. Makna yang terkandung dalam teks ini terdiri dari:
a) makna dzahir, yaitu teks yang mengandung simbol-simbol (amtsal) yang dibuat untuk menerangkan idea-idea yang dimaksud.
b) makna batin, yaitu teks yang mengandungi idea-idea itu sendiri dan hanya dapat difahami oleh yang disebut ahli al-burhan.
• Teks yang bersifat ambiguos antara dzahir dan batin. Klassifikasi teks wahyu ini juga merujuk kepada kemungkinan untuk dapat difahami dengan akal.
Maka itu ia memahami istilah “ta’wil” sebagai penafsiran dan penjelasan ucapan, ia tetap menekankan pada kesesuaiannya dengan makna dzahir dari lafadz ucapan itu. Dalam pandangannya perkataan dzahir yang dapat difahami dari lafadz bermacam-macam bentuknya, ada yang menurut konteksnya dan ada pula yang difahami sesuai dengan ikatan-ikatan yang ada didalamnya.
Untuk itu, Ibnu Rusyd menetapkan tiga syarat, agar ta’wil itu dapat diterima:
1) menjaga agar lafadz itu sesuai dengan makna yang terdapat dalam Bahasa Arab dan maksud al-syari’ serta tidak memahami dengan makna lain.
2) menjaga agar maknanya sesuai dengan yang dimaksudkan oleh pembicara dalam konteks lafaznya.
3) memperhatikan “mustawa al-ma’rifi” (tingkatan nalar dan pengetahuan) kepada siapa “ta’wil” itu dihadapkan.
Oleh itu kita tidak boleh menta’wilkan lafadz-lafadz al-Qur’an dengan sesuka hati tanpa mengkaji maksud yang sesungguhnya sesuai dengan konteks masing-masing lafadz.